Riekha Pricilia

Perempuan, 21 Tahun

Riau, Indonesia

Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. <div style='background-color: none transparent;'></div>
::
PLAY
Faceblog-Riekha
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Jumat, 30 November 2012

Contoh Psikologi Konseling


Nama                          : Eva Nopita
NIM                            : 108614403
Semester/Lokal          : VII.C
M.K                            : Psikologi Konseling
Dosen                          : Ami Widyastuti, M.Psi
Contoh Kasus Konseling Keluarga
Tn Wahyu adalah seorang pegawai negeri gol.2. Dia mempunyai seorang isteri, dan tiga orang anak yang sudah beranjak remaja. Isterinya Ny. Ririn, ibu rumah tangga suka bergaya hidup mewah, seperti setiap minggu pasti jalan jalan ke mall, arisan dan membeli pakaian serta peralatan rumah tangga yang mahal mahal hingga akhirnya hutang keluarga ini menumpuk. Tn.Wahyu selalu mengingatkan isterinya untuk menghentikan kebiasaan tersebut, tapi bukannya mendengarkan nasehat suaminya, Ny. Ririn justru setiap hari malah marah marah dan menuduh suaminya sebagai laki laki yang tidak bertanggung jawab karena tidak mampu memperoleh penghasilan yang besar. Tn.Wahyu merasa bahwa penghasilannya memang kecil, dan ia memang tidak mampu untuk mencari penghasilan tambahan karena waktunya memang sudah habis untuk mengerjakan tugas kantor yang menumpukyang harus dilembur di rumah. Oleh karena itu Tn. Wahyu tidak pernah lagi menegur istrinya dan sebagai pelampiasan ia semakin menyibukkan diri dengan tugas kantor. Dia pun sering merasa sakit kepala dan perih melilit di ulu hati hingga hampir setiap minggu selalu memeriksakan diri ke puskesmas dan rutin mengkonsumsi obat sakit kepala dan obat maag. Tapi lama kelamaan Tn.Wahyu juga heran. Isterinya yang setiap hari selalu mengomel ngomel, akhir akhir ini justru sebaliknya. Ny. Ririn tampak semakin perhatian pada suaminya, sebelum berangkat kerja tidak lupa Ny. Ririn selalu menyiapkan makan pagi yang cukup mewah bagi suaminya. Demikian juga sepatu dan tas kerja Tn. Wahyu, setiap bulan selalu dibelikan baru oleh isterinya dengan merk cukup berkelas. Anak anak mereka pun tidak pernah lagi terlambat membayar uang kuliah. Tn. Wahyu pun menanyakan darimana istrinya memperoleh semua itu, dengan tersenyum penuh kelembutan, Ny Ririn selalu menjawab bahwa semua itu diperoleh karena kepintaran dirinya mencari tambahan penghasilan. Tn. Wahyu pun tidak pernah lagi menanyakan masalah tersebut, karena ia tidak ingin menyinggung perasaan istrinya yang sudah susah payah mencari uang untuk keluarga dan ia tidak ingin mengusik kebahagiaan rumah tangganya yang dulu sempat hilang karena faktor ekonomi. Demikianlah, kehidupan rumah tangga Tn.Wahyu dan Ny. Ririn berjalan dengan harmonis dan berkecukupan secara lahir dan batin, Tn. Wahyu juga semakin rajin ke kantor dan mengerjakan pekerjaan lemburnya. Sampai pada suatu hari senin, karena bangun kesiangan karena kecapekan sehabis berwisata bersama keluarga minggu kemarin, Tn. Wahyu kelupaan membawa berkas penting yang harus dikumpulkan hari ini ke atasannya. Maka ia pun kembali ke rumah untuk membawa berkas yang tertinggal tersebut. Tetapi alangkah terkejutnya ia karena ia melihat istrinya baru keluar dari rumahnya dengan mobil mewah, terlihat begitu mesra dengan seorang laki laki di dalam mobil tersebut. Tn. Wahyu merasa dunia seakan runtuh dan menimpa dirinya sehancur hancurnya. Pertengkaran besar pun tidak dapat dielakkan begitu ia menanyakan hal itu kepada istrinya sore harinya. “ Kamu tidak sadar ya, apa yang sudah kamu makan selama ini, fasilitas wisata, baju dan tas, semuanya dari mana kalau bukan dari pak Willy. Kamu menikmatinya juga kan?” begitu kata Ny. Ririn dengan kasarnya. “Kamu sudah menginjak injak harga diriku sebagai laki-laki. Tidak sedikitpun kamu menghargai aku. Tidak sadarkah kamu Ma, kalau semua yang selama ini kamu lakukan adalah suatu dosa besar?” Tn Wahyu berusaha menasehati istrinya. “ Baiklah, kalau kamu tidak menginginkan semua ini, dan akupun sudah menunggu nunggu saat saat seperti ini, untuk mengutarakan hal ini kepadamu. Pak willy itu adalah pengusaha yang memiliki 5 perkebunan kelapa sawit di sumatera. Ia memang sudah beristri. Tetapi ia menginginkan aku untuk menjadi istri keduanya jika kamu mau menceraikan aku. Dan terus terang saja, aku dan anak anak lebih suka menjadi bagian dari keluarga pak willy, dimana kami tidak pernah kekurangan, daripada menjadikan kau sebagai kepala keluarga dengan kondisi hidup yang tak menentu. Bagaimana mas, kamu mau kan menceraikan aku?”. Tidak seperti kata kata ibunya, ketiga anak Tn Wahyu tidak mau meninggalkan ayahnya bila perceraian itu terjadi. Mereka rela berhenti kuliah dan bekerja apa saja untuk membantu ayahnya daripada mengikuti ibunya yang sudah dibutakan oleh harta. Tapi Tn.Wahyu justru semakin bingung. Di satu sisi ia tidak rela harga dirinya diinjak injak dan malu dibicarakan tetangga oleh ulah istrinya, tapi di sisi lain ia tidak tega jika anak anaknya ikut menderita, karena ternyata utang kaluarga mereka yang dulu menumpuk belum dilunasi oleh istrinya. Harta dari Pak Willy hanya dipakai untuk berfoya foya oleh istrinya. Dalam kondisi seperti ini, Tn. Wahyu tidak mampu membuat keputusan. Ia biarkan saja istrinya berfoya foya dengan kehidupan sesatnya, sementara status mereka secara hukum masih suami istri, walaupun kenyataannya bertegur sapa pun mereka hampir tidak pernah. Ny Ririn masih memperhatikan kebutuhan Tn.Wahyu dan anak anak mereka, seperti menyiapkan sarapan dan kebutuhan mereka, walaupun setelah urusan rumah beres, ia langsung pergi sampai larut malam dengan Pak Willy. Sementara Tn Wahyu makin menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor, walaupun kondisi fisiknya makin lemah. Penyakit maag dan migrain yang dulu pernah dideritanya semakin menjadi jadi, sampai akhirnya ia jatuh pingsan dan di kantor. Hendro, teman sekantor yang juga selalu menjadi tempat curhat Tn. Wahyu, menduga kalau penyakit Tn. Wahyu kali ini pasti berhubungan dengan masalah rumah tangganya, maka ia pun mengantarkan Tn. Wahyu ke dokter Retno yang sudah menjadi dokter keluarganya.
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
  1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
  2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
  3. Kesegaran hasil yang dicapai.
  4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.

0 Komentar: