Kisah nabi muhammad SAW,
baiklah kali ini kita akan membahas mengenai kisah Nabi Muhammad SAW
yang kita idolakan. sampai lah kita ke Nabi kita, idola kita Rasulullah
SAW. marilah kita sering2 bersalawat kepada baginda, agar kita
mendapatkan syafa'atnya.
dalam sebuah hadis dikatakan umat yg paling sombong adalah umat yang apabila diajak untuk berselawat dia acuh.
nah ini mudah mudahan bermanfaat untuk sodara semua.
Ketika
cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja
menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid
kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai
ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia
untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri
penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam,
datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti
terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti
kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah
SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan
keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai
bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin
bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya
Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman
mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi
alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk
kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku
tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat
dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga
ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita
Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang
dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau
saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul
Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan
ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar
biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum
lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali
bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini,
Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan
perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya
perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga
ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul
Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun
yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan
cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur,
tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di
sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul
Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia
memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang
mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari
pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan
bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari
terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui
orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali
sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ
ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib
terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah
oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan
NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui
bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak.
Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat menolong dan
memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada
saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang
terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk
melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi
dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan
suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh
anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih
salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu
langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun,
istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan
anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul
Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian
Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam
mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu
anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling
kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka
mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah
saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia
telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah
menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya
lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman
yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah
gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy
berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus
disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami
tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya
kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan
kami bertanya kepada dukun."
Abdul
Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang
kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh
ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian
dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang
besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul
Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar
nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi
sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu,
datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus
ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga
korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh
binatang-binatang buas.
Abdul
Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia
menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab,
kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab,
dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah
binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda
yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah
api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu
mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan
antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan
manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas
dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di
rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan
berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan
perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah
kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal
kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi
bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa
itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya.
Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah,
dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah
bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh
lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan
hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke
istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya,
mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia
menetapkan kematian baginya.
Tidak
lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang
sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali
ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang
dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia
dilahirkan.
Anak
yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir
serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang
terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat
kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah
hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun
telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang
turnbuh bersama kehausan.
Kemudian
kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu
mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya
tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin
yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah,
dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini.
Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin
dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati
Mekah.
Abrahahh
adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada
Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu
gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya
dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah.
Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan
ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik
seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia
berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak
menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia
menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata,
kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan
Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita
gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut.
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala,
meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan
terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak
Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan
pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk
Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan
orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang
yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi
pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan
kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan
Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail
bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan
berhasil menawan Nufail.
Kemudian
ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa
orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata
kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan
maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka
membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah.
Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia
merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim.
Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan
pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan
utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu,
Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka,
namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu
menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahahh.
Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak
memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci,
dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi
Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul
Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia
memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia
duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul
Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah
agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku"
Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa
kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat
berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang
merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu
adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah
dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan
unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang
Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di
gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti
Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat
turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul
Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan
sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan
meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan gajah-gajah
tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di tempatnya dan
menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi
gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun.
Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan
kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya
terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari
saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari
bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat
pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat
sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi
cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung
yang banyak.
Gajah-gajah
semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut
itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa.
Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu
yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika
Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana
peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak
diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat
belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa
pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para
tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari
tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan luka dan
mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad para
pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di
Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap
tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti
daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan
gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka
dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang
tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang
menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung
Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar
tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu
menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman,
yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang
demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah
yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti
Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu
belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul
Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta.
Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia
mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi
yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang kehendak
Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan mukjizat yang
mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan yang
tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu
itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana
Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang
mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di
muka bumi.
Di
tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan
selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah
keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat
dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya
namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah
hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin
hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak
kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib,
seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum
ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia
sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi
ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap
kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah
ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat
Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan
setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang
khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi
oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka
menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika
jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur
suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya separo
dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air
yang jernih dari jantung gurun yang paling besar ketandusannya di dunia,
yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut,
dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat penduduk
bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun
orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di
tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung
jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta,
keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah
dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang
dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat
dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat
itu mengalami titik terendah.
Sementara
itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh
orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan diri dari
penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan
srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan
monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan
memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Para
cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas
sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan
menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk
memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan
sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah
batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair
lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab
hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah
pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan
mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal
muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta
kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi,
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam
ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan
di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang
lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi
sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri
Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di
tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana
terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara
itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan memberikan
keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan
dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan
menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani,
sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi. Meskipun
mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan
mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka
terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan
yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan
seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di
tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah
oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia,
bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua
sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama
manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak
hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti
hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan
kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran
Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan
dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang
bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara
Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk
menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah
Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah
sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah
kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat
beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu
kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya,
mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada
kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani
yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT.
Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat
Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai
mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar
biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan
Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan
kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad
saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta
kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan
setelah kehidupannya.
Ketika
Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan
mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang
hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu adalah
bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik
dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman
sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi
padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan
singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru
mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana.
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di
jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan
hilang.
Di
saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat.
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud.
Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat
dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah
masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan
menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para
nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam
menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang
besar.
Pada
masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum
tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan
ketulusannya.
Allah
SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk
mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat,
atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui
hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi
mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas
kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan
Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah
beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan
matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau
tidak membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung
Islam dan mengancamnya.
Dakwah
para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa
kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera
menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan
masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah
hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak
terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu
menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam
adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah
memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya
menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah
tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana
mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang
menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di
tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum
datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai
lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami
oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi
mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di
saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun
demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan
dan wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku
atas Yunus bin Mata."
Melalui
pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang
harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki
derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal
atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal
itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim
hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya mereka
berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama Allah
SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama
Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga
bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk
shalawat itu sendiri.
Sementara
itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun
gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga
kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke
tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di
Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau
dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung
menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam
telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama
yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk
menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan
kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad
atau Ahmad.
Orang-orang
Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan
kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara
yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak
umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul
Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang
biasa dipakai di kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin
Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami
tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk
menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas
kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas
kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan
yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari
suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa
menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan
layak menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh
Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin
Abdillah.
Nabi
Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah
SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab
kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia
mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang
tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya
sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan
mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya
dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu,
saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian,
dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi
penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul
beban risalah terakhir.
Selanjutnya,
ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa
banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk
mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di
mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar
anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh
mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak
lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa
menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah
kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya
bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan
kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami
kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan
menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak
yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang
yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua
disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman
karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia menangis karena
tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis karena
kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya,
kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari
anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka
mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu
Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari keluarga
yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara
tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena
aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu
untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di
samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu.
Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap
anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah
tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur
dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa
pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui
itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan
agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang
lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah
mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan
yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar
agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia
tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa
pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk
menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan
wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka
Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia
sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah
kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi
Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara
kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa
kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar
dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah
SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk
zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah
kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum
lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan
dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan
kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan
buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu
binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya
kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah
datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya
kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan
cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada
suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai
Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah
berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali
ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan
tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti
bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira
ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh
pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika
anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga
ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan
perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang
ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama
anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup
udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad
sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi
telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad
bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci
hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan
bagian dunia darinya.
Seperti
biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan
menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad
diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua
orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar
hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil
berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan
Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan
kedua matanya menyala.
Halimah
dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih
sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad
menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku
dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih.
Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun
ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang
memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya
jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan
Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini.
Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar
klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan
oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. "
(QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa
seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan
tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia
biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi
cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan
Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan
tersebut.
Dengan
demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau
ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin
Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara
kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya
dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga
berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah
SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan
kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah
sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan
peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa
tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan
Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam
angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui
alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia
lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya
pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan
kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika
aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan
antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah
antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau
melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas
yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami
kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan
kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra'
dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan
mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan
tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada,
berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya
digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak
keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah
hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama
Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat
terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah
mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau
menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau
berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan
diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka
lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian
Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau
hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan
yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya
yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di
Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter
di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini,
Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di
Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya
meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan
yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya
terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air
mata ibunya yang diam.
Selesailah
masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di
pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia
kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang
yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan
kekasihnya, Allah SWT.
Sang
ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang
pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil
yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat
berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia
dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati
kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah
saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku.
Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan
adalah temanku."
Allah
SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau
dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak
kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku.
Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan
penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah
berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik
yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu
kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti
layaknya orang dewasa.
Kita
tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT
mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah,
kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT
ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang
semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya
dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan
penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu
Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana
Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi
setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya
agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT
menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang
terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah
SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak
mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya
di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan
Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang seorang
manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah
kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna
ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim
lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah
SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT
memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak
pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT
telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya
mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang
biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun
yang duduk selainnya.
Muhammad
bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman
keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh
kabilah.
Muhammad
bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin
dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali
jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau
sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya
terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya
bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya;
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat
melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di
dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan
dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat
selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar
dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya
Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas,
kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang
dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan
masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh
masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah
dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia
mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup,
dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak
sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami
kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau
tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau
belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar
bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin
segera menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan
jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang
dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam
menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan
kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya
selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak
kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang
berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan
kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang
suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan
rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada
binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk
burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada
makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan
memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang
fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar
karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad
saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka
beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa,
dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam
saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada
saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap
anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya.
Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang
menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu
awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru.
Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat
mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang
putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke
dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam
buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera
memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus
seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk
jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada
Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal
kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada
peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya
dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini.
Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka
adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam
kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia
tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami.
Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh
aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami
dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy
berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka
berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan
dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati
tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah
sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad
bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata:
"Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau
memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin
mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu
menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi
Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya."
Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak
kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira
bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog
tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam
ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka.
Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang
Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana
disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah
itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia
bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya
masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan
ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah
kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya
tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya.
Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang
dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau
tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang
mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi
sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak
mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi
meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga
pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan
yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa
hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta
kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit
berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali
ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan
keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya;
ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia
dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih
sayang, dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya,
sehingga kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan
kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari
penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan
beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang
berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena
sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada
tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat
untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan
mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau
menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada
Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar
ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan
para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat
tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh
Muhammad saw.
Hari
demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu,
kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah
lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah
menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat
azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin
Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur
dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan
oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga
dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait
syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah
telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang
besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua
tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan
keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta
kebesaran-Nya.
Pada
tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya
yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat
puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup
harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang
mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah
mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju
Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan
kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya,
Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya.
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau
berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana
beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang
diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta
Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya
memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan
getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat
perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan
seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik
dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta
adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar
untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya
tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan
yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu. Kemudian
usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih
untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah
SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai
mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu
semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan
semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu
yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di
atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak
ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia
termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira
beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau
risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang
lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya?
Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya
yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud
saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam
dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan
uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan
kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah
tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang,
tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang
bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela
manusia dan kehormatannya.
Pada
suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan
dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat
tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil
berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia
meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk
membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat
yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca.
Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku
baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada
beliau:
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul
secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang
luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar
panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari
ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya
dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan
kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan
beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah
beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat
wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan
dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki
rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada isterinya:
"Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah
bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira
yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan
kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi
Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau
adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama
beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah.
Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa
Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana
matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan
Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa
aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada
seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu
niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah,
akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan
Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim
yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam?
Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah
SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai
Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam
keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan
Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang
lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam
tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk
kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan
tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia
di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas
ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di
mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman
tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang
bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu.
Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa
mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"'
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian.
Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari
mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan
rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan
manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut
kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil
kebodohan dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena
itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan
kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa
kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka
memahami Islam secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari
mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan
lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi,
ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan
alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh
Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon
tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam
dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog
internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi
Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta
pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan
bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat,
serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi
Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta
pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam dan para
keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari
penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum.
Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu
bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama
dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para
pengikutnya dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya
dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji,
zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk
menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka,
meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan
apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan;
mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan
pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu
Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek
ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah
yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama
meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang
pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain
memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian
jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat
memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT
berfirman:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah
Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah
kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka
disebutlah secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu.
Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada
penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban
Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap
tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana berdasarkan
metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan berbagai
produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah
metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian
terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap
eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni
yang membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk
menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah
alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan
oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat
berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang
guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan
tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun
mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada
guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan
Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka peroleh
dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger
Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak
malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab
adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah
pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa
dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar
mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang
sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia
kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode
Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut
dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam
dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup
pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang
misterius dan melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui
apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun
tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada
jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari
aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah
pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana
untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah
dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata
surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta.
Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu
justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada
Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap
pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan
ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya,
baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja,
penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek
dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun
berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang
membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar
hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di
sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang
dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar
bersama kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang
berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah pada
kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan
mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu
kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang
berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta
kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh.
Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata
untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas
kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah
terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika
tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari
penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut
dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari
sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad
bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut
disembah dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan
membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang
hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah
perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang
misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya
sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari
kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian
merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan
bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril
mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi
ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka
tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan
gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam ruang lingkup
mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk
mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya
terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi
orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah
SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk
berusaha mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang
sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang
terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara
benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT
memerin-tahkan manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah
rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil
melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar
adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan
musuh di medan perang.
Dengan
terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan
rasa takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan
alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai memerangi
kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang
umat Islam:
"Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."
(QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum
keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah
akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar
tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya
kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa
usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu
lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang
bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak
diperhatikan.
Ayat
tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan
berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka
bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut
ini:"
"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk,"
(QS. al-Maidah: 105)
Dan
aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah
SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran
Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa
pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di jalan
Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan
orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan:
"Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang
yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah
pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman
tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan
keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam.
Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada
memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad
bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya
terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan
mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah
SWT berfirman:
"Karena
itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang
di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan
Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau
berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari
sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah,
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah
ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT.
Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka,
padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah
milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia
membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana Allah SWT
menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang
tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah
memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa
diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran
atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan
membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada Nabi Musa,
"pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya di
sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar mereka
mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari
perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang
mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan
Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan
tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai
pengikut Nabi Musa.
Demikianlah
esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan
kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan
lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan
tertentu atau untuk waraa kulit tertentu atau untuk kaum tertentu atau
untuk tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang
universal yang ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan
yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan
menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan
manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah
salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan
aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah
lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia
layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan
kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari tanah
neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah
saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan
kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam
surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia
adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan
kematian agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai
amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT.
Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan
manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting
adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat
manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal
balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan
barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan
kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu
diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak
untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah
asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak
diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul
sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan
mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru
dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta
warna keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan
bahwa karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu
diperhatikan.
Meskipun
agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut
turunnya lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut
menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter yang khusus yang
menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama
yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu.
Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana
penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme
diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu,
karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak
terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena
pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah
agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan
pembebasan.
Namun
Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras
pada saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman
orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan
lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi
bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara
yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara tersebut adalah
menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang
Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan
cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan
cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan
melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme
Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun
Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak
untuk diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan
apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak
mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus mempunyai
karakter khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan
hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan
tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak
dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan
sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki
perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan
tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter
Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang
menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan
dan pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah
SWT:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila
Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan
yang disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi
karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya
keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi
ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam
Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan metode utama dalam
Islam.
Ketika
Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan
keadilan menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara
agama-agama yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat,
keadilan antara dunia dan agama, keadilan antara pria dan wanita,
keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya,
keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu
sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya
sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika
kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun
darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh
supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya
Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami
berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada
kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami, dan terimalah tobat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi
Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara
mereka adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT
berfirman:
"Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula
Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa
yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu)
Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS.
al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai
kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya
saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara
itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu
tersebut berkata:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku
berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS.
an-Naml: 44)
Demikian
juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya
agar mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok
orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang Yusuf
dalam surah Yusuf:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian
kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya
Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara
itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin
agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami
telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi,
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi
Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai
dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang
Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir
dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka,
bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan
umat beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya
sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan
kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan
al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi
Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak
ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin
daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang
pertama. Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami dari
sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang
Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang yang paling sempurna di
antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya tentang
akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya yang
singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita
mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia
meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan
keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak
seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki
akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam
kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang
berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin
(orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah
saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut tersebut,
bahkan kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau berada di puncak
dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk
mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para
Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi
pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada
juga yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali
keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang
tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau
adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau
memiliki keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat
dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun
beliau datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena posisi
beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang
terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata
yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan
ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau
bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan
hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi
rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi
jazirah Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta;
beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari
diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT
mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang
yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang
memulai dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab:
pertama, pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau
kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua
pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia
merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab alam dibaca dengan ribuan
cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau
siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang
telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan
gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara
dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan
(sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika
di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat
Allah SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca
kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata
hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak
dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum
turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara
materi, ruhani, undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa
melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang
beliau adalah manusia yang sempurna dan paling utama, alam belum
mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak dari
keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami
kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab
yang mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan
agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka,
sebagaimana firman-Nya:
"Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. "
(QS. al-Maidah: 3)
Namun
semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang
secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang
paling layak untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk
langit. Dan Rasulullah saw telah melakukan semua itu. Kita tidak
mengenal seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki lebih dari
apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang
nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang
mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi
kita.
Kemudian,
seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta
tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia
tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang. Beliau
berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap memikul
tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan cobaannya; beliau
menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang kepada
Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan dengan
suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah
turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan
mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara
rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula
Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu
beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya anak
pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup di
bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin Tsabit,
seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia
memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha
bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi,
yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah
kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya
di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam,
lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin
'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian
berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar
Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka
membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang dilakukannya
di gua Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana
pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah
dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat
melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang
dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam
hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan
telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah
menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu
hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah,
datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara
terang-terangan. Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok tentara
yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar beliau menyampaikan dakwah
secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya. Ketika Nabi
melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan
tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap
para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan
oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang
Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan
hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak rnanusia untuk
mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan
berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang
mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka
dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa
tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain
hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama
tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan orang-orang
yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah
pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah
gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara
para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang
pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu
Lahab.
Bukhari
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai
memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua
berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika
aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?"
Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau
berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap
kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat jika kalian menentang."
Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau, apakah karena ini engkau
mengumpulkan kami."
Dengan
penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum
Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT
membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek
yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan. Kelak dia
akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS.
Allahab: 1-5)
Dengan
ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah
sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang kejahatan Abu
Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang menentang
dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya dan kekayaannya,
padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki arti
sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan
di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa
kayu bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya
terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia
binatang yang tidak berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang
dakwah adalah orang-orang yang berhubungan dengan dunia binatang yang
tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS.
al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan
mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan
(rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah
seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba
perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahwa
pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran
ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru
merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan
apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu
sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah
sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. "
(QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah
betapa nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek
Rasulullah saw, padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka
untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan coba perhatikan
bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka
membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar
dalam membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek
kebenaran dan kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran
terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan
tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka
membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka menyembahnya kemudian
memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami
dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar
mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun
demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka
orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka
menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai
seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau berbohong atas nama
kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka mengatakan ini
adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka
meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk
tertentu; mereka memberitahu bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya,
sehingga terdapat suatu mata air yang memancar dari bumi atau terwujud
di depan mereka suatu taman dari pohon kurma dan anggur yang memancar di
tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh sebagaimana yang
beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau datang
dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran
dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau
beliau mampu mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap
pendakian itu meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali
dengan selamat, kecuali jika ia menghadirkan kitab kepada mereka yang
dapat mereka baca dari langit.
Nabi
tidak peduli dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi
tetap memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang
mereka minta itu tidak sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru
akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada
mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau
datang kepada mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di mana
seorang tua tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di
dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya
dari siksaan. Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh
mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan
bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka
terima tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat
meringankannya.
Demikianlah
Islam—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya
orang-orang yang berakal dan orang-orang yang fakir serta orang-orang
yang menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di
mana mereka menjadi kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan di
Mekah. Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam
bukan hanya memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau
masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan
manusia secara umum; Islam meyakini bahwa manusia bukan hanya sekadar
perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan,
manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari sisi ini, namun Islam
justru meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki, tanpa
membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia
terdiri dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan
terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam
tidak mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga
sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa.
Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan
membawa manusia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang
untuk membawa suatu solusi yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam
dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan
ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an
menjadi cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada
Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian
Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan
mengancam singgasana kebencian yang menguasai Mekah, sehingga
orang-orang musyrik justni meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan
terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT
menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau bahwa mereka tidak
mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri mereka sendiri.
Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah
salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan
hatimu, (janganlah hamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu mengingkari
ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am: 33)
Kemudian
kaum musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para
pengikutnya. Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai
peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan
membunuhnya. Pada saat itu, musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan
cara menindas kaum Muslim dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti
dan kaum Muslin akan enggan untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa
kaum Muslim justru memilih untuk menyelamatkan diri mereka. Namun para
tokoh-tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat
penekanan yang mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum
Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih
yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka
tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi,
yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan
(kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah
disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang
telah hilang.
Kaum
Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil
di Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak,
yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka
akan membangun suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia
seutuhnya; mereka akan menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan
dalam gambar yang baru yang merupakan cermin dari gambar kebesaran sang
Pencipta.
Sebelum
kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan
peradaban yang dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki
apa-apa. Mereka tidak memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk
ilmu, seni, atau peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai
kebanggaan. Namun ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi
cermin kejayaan manusia di mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata
pada umat manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada
mereka dalam kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika
mereka berpaling dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran
cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah
orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim karena mereka justru
mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru mencapai
kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika kaum
Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan
ajaran-ajarannya niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada
awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa mereka
menghadapi peperangan yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada,
maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena itu, ketika mereka
mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka justru
semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum
Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran.
Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan.
Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi
yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem
perbudakan. Seorang yang beriman tersebut disiksa di Mekah di mana ia
tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk
Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya.
Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi
musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan dengan tegas
menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan
belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam
mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah,
ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak
kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam
terhadap sistem perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan.
Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin
membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan
manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju kepemilikan kepada Allah
SWT.
Jika
Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan
sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip
utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun ucapan—sumber-sumber
sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui bahwa sistem
perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah dengan
perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun pada waktu yang terdapat
perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap
zaman, maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari
bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur yang pertama atau dasar pertama
yang menimbulkan bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam
mengharamkannya. Dengan cara demikian, Islam mengharamkan sistem
perbudakan secara bertahap, seperti proses pengharaman khamer. Jadi,
keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha menghapus dan mengharamkan
perbudakan.
Jika
dikatakan kepada kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya untuk
memperbudak para tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam
menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang
sama di mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslim sebagai
budak-budak mereka ketika mereka menawannya. Oleh karena itu, secara
alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai budak-budak. Jika
Islam tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi Islam akan
dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik untuk
memperdaya Islam.
Demikianlah
bahwa dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan.
Dan ketika orang-orang yang tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas
penindasan yang mereka terima, maka Rasulullah saw memberitahu mereka
dengan pembicaraan yang jelas bahwa para dai di jalan Allah SWT harus
mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka
sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan
bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada
kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika
ini dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat
tertentu, maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan
manusia secara keseluruhan.
Seorang
Muslim hendaklah sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia
pasti akan menerima pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan
pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas yang harus dibayar ketika
berdakwah di jalan Allah SWT; inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang
kaum yang batil pun membayamya dengan senang hati, maka bagaimana
mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada
hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia
merasa takut pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membedakan
orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya adalah bahwa mereka
terbebas dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur
yang pasti untuk membedakan antara seorang Muslim yang hakiki dan
seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan atau hanya klaim
semata.
Seorang
Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki
adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya.
Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk menyebarkan
dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah
SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas yang
diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya
dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam
membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji
orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat
mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab
bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau
dari penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau
menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya
Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat
orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan
dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh mereka
dipisah menjadi dua, namun mereka tetap mempertahankan agamanya. Demi
Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu
tergesa-gesa."
Dengan
kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw
ingin memahamkan kepada orang tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan
iman adalah membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak
memberikan keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang
pertama tidak bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari
agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk
Islam?" Jawabannya adalah: "Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan
roti sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang pertama telah
membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar biasa
untuk mempertahankan agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan
yang tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang kepada mereka;
mereka justru memberitahu orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat
mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka
lakukan, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum
musyrik justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan
menertawakan mereka.
Ketika
Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat
sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang
kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan
raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan bertepuk
tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut.
Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim.
Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk
menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik
menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang
lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang
lain lagi mereka menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan pada
kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang gila.
Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh bahwa beliau adalah seorang
penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw
sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara
seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok
yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah
seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia
tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang
diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan
oleh manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika
mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah
jumlah kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka
mulai melihat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu
berhasil. Kemudian mereka memilih untuk menggunakan cara baru, yaitu
bagaimana seandainya mereka menggunakan perdamaian dan perundingan.
Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang lelaki yang
terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah
berkata kepada Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui
kedudukanmu di sisi kami dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu
dengan suatu hal yang besar di mana engkau memisahkan kelompok-kelompok
mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin berbicara tentang
beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima sebagiannya." Rasul saw
berkata: "Silakan berbicara wahai 'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau
menginginkan harta niscaya kami akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga
engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami, dan jika
engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan memberi kehormatan itu
bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan
menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang
engkau tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan
tabib bagimu dan kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau
sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan,
tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya);, maka mereka tidak (mau)
mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada
sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu;
Sesungguhnya kami bekerja (pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah
seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus
menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. Dan kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh
mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah:
'Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua
masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian
itulah Tuhan semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung
yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya
kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju
kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami
datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha
Perhasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah:
'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa
kaum 'Ad dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah
saw telah menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau memilih untuk
menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut dengan membaca sebagian dari
surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang
diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari
tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika
mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu
dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. "
(QS. Fushilat: 13)
'Utbah
berdiri dalam keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy.
Bayang-bayang azab dunia terngiang di telinganya. Dan ketika ia sampai
ke orang Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa
saja yang dilakukan Muhammad. Gagallah perundingan dengan seorang
Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut
sebagai bentuk pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan
penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik
semakin meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw
sangat menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum
Muslim membayar harga yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah
yang mereka anut dan mereka dengan sabar memikul penderitaan di jalan
Allah SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah.
Beliau memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian
Dimulailah gelombang hijrah. Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya
wahyu setelah dua tahun diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke
Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan
mereka menuju ke laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang yang tinggal
di gurun sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka takut dari laut
dan mereka yakin bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat
di atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya,
gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan
puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan. Kemudian
orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap
berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka
mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat
mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang berhijrah. Mereka
menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan
mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen. Kemudian
orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai
bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal lalu ia
mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka
tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin
menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi
bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT
dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada
Maryam, wanita yang perawan yang suci." Kemudian Najasyi mengambil satu
kayu kecil dari bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang kalian
katakan tidak lebih dari kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian
akan aman." Najasyi mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan:
"Allah tidak mengambil suap dariku sehingga aku tidak mungkin
mengambilnya dari kalian."
Demikianlah
kaum muhajirin tinggal di negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang
dipimpin oleh seorang laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana
ia cenderung mengimani karakter al-Masih sebagai seorang manusia. Dan
salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang
berhijrah tersebut tidak mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun
mereka justru merasakan kekuatan.
Allah
SWT memperkuat dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam
Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu
mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari
mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT berkehendak untuk
memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah
meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam
karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang
tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah
seorang perempuan berkata kepada Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa
yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin
Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan menyakitinya,
sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa."
Mendengar pengaduan itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah.
Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia
melihatnya sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya. Hamzah
mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil
berteriak: "Apakah engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di
atas agamanya."
Demikianlah
permulaan keislaman Hamzah. Hamzah adalah seorang yang mulia di mana
perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya disiksa dan
dianiaya dan dia tidak mendapati seorang pun yang membelanya. Beginilah
sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam
dan yang paling menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah
dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu
rahmat yang mendorongnya untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti
lelaki yang berdakwah di jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang
lemah dan tidak mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan
Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan kekerasan
perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan darinya ketika ia
masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang mendapatkan siksaan
ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir beserta istcrinya
menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu
ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan suaminya. Umar melihat
wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat
itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan
pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel, wanita itu berkata:
"Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah Allah SWT. Engkau
telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah. Kami akan
pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada kami." Umar
berkata: "Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita
itu melihat tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan
ketika suaminya kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat
berharap kepada keislaman Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak
mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk Islam." Ia mengatkan
demikian karena ia melihat betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun
perasaan lembut wanita itu lebih kuat daripada pandangan pikiran lelaki
itu dan keputusannya yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum
lama mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam. Orang-orang muhajirin
mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya. Dan barangkali Umar
merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw. Dengan
menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu
dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu
mereka bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab:
"Aku hendak ke Muhammad aku akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab
merasa tenteram." Dengan nada mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah
engkau memulai dari keluargamu sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan
nada jengkel, Umar berkata: "Apa yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki
itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam,
sedangkan engkau tidak mengetahuinya." Umar segera mencari saudara
perempuannya dan suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca
Al-Qur'an.
Ketika
melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya:
"Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari luar." Tetapi saudara
perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut campur dan Umar
pun tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit untuk membela suaminya
lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur darinya. Darah itu
justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar. Akhirnya, Umar
mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an.
Umar pun membacanya. Belum lama Umar membacanya sehingga ia pergi
menemui Rasul saw.
Tanpa
ragu, Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang dibawanya itu
menjadi pedang yang paling kuat yang dengannya ia mempertahankan agama
Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu untuk menemui Rasul saw di mana
saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat
Nabi melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan pedang. Kemudian
sahabat itu kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang sangat
mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah
saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar.
Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab
dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia
datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang
Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah keislaman Umar
dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan orang-orang yang dihormati telah
masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah
secara rahasia dan dengan malu-malu, namun ketika Umar masuk Islam ia
menampakkan keislamannya dan ia menantang orang yang mencegahnya untuk
bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf.
Mekah mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat
mengubah jazirah Arab.
Rasa
ketakutan mulai menghantui para pemuka Quraisy dan mereka menetapkan
metode baru untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya
menggunakan metode penghinaan dan pengejekan kini mulai mencoba untuk
memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik
mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka
mengadakan pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya.
Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya
dengan berbagai macam patung yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan
mereka kepada Allah. Pasal kesepakatan itu menetapkan, hendaklah
penduduk Mekah tidak menjual barang apapun kepada kaum Muslim dan
hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum Muslim. Dengan ketetapan yang
kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh
perekonomian mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman
kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi
oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun
orang-orang beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia
bersama orang-orang Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian
Dimulailah blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana tidak ada
makanan dan minuman yang datang kepada mereka, sehingga penderitaan yang
sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi. Ketika kafllah
perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi menemui
mereka di pasar untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab
berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para pedagang,
mahalkanlah dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga
mereka tidak mampu membelinya dan aku menjamin kerugian yang kalian
alami, bahkan aku akan membeli apa saja yang ingin mereka beli dari
kalian.
Mendengar
hal tersebut, para pedagang pun menjual barang dagangannya dengan harga
yang tidak wajar, sehingga seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya
tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian padagang itu pergi ke Abu
Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli orang
Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi sehingga kaum
Muslim merasakan penderitaan yang sangat luar biasa di mana mereka dalam
keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan ekonomi
ini terjadi selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat
sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk
memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air
kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia
mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya
dengan air sampai bersih lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama
tiga tahun tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan seakan-akan
ia melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT ingin mendidik para
pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun
kaum Muslim mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun tersebut,
tetapi aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam dan tidak pernah surut.
Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu
mereka berbicara kepada orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah
SWT dan mereka meminta kepada para pengujung itu untuk mencari rahmat
Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka
telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan
orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan
kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai
menyerang hati.
Kemudian
Selesailah peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik
melihat itu tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun
kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap
bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada
Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada
Nabi. Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar
setelah tiga tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan
barunya dan dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri
tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita
Abu Thalib.
Abu
Thalib adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di
tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti
Nabi menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan "tembok
perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah
merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati
yang sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah.
Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga,
bagi Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik
suami, sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah
saw sangat sedih ketika kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh
dalam kehidupannya itu, bahkan para sejarawan menamakan tahun tersebut
dengan tahun kesedihan. Sebaliknya, orangorang musyrik justru bergembira
dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka menganggap bahwa Rasul saw tidak
lagi memiliki seorang tua yang mampu melindunginya dan tidak lagi
memiliki seorang isteri yang dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah
kematian dua orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy
kepada Nabi semakin meningkat dan orang-orang musyrik memilih waktu yang
tepat untuk menyembelih binatang di Mekah lalu mereka membawa usus-usus
atau jeroan dari unta dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di
atas punggung Nabi saat beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu
sampai kepada putri tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera
datang dan berusaha membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di
pundak ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah az-Zahra yang
senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa
sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai
pada batas di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya. Namun
beliau tetap bersabar dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu
hari beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh
kaum Tha'if. Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di sini aku
mendapati hati-hati yang telah membeku dan telah berhubungan mesra
dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali
Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di sana masih
terdapat hati yang akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat
itu kaum musyrik memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin
oleh Rasulullah saw sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat
sampai pada batas di mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu
langkah pun. Keadaan demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau
ingin untuk melepaskan belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan
untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh
puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi
dan pulang.
Kita
tidak mengetahui pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak
Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada
Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana
dengan membawa rahmat dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru membalas
sikap baik Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka bersikap
buruk kepada beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana
selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang
lain dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang
lain. Tak seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak
seorang pun yang mau mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang
mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin
menjadijadi dalam menyerang Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada
hari yang terakhir yang mana beliau telah menetapkan untuk kembali ke
Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan mengharap kepada masyarakat
di sana agar merahasiakan kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan
yang beliau terima di Mekah terhadap agama yang dibawanya tidak semakin
menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir
ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu tetapi mereka melakukan
perbuatan terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia.
Mereka menahan keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa
untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan mereka untuk melempari
Rasulullah saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan
beliau mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan
beliau merasakan kepedihan saat kakinya terkena lemparan batu itu
sehingga darah suci mengucur dari kaki beliau.
Kemudian
Rasulullah saw diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang
dimiliki oleh dua orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau
duduk di bawah naungan pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa
kasihan melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu. Mereka
membawa kepadanya setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu
mereka adalah seorang Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan
setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya
kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi,
perkataan ini tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi
berkata: "Anda dari daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang
Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki
saleh Yunus bin Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung
lelaki itu. Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi
aku pun seorang Nabi."
Mendengar
jawaban Rasul saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki
Rasul saw lalu ia menciuminya sambil menangis. Akhirnya, pembantu
Nasrani itu masuk Islam sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia
adalah seorang yang menjadi Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke
Tha'if. Inilah harga yang harus dibayar Rasulullah saw sclania dua
minggu saat beliau berada di Tha'if, dan kemudian bcliau terkena cobaan
dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat lemparan batu penghuni
Tha'if.
Kemudian
Rasulullah saw kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak
oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan itu di
Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan kesedihan yang mendalam
melihat sikap kaumnya. Namun ketika kebencian semakin deras mengalir
kepada beliau, hati beliau justru semakin bersemangat dan semakin
dipenuhi dengan rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana
tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang
diri, tanpa penolong.
Pada
saat demikian ini ketika manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu
langit turut campur dan terjadilah peristiwa besar dan mukjizat
terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang
tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat
dakwah ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata untuk
memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya.
Seakan-akan Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi
tidak memujimu, maka penduduk langit mengenal kedudukanmu dan
memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu
dan menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan
memuliakanmu.
Untuk
melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj
dalam sejarah para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada
tandingannya dibandingkan dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui
bahwa di deretan para nabi ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT
sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi
Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di antara para nabi ada seseorang yang
diajak bicara oleh Allah SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa. Kita
juga melihat di antara para nabi ada yang didukung oleh Allah SWT dengan
ruhul kudus, seperti Nabi Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita berada
di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk
menuju ke sisi-Nya.
Beliau
naik bersama Jibril dengan jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril
berdiri di suatu tempat dan Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari
tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan
sejarawan tidak dapat menulis apa yang terjadi saat itu. Kita telah
melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya
agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang
yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan
hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan
hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun
Allah SWT menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT
atas manusia. Nabi Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan mampu
menahan beban penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun
Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta
kepadanya untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak
meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha
mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk
bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami kedalamannya oleh
para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk bentuk yang
menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat
permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala
sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah
saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka
akibat perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka
aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah
tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan
beliau merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak
murka kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha
Allah SWT dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh
adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang
paling layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau
sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah
mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati
kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan peranan akal dan
hati secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai
macam mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat
ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka
sebagai bentuk menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau
penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk
akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini
adalah kali pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat
utamanya di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi
yang diangkat ke langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih
hidup. Di sana Allah SWT memperlihatkan kepadanya tanda-tanda
kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke bumi di mana beliau akan
mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh
penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang pertama
melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan
bintang-bintang. Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau
astronot pertama yang mampu menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu
baru dapat ditembus oleh manusia setelah empat belas abad dari turunnya
risalah Muhammad saw, namun sejak empat belas abad yang lalu Nabi Islam
telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul
Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau
sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau
menembus alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai
di surga. Allah SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai
pada batas terputusnya ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat
ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat
Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam. Peristiwa Isra' dan
Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim.
Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada
surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya
yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada
malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan
berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan kedua
air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun;
beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik
memandang beliau dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan
berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT
menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul Amin yaitu malaikat Jibril agar
menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha Kemudian
membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat tanda-tanda kebesaran
Tuhannya.
Di
suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di
Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam.
Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di
sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta.
Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka
kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril
berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah
SWT ingin agar engkau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di
alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar dari
rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung
dan mempunyai sayap seperti burung garuda; makhluk yang terbuat dari
kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq. Kilat adalah listrik dan
listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk yang tercepat yang kita
kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja mencapai 186 ribu
mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan luar
angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan bertanya
bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan
sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi;
kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran
dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya
tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban dari semuanya:
Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu Allah SWT
mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para
ulama beselisih pendapat tentang apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan
ruh saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat
mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan
itu berakibat pada perselisihan akal dan terjerumus dalam perangkap
kaifa (bagaimana) dan bertanya tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha
untuk menundukkan masalah ini terhadap sebab-sebab yang biasa atau
hukum-hukum kita yang alami atau logika kemanusiaan. Allah Maha Suci dan
Maha Tinggi dari semua itu. Apakah seseorang akan bertanya, bagaimana
Rasulullah saw naik berserta ruh dan fisiknya ke puncak segala puncak di
langit kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat
apa yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat berubahnya air mani
menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air
yang menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau
mukjizat cinta yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara
itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw
menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari
cahaya di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril
mengisyaratkan agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti.
Jibril berkata di tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan
Musa as. Kemudian Buraq kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun
dari pesawat ini yang berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali
lebih cepat darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi
berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki
masjid dan beliau mendapati semua nabi sedang menunggunya di sana. Allah
SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan
mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat memberinya suatu bejana yang di
dalamnya terdapat susu dan bejana yang lain yang di dalamnya terdapat
khamer. Lalu beliau memilih susu dan meminumnya. Dikatakan pada beliau,
sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para
nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya
di antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat,
apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada
Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama
para nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka
semua adalah orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim
yang pertama. Secara logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para
nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab yang terbaik daripada
kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau membacakan Al-Qur'an kepada
mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan beliau saat
membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi sujud di
belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut
bersujud.
Selesailah
waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke
langit yang mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama
Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya.
Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau
menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah
hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh." Kemudian hamba Allah SWT
Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit demi
langit. Beliau melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat
ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau
semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan
yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau
melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan
Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah
SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.
Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan
ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan melampaui alam
ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau sampai di
tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul
Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau
menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan
membayangkannya:
"(Muhammad
melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh
terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran
yang misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal
penting di sana meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita.
Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh
Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya; itu adalah tingkat
cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya yang tidak
mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian
Tuhan pemilik surga dan neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih
tinggi lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat
yang tinggi. Kali ini beliau melihat Jibril yang berada di belakangnya
lalu beliau mendapatinya dalam keadaan bertasbih kepada Allah SWT.
Jibril tidak berada dalam wujud manusia seperti yang Nabi saksikan
ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke dalam wujud malaikatnya.
Nabi melihat Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT yang
Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan
itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan
yang tidak dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana bukan
mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu
dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian
Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi.
Beliau semakin naik ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri
di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di
dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling sempurna itu bersujud di
hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan
keberkatan serta shalawat yang baik tertuju hanya kepada Allah SWT."
Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT
serta berkat-Nya juga tercurah kepadamu." Para malaikat pun ketika
mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada kita dan
kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan
orang-orang Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari.
Salat telah diwajibkan atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini.
Hal populer di kalangan umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT
mewajibkan atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi
turun dari langit lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa
bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada
umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh
kali salat. Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk
melakukan salat itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah
kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada
Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali.
Setelah itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa
memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga
sampai diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari.
Namun salat yang lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima
puluh kali.
Menurut
hemat kami, kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab
ulama yang benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan
rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka
memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka
menisbatkannya kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan
Musa sebagai seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta
keringanan atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang
yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad.
Kami sendiri cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan
bahwa pertemuan Nabi dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan
kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat
berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi
menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan
dan tidak mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang
tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja
tidak mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan
rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang
diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi
Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa
beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami
tidak mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami
bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya
dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang
selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah penghormatan yang
besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk
kembali ke bumi. Beliau kembali dan mendapati tempat tidurnya masih
dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali sementara tempat tidumya
belum dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya saat melakukan
perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui. Yang kita
ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah
Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya
dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta
kepada Allah SWT.
Kemudian
datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman
tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga
berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya
orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua
itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya,
datanglah suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di
Mekah telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat
tidak mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan
dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah.
Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas
tahun beliau di Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin
menghilangkan pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula-mula
terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah
saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada
kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim.
Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan
jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa
kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal dari kelompok Khazraj." Beliau
berkata. "apakah kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka menjawab,
"benar." Beliau berkata, "maukah kalian duduk bersama aku karena aku
ingin sedikit berbicara dengan kalian." Mereka menjawab: "Boleh."
Kemudian mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk
mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah
saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an.
Enam orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah
beliau selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman
kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka
meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan
kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan
Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan
akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam
lelaki itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah
Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah
SWT berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali
ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak
orang yang masuk Islam.
Kemudian
datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki
dari orang-orang yang beriman yang di antara mereka terdapat enam orang
yang Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu
dan Nabi saw menemui mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat
pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah
kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum
lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya
dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan
Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka
dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada
manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai
bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas?
Mengapa Rasul saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi
beliau justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan
membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah,
pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk
Madinah Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan
berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya dalam
hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang dialami kaum Muslim
mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan
tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang
baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela beliau
menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka
datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan
segala sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai
pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab
hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah
al-Kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib
datang bersama Nabi dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya.
Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan
berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang mengisyaratkan bahwa
Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di
negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung bersama kalian
wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya,
maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan
mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata
Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah
keluarga namun penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas
itu karena ia bukan termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui
tingkat cinta kepada Rasul saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul
Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu mereka berkata
kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang engkau katakan, maka
berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja
yang engkau sukai."
Kita
ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk
Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh
Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah
setelah Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar
pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya
menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan
Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa tidak memiliki
apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca
Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara
tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga
mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah
al-Kubra.
Orang-orang
yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka
akan diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk mendapatkan
kematian di bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw
bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam
peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah
seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting.
Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan
Yahudi terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan
memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka
lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT
menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada
mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah
bahwa pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan
keinginan agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan
bulan. Masalah yang dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas
adalah masalah perlindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut
tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari penduduk
Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah masalah perlindungan
Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi
tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan
bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau berkata:
"Tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari
kalian dan kalian dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian
perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai
dengan mereka."
Akhirnya,
penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita
tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh
musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan
kaum Muslim.
Para
preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan akan
mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang
dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang
di penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan
agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar
mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga Quraisy
seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi pedang yang
terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika
mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab
terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan
memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai
tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan
mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim
menyingkap persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam
firman-Nya:
"Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu
untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu.
Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu
daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah
SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai
menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan
tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya.
Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang
mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang
mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi
memita bantuan kepada orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian
datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan
Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam tersebut.
Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya.
Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi
menggenggam tanah lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga
mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan
mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan
langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka.
Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi
menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan
tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama
kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah
Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah
tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di
Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke
Madinah ia mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa
tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang
mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai
membawa senjata dan mulai menyalakan obor peperangan. Islam mulai
membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati.
Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya
untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin
mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah
dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai keadilan,
kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum Allah
SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah
kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah
sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw
membangun masyarakat Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun
suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami
kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid
ditingkatkan sementara Islam masih mengalami penindasan di muka bumi.
Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang tidak mengetahui
bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di Madinah bukan tempat
peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari
kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia
mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di
kancah peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di
antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya?
Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan
cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara
itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau
masuk ke gua itu bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik
pergi menyusul beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai
ke gunung itu. Abu Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan
gelisah, "seandainya salah seorang mereka melihat di bawah kakinya
niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan
tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata:
"Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat
yang sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum
Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai
dari menenun rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan
bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di
gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki
gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu
terdapat tenunan laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya seseorang
masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di atas
pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah
keimanan tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman
pedang kaum musyrik sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini,
kedua orang itu menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika
Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat
tidak mengenal siapa di antara mereka yang menjadi Rasul karena saking
baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota
Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya serta
memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan
dan Baitul Haram disucikan.
Beliau
menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan pernah
padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah
di mana beliau tidak menggunakannya untuk berleha-leha. Demikian juga
selama masa tiga belas tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun
tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua kehidupan beliau hanya
untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam. Beban berat yang dipikul oleh
punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban yang dipikul oleh
gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu memikul amanat
yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung
namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun
mampu memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu
amanat untuk menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal
manusia dari polusi khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai
kehidupan dengan hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian
mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup:
bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal
beberapa memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya
dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan
bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa
pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau.
Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di
hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta badai kesengsaraan.
"Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang
beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak sederhana namun ia mampu
membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu banyak
yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan kegelapan
dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para
penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik
dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang
Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi
mengingat kembali Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa
yang terjadi dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan mengusirnya?
Hari-hari
hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala
dan rasa panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun
semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau
disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau datang
sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut
lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu
mereka memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu
mereka memberikan perlindungan.
Bangunan
Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya
setelah beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang
pertama kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau
baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem
yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari
sekadar tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok
ukur final dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam
telah berhasil menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang
belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu.
Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang
yang mengagumkan. Hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah
membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan
batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma. Barangkali ketika
turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena mendapat siraman
air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia akan
mencabut sebagian dari atapnya.
Di
bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam
yang tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang lalim dan para
penguasa yang bejat dan mereka mampu mengembalikan kebenaran ke
singgasananya yang terusir dan terampas. Mereka mampu menyebarkan Islam
di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan sederhana sekali tetapi ia
dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak menunjukkan kemewahan sama
sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya
menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah harian untuk
menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an
dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan
merasa terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan
masjid di dalam Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut
kaum Muslim semua burni adalah masjid namun masjid adalah simbol
peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia
menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua
Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan
ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan
itu secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat saat itu
mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan
Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang kaya dari Madinah
dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah
dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa
bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang banyak daripada kamu.
Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan sebagiannya aku
peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka lihatlah
siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku menceraikannya
lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf menjawab:
"Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu. Di
manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul
Rahman bin 'Auf keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan
membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap
baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah
SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu
hari demi hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk
membekali dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah
masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya berdasarkan
cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan
suatu penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan daging
sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam
Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang lebih
tinggi:
"Dan
katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran
bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan
perkerjaan itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang
melampaui nikmatnya memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah
cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati
dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan
langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang
Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan mencintai
Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai
dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya.
Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara keseluruhan: ia mencintai
anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan benda-benda mati pun
mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar
seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud terhadap
alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang tinggi.
Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang
diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya
di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa
tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah
cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun
tertuju kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak
akan terwujud dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu
undang-undang, tetapi cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan
akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung
kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud dengan
kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang
yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun
beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang
paling sederhana. Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya
tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya memasak berbagai macam
hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan yang sangat sederhana.
Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur dengan minyak.
Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum
Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali
ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta
diri sendiri, cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan,
kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan
Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat mencintai
pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang
berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan
dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam
tetapi ia merupakan tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah
membebaskan kaum Muslim dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan
demikian, runtuhlah semua belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan
masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang
diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan akalnya dan mendebat
segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa puas dengan
sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam bukan
kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi
kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam
ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau
sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk
berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain itu,
seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka
sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan menutup
pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian
baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau
menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari
sisi akal dan hati.
"Adalah
untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan
senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang
benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir." (QS.
al-Anfal: 7)
Orang-orang
Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi
ekonomi yang memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang tidak
bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan
yang bersenjata; mereka membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah.
Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan seperti itu agar
mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu memutus
tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah
orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa
mereka akan mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan banyak
mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan
yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir
Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat menahan penderitaan
dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam tidak
membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi
kepadanya.
Nabi
mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya
bahwa mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah
sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan
sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar
bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus
melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus
dilakukan.
Kemudian
Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian."
Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw
khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka
yang berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang di
Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu.
Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak
akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai di negeri kami.
Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung jawab
untuk melindungimu."
Mayoritas
pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin
mengetahui keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan.
Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum
Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata: "Demi Allah,
seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah." Nabi menjawab,
"benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar
pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi,
bahkan beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah
mendidik mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal
perjanjian namun ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya
yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman
kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang beliau
katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad
bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan
dan kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran,
seandainya engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya
niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di
antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan kaum
Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting dan paling
berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan
kaum Anshar dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan
perasaan Nabi Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau
wahai Musa bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini
hanya duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya
Rasul saw memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan kaki
di atas ombaknya niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun
berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak seorang
pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya,
kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka
membuat kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan
pergerakan tentara Islam. Tempat itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah
SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat
sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah
umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk
mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman.
Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya
kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan
tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita
tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni kita tidak dapat
memberikan pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik
yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat perang
dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah
saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu
daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak
tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan
Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat
mengambil darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat
yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah
pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan mereka
akan berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan
Quraisy berada di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan
kafir terdiri dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan
pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan Muslim terdiri dari
keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari pasukan kafir.
Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya,
saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan
peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka
ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan
kaidah utama adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika
pasukan Muslim berpegang teguh di atas dasar Islam, maka pasukan kafir
mulai terpecah belah namun keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu
'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah dan
mengajak mereka untuk menarik kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan
pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang
Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian
akan menyesal karena kita berhadapan dengan saudara-saudara kita
sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita, atau salah
seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat
yang rasional tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian
tentara merasa puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat
bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru
memadamkan kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang
mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal
lebih memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin
pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah
berbohong. Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif
menyendiri dalam perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya
peperangan tersebut dan bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah
engkau melihat bahwa Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab:
"Bagaimana mungkin ia berbohong atas Allah, sedangkan kami telah
menamainya al-Amin (orang yang dapat dipercaya)." Peperangan tersebut
bukan sebagai usaha untuk mendustakan Rasul saw tetapi itu hanya
semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan
ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai yang paling
rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di
bumi dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian
datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang
mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik.
Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan
tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang
Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang
musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat
serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil,
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno
pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak
sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih
melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah,
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas
kaki, maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian
rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di
tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah
sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh
tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan
hati dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram
dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu
dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan
untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)."
(QS. al-Anfal: 11)
Datanglah
waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi
memerintahkan pasukan Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda:
"Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan
janganlah kalian menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah
ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim
membentengi mereka di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik
mendapatkan kerugian dari serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui
dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga
atau tiga kali lipat dari jumlah yang biasa dilakukan sehingga
serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa jumlah pasukan
musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum musyrik
dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan,
dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim.
Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan
tiap tiga orang Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan
saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan
tampak menyertai bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan
bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap.
Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak
kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang persoalan yang
dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan:
kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang
tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh
dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara
itu debu-debu berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan
kaum Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika
dua pasukan saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu
Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit
dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang
kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada
Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah,
wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan,
maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah,
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu,
kita dapat memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya
dimenangkan.
Pemimpin
pasukan tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah
SWT dan saat ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang
dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran
Nabi saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada hal yang akan
datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT di muka
bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan
disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi
tidak terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau
khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka
bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan
mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal
itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankankan-Nya bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala
bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.'
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan
itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah
itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan
berita gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu
bantuan dari Allah SWT."
Turunnya
para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita
gembira kepada mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para
malaikat dalam peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa
peranan malaikat tidak lebih dari sekadar membawa berita gembira dan
memberikan dukungan moril serta memenuhi hati dengan ketenangan. Kami
kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat menyaksikan
manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah
Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh
karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan
kebenaran akan tertancap pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir
pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah
beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati
orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa
menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka
rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada
(lagi) azab neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu
orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu,
terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan
sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan
kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin
pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah
saw berdiri di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata:
"Wahai Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin
Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang
dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan
apa yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang Muslim berkata: "Ya
Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah mati?" Rasulullah
berkata: "Kalian tidak mengetahui apa yang aku katakan kepada mereka,
tetapi mereka tidak mampu menjawab perkataanku." Rasulullah saw tinggal
tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau
terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum
Muslim sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang.
Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan
Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari
saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau
mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang engkau ambil
tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir, dan
mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka
menjadi tulang punggung kita."
Kemudian
Rasulullah saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata,
"bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi
Allah, aku tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi
aku berpendapat, seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang
kerabatku, maka aku akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu
bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan memukul lehernya begitu
Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita
kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan
Madinah dan pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat
hubungan kekerabatan, namun kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya
peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang tuanya. Umar
menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut sehingga orang-orang
musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah
urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat
senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di
dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian
besar mereka cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti
pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar
yang benar.
Ini
adalah peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum
Muslim harus meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang
kafir harus dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam
telah memilih darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam
Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya
menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki
mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang menyebabkan
Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian Rasulullah saw
membaca Al-Qur'an:
"Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua
ayat itu mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para tawanan dan
berusaha untuk menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi tidak
berhak memiliki tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak
peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh dan dakwahnya
telah mapan.
Kedua
ayat tersebut menyingkap tujuan di balik penebusan tawanan: "Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu)."
Demikianlah
pemikiran yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu
adalah pemikiran yang bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan
dalam istilah modern dan bukan pemikiran yang bersifat strategis.
Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan biasa tetapi menurut
istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu,
nyawa mereka harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap, meskipun
mereka memiliki kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam
tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan,
sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan
oleh Islam.
Nas
Al-Qur'an memperingatkan orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka
bisa berakibat pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi
Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya
tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."
Siksaan
tersebut memang lebih dekat daripada pohon yang dekat ini, kemudian
Allah SWT mengampuni mereka dan Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat
yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu maupun dosa mereka yang
akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar
mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat berperang.
Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya ditujukan
kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi
mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat
pada kekalahan mereka.
Dalam
peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum
Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin orang-orang munafik Abdullah
bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim diletakkan di gunung
dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk memenangkan
pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung
untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi mereka dari
serangan dari arah belakang. Rasulullah saw memberi pengertian kepada
pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya baik kaum Muslim menang
maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh turun dari gunung
dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata
kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat
kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan tidak
usah menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan
dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah
membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke pasukan yang
lain, lalu beliau membikin suatu rencana untuk menyerang. Dan Dimulailah
peperangan kemudian pasukan Islam mendorong pasukan musyrik laksana
angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada
tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil
menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun
mereka unggul secara bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan
persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan
ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur mereka hingga
mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan peperangan atau
dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu
peperangan mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan
pasukan Mekah. Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah
saw di suatu tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah.
Pasukan Mekah telah kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan
Muslim, maka bagaimana seandainya para pemanah turun dari tempat mereka
untuk mengumpulkan harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah
mengingatkan mereka agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang
terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan menentang
perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah
selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan
pemanah mengira bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan
melindungi mereka sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan
ganimah. Sungguh keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan.
Belum lama hal tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang
drastis pada peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam
peperangan Uhud yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh
Muslim adalah orang yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu ia
melihat pasukan pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah
yang terbuka di tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan
kudanya dan disertai pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang
kaum Muslim dari belakang. Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat
cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil kesempatan
emas. Mereka yang tadinya lari, kini mereka menarik diri dan justru
menyerang kembali.
Pasukan
Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang
dan yang lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari
pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai
syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang
Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau yang
mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian
tersebarlah isu bahwa Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar
itu, kaum Muslim sangat terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim
pun terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang
lain ke atas gunung dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia.
Ketika mendengar kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya:
"Bangkitlah kalian dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian
lakukan setelah kalian hidup sesudahnya."
Pasukan
Muslim tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum
musyrik semakin berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian
terjadilah kejadian yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw
berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha
membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka
baginya surga."
Mendengar
perkataan itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi
beliau sehingga banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan
sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya
dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai
kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian
berubahlah keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan
oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk
menarik diri. Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit
penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah
peperangan yang dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri setelah mereka
berhasil membunuh beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil melukai
pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw. Semua itu terjadi karena satu
kesalahan yaitu kesalahan terletak pada penentangan dan pembangkangan
para pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan usaha mereka untuk
meninggalkan tempat mereka.
Ketika
sebagian kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan
sikap ikhlas dalam hati mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar
oleh tentara yang paling berani dan mulia di antara mereka yaitu sang
Nabi saw. Langit tidak ikut campur untuk menyelamatkan pasukan Islam
itu. Kesalahan kaum Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di mana
wajah beliau pun terluka bahkan keluar darah yang cukup deras dari luka
beliau sehingga setiap kali dituangkan air di atas luka itu, maka darah
pun semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti kecuali setelah
dibakarkan potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka
beliau bukan hanya bersifat materi tetapi luka spiritual beliau dan
ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini beliau rasakan ketika mendengar
bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan tidak cukup dengan itu,
bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan mengeluarkan
jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu semakin
menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum
Quraisy menguasi pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan menekan
kaum Muslim secara aniaya. Seandainya bukan karena rahmat Allah SWT
niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang telak. Kemudian
turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim
agar mereka benar-benar ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan
mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di antara mereka yang
menginginkan dunia meskipun di antara mereka ada sebagian yang
menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk
memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang diinginkan oleh pasukan
Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan tertuju untuk
mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika demikian
halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di
antaramu ada orang yang menghendahi dunia dan di antara kamu ada
orangyang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari
mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu.
Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang
beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah
SWT memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban
mereka dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya
tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah
sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka
beliau berkata dalam keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang akan
tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian
Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk
mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal
mereka di mana mereka terbunuh. Saat itu keluarga mereka telah
membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan kedua orang
laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau
bertanya siapa di antara keduanya yang paling banyak mengambil manfaat
dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah satunya, maka beliau akan
mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah
saw juga memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan
beliau pun tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah
SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat
lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT
kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana
Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya
seperti minyak misik."
Bukanlah
penderitaan yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti
kaum Muslim dari peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan
mereka dari perintah Rasul saw dan ketidaktaatan mereka kepadanya,
tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran yang lain yang dapat
dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran kesetiaan
adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim
berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum
Muslim berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi
karena satu dan lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan
meninggalkan beliau. Tidak seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas
atau central tetapi yang menjadi central dari semuanya adalah pemikiran
beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah
bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya
ketika tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak akan mencapai
puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat
beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka
murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi diri
mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang mengikuti
prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang
pemimpin manusia dan Imam para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai
makhluk Allah SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan
bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika
Rasul saw wahfat atau terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul
senjatanya dan tidak membuang dari tangannya kecuali dalam dua keadaan:
pertama ketika ia telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia telah
mati.
Nas
Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang hubungan kaum Muslim dengan
akidah Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia
tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran:
144)
Demikianlah
bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap
kaum Muslim, utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di
perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling banyak
imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama;
mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus
berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka
menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan
sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan
Allah SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam
penderitaan, dan ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan
Islam telah terkepung di mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka
justru mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang menenggelamkan
orang-orang kafir dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan
mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan
Uhud bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan
bukanlah merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan
di antara cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk
menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan membimbing
hamba-hamba-Nya. Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud
bukanlah pengorbanan yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang
terakhir. Rasulullah saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di
mana beliau telah memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah;
beliau tidak memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan
waktunya dengan sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua
kehidupan beliau diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau
menjalani berbagai macam peperangan dan beliau memikul berbagai macam
penderitaan dan belum lama beliau lari dari suatu problem kecuali beliau
berhadapan dengan problem yang baru dan lain; belum lama beliau
menyelesaikan suatu krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain.
Demikianlah kehidupan sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan
kontribusi dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan
Anda mengamati kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun yang Anda
inginkan niscaya Anda tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut
kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi dengan pergulatan yang
hebat.
Rasulullah
saw telah melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran
yang silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan
politiknya yang terwujud dalam perundingan-perundingan dan surat-surat
yang beliau kirimkan kepada penguasa dan para raja di berbagai negara
agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam
masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong
dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam setiap waktu. Kalau
kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT,
maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT.
Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya
berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap
kurang ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi
orang-orang munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai
menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian
datanglah utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan mereka
mengatakan kepada beliau bahwa mereka mendengar tentang Islam dan mereka
ingin memeluknya, maka hendaklah beliau mengutus kepada mereka beberapa
dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi
saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai yang dipimpin oleh
'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat atas para
sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga
di antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah
berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy yang telah
lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh
tiga tawanan kaum Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar
dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika
datang kepada Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim
utusan dari kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah
kaum Najd, maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara
kepentingan menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap kehormatan
manusia. Lalu beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau
menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya dalam bahaya; beliau
memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu keadaan yang
misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya
tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu
meliputi dakwah Islam.
Ketika
Nabi saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang
bakal diutusnya di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau
untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan
melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh
orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah
SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para
sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu
orang-orang yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka
adalah para dai yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari
mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan
salat. Ketika datang perintah Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi
dan berdakwah mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena mereka
diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan kaki
dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para penghianat sehingga
mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka
mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin
orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu
menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau mengharapkan agar
masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan adanya
pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia
tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian
pemimpin orang-orang kafir itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para
kabilah untuk memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga
sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur
di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi makanan dari burung nasar
dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu
hanya seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan
apa yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati.
Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan
sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada
sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan
mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami,
berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja
yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh
penderitaan yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa
para sahabat yang gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw
sangat sedih mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir
terhadap Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai
pada batas ini. Kemudian beliau menetapkan akan kembali mengangkat
kewibawaan Islam dengan tindak kekerasan.
Dalam
keadaan seperti ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk membunuh
Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi ke Bani Nadhir untuk
menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka menampakkan
persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi di
bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka bersekongkol untuk
melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu yang berat
dari atas benteng itu saat beliau duduk dan tidak membayangkan akan
terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya. Namun Allah SWT
mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau
bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau segera pergi
menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali ke rumahnya dengan
membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan pengkhianatan tersebut
tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam menunjukkan taringnya.
Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengangkat senjata.
Rasul
saw mengutus utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka untuk
keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya
sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik yang ada di Madinah bersatu
bersama orang-orang Yahudi dan mereka sepakat untuk memerangi Islam.
Namun ketika berhadapan dengan Islam, orang-orang Yahudi menelan
kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran
orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah
kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar bersama sahabatnya
untuk membalas kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal
dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam.
Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu membuat para pengkhianat dari
orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar mendengar nama pasukan Muslim,
maka serigala-serigala gurun yang dulu bengis itu pun ketakutan laksana
tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di bawah lobang-lobang gunung.
Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan pasukan Islam. Pasukan Quraisy
menarik diri saat mereka mendekati Dahran, sementara pasukan Muslim
berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan yang disepakati di Uhud.
Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari sebagai bentuk
tantangan dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika mereka
(kaum kafir) telah pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah
mereka menerima kepahitan dalam peperangan Uhud.
Kaum
Muslim menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan
mereka di selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam
merampok di tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ,
bahkan kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk
menyerbu Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu
orang Muslim yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di
waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat
yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka
menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan
kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita
akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw
sangat unggul sebagaimana alat pertahanan beliau pun sangat unggul.
Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw menunjukkan
bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar biasa. Sistem pertahanan
yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu
menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah,
terjadilah hari-hari pertempuran militer. Belum lama Nabi saw
meletakkan baju besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum
Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali
berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di sekelilingnya
melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi kemampuan
kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf
dengan cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan
Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah
peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang
cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di
antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana salah seorang
mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak:
"Wahai kaum Anshar."
Peristiwa
yang sangat sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu
Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang Anshar
untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka
jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam,
Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh mereka telah
menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah
kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid
bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi saw, di mana
kalimat itu berisi provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk menyerang
kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar
kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw
dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah
membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin
Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi
dari Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu
beliau mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat
yang tidak biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat
di hari itu sampai waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka
memasuki waktu pagi. Kepergian yang singkat dan tiba-tiba itu mampu
menepis kebohongan yang dirancang oleh si Munafik, Abdullah bin Ubai.
Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar persatuan kaum Muslim
ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah rumah sang Nabi
saw.
Ketika
Nabi masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang mencoba
melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai penipuan dan, makar. Dan
salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah istri beliau, yaitu
Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk memenuhi hajatnya
lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya,
anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui. Ketika
Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia
kembali mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu
orang-orang yang membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah
berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena memang berat
badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan
Nabi berjalan dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di
dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati pasukan di mana mereka
telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan yang begitu
cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang gurun.
Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya di mana di situlah
untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil berkata dalam
dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena itu
mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara
itu, Sofwan bin Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan
keperluannya. Ia berjalan dari arah yang jauh lalu ia melihat bayangan
orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia
mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah
sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri
Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah
SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak
menjawab.
Sofwan
mundur dan mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda
menaikinya." Aisyah pun menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan
mencari pasukan yang telah meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi
sedang beristirahat. Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih berada
dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada
mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh
munafik Abdullah bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia
membuat kisah bohong yang terkesan menuduh istri Nabi melakukan
pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa sahabat yang
dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di
antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika
tersebar kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah
pemimpin munafik itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali
kebohongannya, di antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita
yang dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab
binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan
kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang
terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara
itu, Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut. Isu
tersebut bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan
RasuhiHah saw dan itu termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan
ajaran yang dibawanya. Begitu juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum
Muslim tidak konsekuen dengan akidah yang mereka yakini dan secara tidak
langsung ia juga menyerang kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan
kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak mengetahui
isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian Rasulullah saw
mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun
mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu
Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di
hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi
menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah sakit. Ketika
beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata:
"Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata
itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah.
Pada suatu hari ia berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan
aku, niscaya aku akan pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu
tidak ada masalah."
Aisyah
pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama sekali apa
yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh
malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal
yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah menceritakan
bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah SWT
membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami
adalah kaum Arab di mana kami tidak mengambil di rumah kami tanggung
jawab ini yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami membencinya.
Kami keluar untuk menikmati keluasan kota. Sementara itu para wanita
keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka. Pada suatu malam,
aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian keperluanku.
Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita wahai putri
Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia memberitahukan
padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku
berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu
memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis
sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan
aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak
orang berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan sedikit pun
kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali
wanita yang baik yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia memiliki
istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh
berbagai isu."
Aisyah
berkata: "Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada
mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau memuji Allah SWT
kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum lelaki yang
menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka mengatakan sesuatu yang
tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka kecuali dalam
kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang aku
tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian
Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan
bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya melontarkan pujian dan
berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu kecuali dalam
kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan," sedangkan Ali
berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat kau
percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya
kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil
berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata:
"Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah
mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti
lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan
datanglah kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah
berkata: "Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku
bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku
menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu
memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu telah
mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka
bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan keburukan
seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada Allah
SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya."
Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang
dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali
tidak seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku
untuk mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah
berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak
layak diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku
hanya berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan
kepadaku itu sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah
berkata: "Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku
berkata kepada mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan
Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi Allah kami tidak mengetahui apa
yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu.
Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat dari wajahnya sambil
berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah
menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku
berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian beliau keluar menemui
para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang
besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril
turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala
tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dan gagallah peperangan psikologis
menentang kaum Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw, dan
kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus menggunakan cara
baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw kembali
memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq
termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh
Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi
berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan
berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan hanya layak
ditujukan kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik
daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik
kaum Yahudi berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan
mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan
menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu tentara. Akhirnya,
berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar
orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang
menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi
saw mengetahui bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang
Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan hari telah menjauhkan
antara mereka dan sumber yang jernih yang dipancarkan oleh Musa.
Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya bergambar tauhid
namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih penting dari itu
adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi
saw menyadari bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang
besar. Pertempuran secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi
Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara mempertahankan Madinah
tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya berubah di mana
sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta menyerang
kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti
perbedaan ancaman itu.
Kemudian
beliau mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau
ingin mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan
Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali suatu
parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti
bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim
dapat mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu
terkesan agak mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui
usulan Salman itu. Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan,
beliau mengetahui bahwa situasi cukup genting dan karenanya ia menuntut
usaha keras untuk dapat melaluinya. Nabi saw memerintahkan para sahabat
untuk menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan
saat itu musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum
Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun
demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw
terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum
Muslim dengan semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian
parit itu meskipun kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan
karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi.
Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan
tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu
itu, mereka berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada
kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan
Quraisy mulai mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi
jazirah cinta di tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai
menghantam jazirah dan berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian
bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang
cukup banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di sekeliling parit
dalam keadaan bingung: apa gerangan yang telah dilakukan pasukan Islam,
bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda
musuh berusaha melalui parit itu namun pasukan Muslim segera
menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus berlangsung. Pada
hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung
Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus
dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam.
Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak
mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki Madinah atau tidak,
dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah
SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu)
ketiha mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha
tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke
tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam
persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan
hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan
semakin buruk di mana orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka
dengan kaum Muslim dan mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah
Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa terhadap
pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka.
Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum
Muslim benar-benar mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka
benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim
bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka katakan?" Rasulullah
saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka
dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa
tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan kewajiban
mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan.
Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang
Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia
mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan
orang yang berdoa.
Akhirnya,
kaum Muslim benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian
perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami.
Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya telah kalah di mana
mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak
memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun
tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap
begini selama tiga tahun.
Kemudian
datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah melihat malam
segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya angin
sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking gelapnya malam
itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang mampu melihat
jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya
cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak
mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw
bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi
saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di tempatnya
karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena saking
dinginnya dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada
Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang
menyerang kita."
Hudaifah
sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia
tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat
berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan
menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada Nabi saw dengan
membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika
Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan
kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan
kegelapan malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan
menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk
tidak melakukan tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali.
Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka
berusaha menyalakan api namun angin segera mematikannya sebelum menyala
dan di dekat api itu terdapat seorang lelaki yang berdiri sambil
mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud untuk menghangatkannya.
Lelaki itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat
itu, Hudaifah segera memasang anak panah pada busur yang dibawanya dan
ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka kaum
Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah
saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun. Kemudian ia
kembali meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu
Sofyan berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak
menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan
pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu mendudukinya dan
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah
kembali menemui Rasulullah saw dengan membawa berita mundumya pasukan
Ahzab dan gagalnya serangan mereka. Ketika mendengar peristiwa penarikan
mundur pasukan musuh, Rasulullah saw berkata: "Sekarang kita akan
menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita." Belum lama
pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau
keluar dari Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani
Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka
bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena
itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi
saw memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar
kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut
berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum matahari
tenggelam.
Orang-orang
Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin
Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus
dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa
jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan
yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh
mereka akan memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad
ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di kemahnya karena terkcna
panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik
terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang
Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka. Kemudian
Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi
Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli
dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh
dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya:
"Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah
SWT dari tujuh langit."
Sa'ad
mengetahui bahwa perantaraan, permohonan, harapan, dan menjaga berbagai
pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu genggaman, dan masa depan
Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah
penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai
tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya.
Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon
beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah
kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan
pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang
beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk
melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama
seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul
Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah
pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia
tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh
unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh
Zat yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang
Quraisy membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung
tali silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi
saw memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum
Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah
di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah
menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya.
Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka
mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka
bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan
urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan
kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan
perjanjian bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan
sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah
mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah
juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan
ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan
perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui
semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut
tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik
kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan
seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal
ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan
beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut kepada
mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa berita persetujuan
dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun
membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para
sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada
beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim?
Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali bertanya:
"Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?" Umar ingin
mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus
mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima
syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah
kita takut terhadap mereka?"
Mendengar
berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru
menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang
perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari
kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu
memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan
hari menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di
tengah-tengah sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling
gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut
diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang
mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah
memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat
mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi
saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh
kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian
tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah
berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang
spektakuler.
Suhail
bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib
adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah
saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini.
Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada
Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu
tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok
antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi
saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan antara Muhammad saw
utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada menentang
Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa engkau adalah
utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu
dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada Ali tulislah: "Inilah kesepakatan
antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."
Tampaknya
itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas
tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu
tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil,
semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa
Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk
menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun
jika terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam
lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum
Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang
yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi
orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat
tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang
Quraisy memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak
adil itu. Ali melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari
Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun depan
orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk
melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus
meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan
terkesan membingungkan.
Di
tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah
penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding
Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan
ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera
bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan
kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum
Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw
berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam
menanggung penderitaan karena Allah SWT akan menjadikannya dan
orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan. Nabi
memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum
Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya,
anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian
Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak
kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw
memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan
mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke
Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu
beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim
yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau
tidak berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa
Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari
umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong
rambut mereka.
Perjalanan
hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang
dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan
kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak
mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap sebagai
pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam, maka
ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat
aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan
aktivitas di mana mereka berhasil menarik orang-orang yang masih
memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa
penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah
lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul
saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus
Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah
beliau disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah
terjadi setelah dua tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah
kaum Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw
dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar sebagai pemenang dalam
pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan kaum
Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum
Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy,
maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan
Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan
pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum
Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak
Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok
yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri di tengah-tengah kaum
Quraisy.
Belum
lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada
Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang
masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju
kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang
telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas.
Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah
Nabi saw terus menjalani mata rantai pergulatan yang tiada
henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak
sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri.
Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan
pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab
dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk
menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu
menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya
puas dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat
adil.
Kaum
orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi dan
memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah
perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa
pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah
saat beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat
puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain
sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah
meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi
Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap
setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi
Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada
manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu
memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu
masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah
dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit
kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar,
ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin
pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu merasakan
penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke
Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai
persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah
kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan
beliau dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di
mana perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan
suatu tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi.
Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani
Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang karenanya ia
menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang
budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau
nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia
dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah
dengan Zaid:
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan
yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak
semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir.
Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu
menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid
datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin
untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar
membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara
kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi
saw membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi
istri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru
merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah
anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid
dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan
apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan
menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh
manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT
berfirman:
"Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu
takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan
beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan
kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan
menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti
Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah
bersama suaminya ke Habasyah.
Ia
berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama
Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam
menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam
dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan
Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada
suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri
Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu
Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat
sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai
membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat
tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau
tidak boleh menyentuhnya."
Adapun
Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan
Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq.
Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim
lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi
tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim
memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk
bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan
sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan
persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan
namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari
Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi
Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan
maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan
mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau
menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada
Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang
diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk
hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan
wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam
memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari
kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal
saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai
isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah
para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari
sulbinya.
Salah
jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu
untuk mencari kesenangan meskipun halal. Kesenangan diperbolehkan bagi
orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan
berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang
membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi
yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di
zamannya.
Kehidupan
beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga
sebagian istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka ada
yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau
keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada
beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan
istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau telah
menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat
yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap menjadi
istri beliau atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan
pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di rumah
kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian. Allah SWT
berfirman:
"Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu
sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan)
di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang
berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah
fitnah. Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya,
istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat
daripada kehidupan dunia. Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi
hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan teladan bagi
seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga
beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang
yang memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah membalas
pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan
mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT
berfirman:
"Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan,
sebagai penegasan terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan
hijab yang teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak
diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw
melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para
penguasa di mana beliau ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam.
Nabi saw mengajak Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau
mengirim utusan ke Amir Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan
beliau mengutus utusan ke Amir Basrah bagian dari wilayah Romawi dan
mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan beliau juga mengirim surat ke
penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam, dan beliau juga
menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk mengikuti
Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk
mengikuti Islam.
Lalu
berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi itu. Di
antara mereka ada yang berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa
ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka
ada yang merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada yang membalas
surat itu dengan jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang
menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak
pernah padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau
menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk
dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT
menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji
wada' (haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah
sebagaimana firman-Nya:
"Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. "
(QS. al-Maidah: 3)
Ayat
tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT
merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah
berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah:
"Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu pun
terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari
terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana
yang biasa beliau lakukan.
Mereka
memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi saw yang
biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman hingga wajahnya laksana
lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam rumahnya dan hampir
saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya. Beliau memasuki
rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu
Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah
menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan
tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena
saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan kedua matanya
mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah engkau
merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu
beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw berbagai
gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan membawa wahyu di gua
Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama dua puluh tiga
tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh tahun yang
mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala
sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil
melalui berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan beliau tidak
pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan akidah kepada para
pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi mulia dan
benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat
tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan
melihat wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing,
demam, dan sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk
menenangkan Aisyah dan beliau kembali memejamkan matanya dan tidak
sadarkan diri. Apa gerangan yang menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah
Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah
dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai
gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau
mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy ketika membantalkan
perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu
bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka membunuh semua sekutu
kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan bersama pasukan
yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap, dan
tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang tidak
berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak, panah,
dan pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan
yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah
pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw
menunggangi untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan penuh rendah
diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh
punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para
pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat
Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram
lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai
patung yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan
kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah
beliau membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya
sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang
mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan
mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu
salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan
Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya
berputar-putar di antara gunung:
"Allah
Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi
bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju
keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya,
rumah itu dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian
lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah
peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya;
Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang
bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah
untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi
Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan
ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang
marah. Rasul saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka
protes saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh
orang Arab namun mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw
bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu
wahai Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari
kaumku." Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk
masalah yang penting ini dan jika kalian telah berkumpul, maka
beritahulah aku."
Sa'ad
mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia
telah mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka dan
berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata:
"Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian
dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian,
dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah SWT memampukan
kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan
hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa
kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang
kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya.
Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah
saw berkata: "Demi Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan
mengatakan dan benar apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada kami
sebagai seorang yang terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang
dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu dan engkau datang dalam
keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau datang dalam
keadaan teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji
dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata:
"Wahai kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta yang telah
aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap dalam
hati mereka dan kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT
berikan kepada kalian dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai
kaum Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan
di musim dingin sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi
Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan
dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan
kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar
dan cucu kaum Anshar."
Mendengar
doa itu, kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi
dengan air mata dan mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT sebagai
Tuhan dan sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi
saw pun meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas.
Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah
seorang yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk mengambil. Nabi
saw terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu
tubuh beliau meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan
meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk
mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw
sampai demam beliau berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa
waktu berlalu cukup lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin
meningkat.
Beliau
mulai merasa bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat,
lalu beliau memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka. Pada
saat Nabi mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu
berpikir apa gerangan yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau
telah menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka segala
sesuatu serta telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan
dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul
saw mulai mengantuk dan berbagai nostalgia terlintas di kepalanya.
Beliau melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah perjanjian yang
diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah dilarang untuk memasuki
Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai pemimpin haji dan
mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw memperhatikan
ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram dalam
keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka
menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri
dan berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai merasakan
bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan berakhir. Beliau
mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani
kehidupan. Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah
di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga tahun
menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah aku
telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir saat itu
menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah. Beliau
memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah kepada
manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada
mereka.
Kemudian
beliau berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya
sedangkan Rasulullah saw beijalan di sebelah untanya: "Sesungguhnya
orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang bertakwa,
siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi saw adalah rahmat bagi
semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan
dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam
namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat pada
seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau
keluar menemui sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada
mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau keluar untuk menemui
sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka
di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah
dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak mereka
dan mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang
dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun
berada di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang mempunyai
uzur. Beliau mendahului orang yang ditemuinya dengan salam bahkan
beliau mendahului berjabat tangan dengan para sahabatnya.
Ketika
seseorang datang untuk menemuinya saat beliau salat, maka beliau
mempersingkat salatnya dan menanyakan keperluan orang itu. Setelah
menyelesaikan keperluan manusia, beliau kembali menyelesaikan shalatnya.
Beliau selalu menebar senyum kepada kawan dan lawan dan memiliki
kepribadian yang paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya, beliau
melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau memperbaiki
sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu. Beliau
memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang
miskin. Bahkan kebaikan beliau dan kasih sayangnya sampai pada tingkat
di mana beliau membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat beliau sedang
shalat.
Kasih
sayang beliau tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju
pada binatang dan pohon. Beliau memberi makan binatang dengan tangannya
sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing yang sakit. Beliau
memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi menegakkan keadilan
Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua, kaum wanita dan
hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa
yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu undang-undang yang mengatur
hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa oleh
Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau
datang dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara
manusia dan alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga
semua berjalan secara seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah
SWT. Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk
mengurusi masa depan dakwah dan beliau sangat cemas terhadap masa depan
agama dan sangat peduli dengan problema kaum Muslim. Beliau khawatir
suatu saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap.
Namun sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada
beliau sesuatu yang membuat hati beliau menjadi tenang. Dan di hari
Senin dari bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya
dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.