Studi HAdis
(Abu Rayyah dan kontroversi Pemikirannya)
Oleh
Alkadri, M.Ag
1. Pengantar
Setelah
Rasulullah Saw wafat, umat Islam masa itu banyak mengalami berbagai
persoalan hidup sebagai akibat dari pergerasan zaman. Diantara persoalan
tersebut adalah pengumpulan Alquran dan pengumpulan Hadis. Pengumpulan
Alquran umat Islam masa itu tidak banyak mengalami hambatan sebab
Alquran pada masa Nabi sudah dicatat oleh masing-masing sahabat, mereka
hanya mengumpulkan dan menyusun dari berbagai catatan Alquran untuk
dijadikan dalam satu mushaf. Sedangkan Hadis lebih banyak dipelihara
melalui hapalan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat.
Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke
berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk
keperluan jihad, dakwah maupun perdagangan. Hal ini disebabkan
pengkodifikasian Hadis banyak diriwayatkan secara ahad.[1]
Ditambah, interval waktu yang cukup lama antara Nabi Muhammad Saw
dengan para penghimpun Hadis, perbedan visi politik dan madzab pada
abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya
pembuktian status Hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Jadi, untuk menghimpun berbagai Hadis diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; berupa kerangka ontologi dan epistemologi[2] yang akurat, agar yang dinamakan Hadis itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sejak
abad 14 H sampai sekarang sering kali disebut-sebut sebagai era
kebangkitan studi Hadis atau pemikiran Hadis yang telah mengalami masa
kekosongan sekitar Abad 10 – 14 H. Kemudian diwarnai lagi dengan
pesatnya perkembangan wacana keislaman, khususnya dalam bidang Hadis
yang tidak terlepas dari maraknya gagasan-gagasan para orientalis[3]
yang telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 M, saat ketika hampir
seluruh bagian dunia Islam terjerat dalam cengkraman kolonialisme bangsa
Eropa.
Walhasil,
argumentasi mereka yang berbeda dengan ide dan pemikiran ulama
sebelumnya. Sisi positif dari kehadiran kaum orientalis mampu membuka
mata dan menggerakkan para cendikiawan muslim untuk melakukan pembelaan
atas fakta sebenarnya yang sering kali disamarkan oleh para orientalis.
Sedangkan sisi negatif, tidak dapat dipungkiri banyak pula yang ikut
dalam pemikiran yang mereka tawarkan. Hal ini juga banyak ditanggapi
negatif oleh beberapa pihak yang menganggap gerakan ini sebagai aliran
Inkar sunnah modern. Gerakan pembaharuan ini pertama kali di lontarkan
oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Kemudian dikembangkan oleh Muhammad
Abu Rayah.
Abu
Rayah, sebagai tokoh yang dianggap sepaham dengan orientalis, walaupun
ia sendiri tidak mengakui terpengaruh orientalis sebab dia tidak
mengetahui bahasa lain selain Bahasa Arab. Karena karya Iqnaz Golzhiher
yang berjudul Muhammedanische Studien, belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.[4]
2. Biografi Abu Rayyah.
Nama
aslinya adalah Muhammad Abu Rayah atau lebih dikenal dengan Abu Rayah.
Dilahirkan tahun 1889. Abu Rayyah tumbuh menjadi pemuda yang menyimpan
kekaguman luar biasa terhadap Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,
terutama gagasan-gagasan keduanya seputar penolakan terhadap taqlid, khususnya taqlid
terhadap madzhab. Dia adalah salah satu tokoh intelektual muslim yang
kontroversial yang berasal dari Mesir yang pemikirannya sering di
kategorikan sebagai ingkar sunah modern. Pada usia muda Abu Rayyah
mengikuti pendidikan pada Madrasah ad-Da’wah wal Irsyad yaitu lembaga dakwah yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Abu Rayyah juga mengikuti kursus teologi lokal.[5]
Konsentrasinya
pada studi Hadis berawal ketika Abu Rayyah menemukan beberapa Hadis
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Hadis-hadis tersebut
terkesan mengucapkan kata-kata ganjil dan kasar, membuatnya heran
sebagai sabda-sabda yang konon berasal dari Nabi saw tidak memiliki
retorika penuh bunga yang sering dijumpainya dalam berbagai
tulisan-tulisan.
Kemudian, tahun 1958, Abu Rayyah menerbitkan sebuah buku yang ditujukan khusus pada kajian Hadis yang berjudul Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits,
akan tetapi, terbitnya buku ini justru menyulut protes kaum muslim
konservatif, karena mereka menganggap pemikiran Abu Rayyah yang tertuang
di dalam bukunya ini dinilai berseberangan, terutama pembahasan
mengenai Abu Hurairah sehingga mereka tergugah untuk memberikan respon
atas tuduhan-tuduhan yang terdapat di dalamnya.
3. Pemikiran Abu Rayyah Seputar Hadis
Pada prinsipnya pemikiran Abu Rayah dalam memberikan definisi sunnah Nabi Muhammad Saw,
memiliki pandangan yang sama dengan para ulama sebelumnya sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu Thaimiyah, al-Jarjani dan lain-lain. Bahwa Sunah
adalah:
ما أضيف إلى النبى، من قول أو فعل أو تقرير.[6]
Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya.
Abu
Rayah tidak menyangkal Hadis yang bernilai tinggi dari suatu
keshahihan. Seandainya saja Hadis Nabi Saw, tanpa perubahan. Penelitian
tarhadap enam kitab Hadis telah membuatnya yakin bahwa para ahli Hadis
masih belum mengubah kritik sanad sebagai satu-satunya kritik terhadap
Hadis, masih dipraktekkan selama ini sebagaimana yang telah dilakukan
pada abad pertengahan. Para ahli Hadis tidak terlalu memperhatikan
kritik terhadap matan Hadis, sebagai kriteria yang sah, apakah matan
tersebut benar-benar layak atau tidak.[7]
Perbedaan
yang mendasar antara Abu Rayah dengan Rasyid Ridha adalah terletak pada
pandangan tentang integritas Abu Hurirah. Abu Rayah lebih keras
mengkrititik Abu Hurairah yang lebih cendrung pada sikap apriori.
Sedangkan Rasyid Ridha memberikan alasan dengan nada moderat sehingga
dia jarang diserang dalam masalah-maslaah Hadis. Kata-kata Rasyid Ridha
terkadang cendrung mencari solusi dari sebuah masalah. Ketika ia
menemukan solusi yang memuaskan dirinya. Terkadang atas usulannya
tersebut, membuat ia diserang oleh paham yang tidak sependapat
dengannya.[8]
a. Kedudukan Sunah
Kedudukan
sunah dalam Islam, Abu Rayyah mendudukan sebagai posisi kedua setelah
Alquran sebab sistem periwayatannya secara mutawatir dan tertulis
sehingga tidak mungkin terdapat keraguan atasnya, tetapi berbeda dengan
sunah sebab sistem periwayatannya tidak dengan cara mutawatir sehingga
mudah terjadinya keterputusan periwayatan dan materinya. Kemudian, Abu
Rayah membagi sunah menjadi dua, yaitu sunnah qauliyyah dan sunnah amaliyah. Sunnah ’amaliyyah memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan sunnah qauliyyah, sebab sunah amaliah
sudah jelas perbuatan tersebut dilakukan secara langsung oleh
Rasulullah Saw, akan tetapi keduanya tetap sebagai sumber kedua setelah
Alquran.[9]
b. Penulisan Hadis
Penulisan Hadis, Muhammad Abu Rayyah berkesimpulan bahwa penulisan Hadis pada masa Nabi Muhammad Saw dilarang.[10]
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw dalam riwayat Ahmad, Muslim,
Darimi, Tirmidzi dan Nasa’i dari dari Abi Sa’id al-Khudri bersabda
Rasulullah Saw:
Jangan kalian tulis sesuatu dariku sama dengan Alquran maka barangsiapa menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia.
Selanjutnya, Abu Rayah mengutip dalam kitab tadzkirah al-Huffadz
karya al-Dzahabi bahwa sesungguhnya kalian telah berbicara tentang
Rasulullah Saw, Hadis Nabi Muhammad Saw yang kalian perselisihan
didalamnya.[12]
Sedangkan Hadis yang berindikasi boleh menulis Hadis adalah sebagaimana sabda Nabi Saw:
Tulislah untuk Abi Syah
Abu
Rayah berpandangan bahwa Hadis yang bisa digunakan adalah pelarangan
menulis Hadis sebab Hadis ini datang belakangan dari Hadis yang
memberikan izin penulisan Hadis, alasannya: (a) sahabat tidak menulis
Hadis sebab adanya pelarangan ini setelah wafatnya Rasulullah Saw,
sedangkan Hadis yang membolehkan menulis Hadis terjadi pada peristiwa
fathul makkah dan khutbah Haji Wada’, (b) sahabat tidak membukukan dan
menyebarkan Hadis. Seandainya mereka melakukan ini tentunya terdapat
riwayat yang mutawatir yang menyatakan mereka telah melakukannya.[14]
Adapun pencatatan Hadis secara tekstual literatur Hadis sulit dipercaya sebab pencatatan terhadap Hadis dilakukan setelah dua ratus tahun. Berpegang
pada cara pencatatan Hadis setelah dua ratus tahun. Ditambah lagi,
setelah mengalami percampuran naskah dengan yang bukan Hadis.[15] Walaupun para ulama berusaha memilah dan memilihnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Musnad dan lain-lain.
Adapun hapalan di dalam pen-tadwin-an
tersebut terdapat keganjilan. Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu
bahwa Hadis-hadis Saw tidak dicatat pada masa hidupnya juga tidak masa
sahabat besar dan tabi’in. Jadi, pen-tadwin-an ini dibangun
secara luas hanya pada pada abad ke 2 H atau akhir masa Bani Umayah,
hanya berpegang pada hapalan. Hapalan tersebut sehingga terdapat
keganjilan yang diperselisihkan.[16]
Lebih jauh, Muhammad Abu Rayah berpandangan bahwa karya ‘Abd Allah bin ‘Amr yang berjudul al-Sadiqah
tidak ada artinya. Rayyah juga menuduh Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H)
melakukan penulisan Hadis karena tekanan dari Bani Umayyah.[17]
c. Keadilan Sahabat.
Sahabat
dalam periwayatan Hadis, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar al-Asqalani
menyatakan sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw,
beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Jadi, yang dapat di
anggap sebagai sahabat adalah mereka yang memenuhi criteria di bawah
ini: (a) bertemu dengan Nabi Saw dan menerima dakwaknya (lama atau
sebentar), (b) meriwayatkan Hadis dari Nabi Saw ataupun tidak, (c) Ikut
berbaiat pada Nabi Saw ataupun tidak, (d) sempat melihat Nabi saw,
sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi
karena sebab tertentu (seperti orang buta)[18]
Sedangkan yang dimaksud dengan adil dalam periwayatan Hadis adalah perawi yang dianggap dhabith (kuat hapalan), tidak ada illat (cacat) dan syadz
(diragukan). Jadi, yang dimaksud dengan keadilan sahabat adalah setiap
sahabat yang meriwayatkan Hadis, riwayatnya dianggap shahih terlepas
dari dusta, kecacatan dan lain sebagainya.
Adapun mengenai keadilan sahabat, Muhammad Abu Rayyah memberikan pendapat yang menurutnya berkaitan dengan Hadis tentang:
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنْ النَّارِ [19]
Telah
memberitakan pada kami Muhammad b. ‘Isya, telah menceritakan pada kami
Husyaim, telah memberitakan pada kami Abu Zubair dari Jabir berkata,
bersabda Rasulullah Saw: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja
maka tempatnya neraka.
Menurutnya kata مُتَعَمِّدًا (dengan
sengaja) dalam Hadis tersebut, tidak terdapat dalam berbgaai versi lain
yang sampai kepada kita dari para sahabat besar. Abu Rayyah menyatakan
bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj[20] dengan
alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, sebab secara tidak
disengaja mereka telah mereka telah menduga sabda Nabi Muhammad saw,
atau mereka yang telah menduga-duga perihal tentang Nabi Muhammad saw
dengan alasan memajukan jalan Islam.[21] Lafaz مُتَعَمِّدًا dalam Hadis tersebut lemah sesungguhnya ia tidak kuat dalam riwayat sahabat besar. Demi Allah tidak mengatakan مُتَعَمِّدًا (denga sengaja) dari periwayat Imam Hadis dan tidak mengatakan seorangpun dari mereka sesungguhnya ini kecuali Ibnu Zubair.[22]
Semua ini ditujukan untuk menyatakan bahwa suatu kidzb
(kebohongan) telah terjadi dikalangan para sahabat. Jika memang
demikian adanya maka semua Hadis dari mereka harus diuji. Sedangkan hal
itu tidak mungkin. Argumen lain yang coba dikemukakan untuk mengugurkan
sistem keadilan secara kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan bertambahnya Hadis.[23]
d. Kritik terhadap Abu Hurairah
Abu Rayyah menggugat integritas Abu Hurairah[24]
sebagai perawi dengan berbagai tuduhan, diantaranya adalah ia terlalu
banyak meriwayatkan (lebih dari lima ribu Hadis) apa yang sebenarnya
tidak pasti diucapkan oleh Nabi saw dalam waktu yang singkat. Ia hanya
bersama Nabi sekitar tiga tahun, sebagian besar Hadisnya ia tidak
mendengar dari Nabi secara langsung akan tetapi ia mendengar dari
sahabat dan tabi’in. Apabila setiap sahabat dinyatakan adil sebagaimana
jumhur ulama Hadis maka para tabi’in juga sama demikian adanya.[25]
Diantara
Hadis dari Abu Hurairah yang dianggap Abu Rayah ganjil sebab tidak
memiliki retorika untuk diterima yang mengatasnamakan Nabi yaitu:
عن أَبُى هُرَيْرَةَ
إِذَا نودى للصَّلاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لا
يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قضى الْتُأذّيِنُ أَقْبَلَ حتى ثوب بالصلاة
أدبر حتى إذا قضى التثويب أقبل حتى يخطر بين المرء ونفسه [26]
Dari
Abu Hurairah, apabila diserukan shalat maka syetan pun lari sampai
terkentut-kentut sehingga ia tidak mendengar adzan, apabila telah
selesai adzan maka dia datang. Kemudian, ketika ia kembali melakukan
shalat maka syetan pun lari, apabila selesai seruan shalat ia kembali
sehingga jelas sama antara orang tersebut dan dirinya.
Abu
Rayyah mengingatkan bahwa Abu Hurairah masuk Islam ketika ia bergabung
bersama Nabi saw dalam peristiwa Khaibar pada tahun 7 H/ 629 M, ini
dapat ditemukan dalam berbagai sumber. Abu Hurairah juga dituduh sebagai
seorang pemalas yang tidak memiliki pekerjaan tetap selain mengikuti
Nabi saw. kemanapun beliau pergi, juga merupakan orang yang rakus
terutama setelah beliau mendapatkan posisi penting sebagai gubernur pada
masa dinasti Bani Umaiyah.
4. Bantahan Ulama
Ulama
konservatif pada masa ini tidak sependapat dengan Abu Rayyah.
Periwayatan secara lisan yang akhirnya terwujudlah himpunan Hadis-hadis
Shahih Bukhari, Muslim dan lain-lain, merupakan metode yang hampir tidak
ada cacatnya untuk melestarikan kesucian materi Hadis.[27] Adapun bantahan terhadap Abu Rayah tersebut terdiri dari:
a. Penulisan Hadis
Tadwin
Hadis atau koodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis secara resmi
yang dilakukan atas instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai
Khalifah Bani Umayyah yang ke-8, memerintah dari tahun 99 H sampai 101
H. Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dalam
memelihara Hadis. Untuk itulah, beliau mengirimkan surat perintah ke
seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang Hafal Hadis,
menuliskannya dan membukukannya agar tidak ada Hadis yang hilang pada
masa-masa sesudahnya. Dalam suratnya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm, yaitu: Perhatikanlah, apa yang bisa diambil dari Hadis
Rasulullah Saw, Hadis Amrah[28] atau yang semisal dengannya lalu tulislah. Sesungguhnya saya takut akan lenyapnya ilmu (Hadis) dengan meninggalnya para ulama.[29]
Di
samping itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada
para pegawainya di seluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya serupa
dengan isi suratnya kepada Ibn Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan
mewujudkan keinginannya adalah seorang alim dari Hijaz bernama Muhammad
bin Muslim bin Syihab al-Zuhri al-Madani yang menghimpun Hadis dalam
sebuah kitab.
Tadwin Hadis yang diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz adalah pen-tadwin-an
secara resmi. Sedangkan penulisan Hadis yang tidak resmi sudah ada pada
masa sebelumnya. Lebih khusus lagi, masa Rasulullah Saw masih hidup
terdapat beberapa sahabat yang menulis dan menyimpan Hadis dalam
lembaran-lembaran. Keadaan ini terlihat dari surat menyurat Nabi tentang
ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang
belum memeluk Islam. Sedangkan diantara sahabat yang menulis Hadis
seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65 H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas
(w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah)
bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah
bin Abi Aufa’ (w.86 H). Hal ini bukan berarti seluruh Hadis telah
terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut, penulisan Hadis ini
sifatnya untuk kepentingan pribadi.
Secara
umum, periwayatan Hadis masa Nabi Muhammad saw, banyak dilakukan dengan
cara hafalan dan terjadi secara alamiah. Adapun teknis penyampaian
Hadis masa Nabi ada dua yaitu: Hadis yang disampaikan secara langsung
berupa ceramah, pidato dan sikap Nabi Saw sendiri. Hadis disampaikan
tidak langsung berupa sahabat yang menyampaikan Hadis.
Pada
generasi berikutnya, Hadis-hadis yang ada pada para sahabat, kemudian
diterima oleh para tabi’in sehingga memungkinkan terjadinya redaksi yang
berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar
dengan lafaz yang diterima dari Nabi Muhammad Saw disebut periwayatan
secara lafaz dan ada periwayatan redaksinya beda hanya mengambil makna
atau maksud Hadis, disebut dengan periwayatan secara makna. Oleh karena,
pada masa Nabi Saw Hadis tidak populer untuk ditulis dan hanya cendrung
berdasarkan hapalan saja sehingga pada generasi berikutnya tidak
seluruh Hadis Nabi Muhammad Saw dapat terdokumentasi pada masa Nabi
secara keseluruhan.
Adapun
bantahan atas pendapat Abu Rayah tentang menulis Hadis dilarang.
Menurut M. Azami pendapat ini tidak benar alasannya: (a) Para ulama
Hadis seperti al-Dzahabi dan Ibnu Kastir menilai riwayat tersebut lemah,[30]
(b) dalam sanadnya terdapat nama Ali b. Shahih dan tidak diketahui
identitasnya. Sehingga masih perlu dilakukan peninjaun ulang, (c) Abu
Bakar sendiri menulis Hadis, (d) Abu Bakar adalah orang yang paling
dekat dengan Nabi Saw, jika beliau hendak menulis Hadis, maka tidak
perlu bantuan orang lain sebagai perantara. Seandainya Nabi melarang
menulis Hadis secara mutlak tentunya Abu Bakar tidak menulis Hadis.
Adapun sebab Abu Bakar membakar Hadisnya menghindari kekeliruan. Jadi,
kekhawatiran Abu Bakar ini tidak bisa dijadikan alasan terjadinya
pelarangan penulisan Hadis.[31]
Sebenarnya,
masalah pokok yang menyebabkan pembukuan Hadis terlambat adalah sampai
seratus tahun lebih adalah kerena generasi terdahulu lebih cendrung
mengikuti pendapat yang populer dikalangan mereka, tanpa meneliti
sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah ditulis pada masa awal.[32]
Sedangkan
Hadis Nabi tidak ditulis kecuali atas perintah (tekanan) penguasa masa
tersebut (khalifah Umar b. Abdul Aziz) tidak benar dan tuduhan terhadap
sahabat tidak menulis Hadis sehingga tidak ada catatan mereka yang
diketahui oleh tabi’in begitu juga sebaliknya tabi’in tidak menulis
Hadis kecuali atas perintah penguasa. Kedua tuduhan tersebut tidak
benar. Tuduhannya hanya berangkat dari ketidakpahaman mereka terhadap
kitab Hadis dan ungkapan ahli Hadis sebab dalam mengajarkan Hadis para
ahli Hadis hanya menyebut pengarangnya saja tanpa menyebut nama
kitabnya.
Tuduhan
terhadap al-Zuhri yang melakukan penulisan Hadis karena tekanan dari
Bani Umayyah tersebut, sama sekali tidak menggugurkan keotentikkan Hadis
dan mengindikasikan adanya dorongan untuk memalsukan Hadis, tetapi
justru menunjukkan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian Hadis
berjalan berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak mengizinkan
adanya ruang keraguan lagi.[33]
Selanjutnya,
pada hakekatnya penyebarluasan Hadis sama halnya dengan penyebarluasan
Alquran dengan menggunakan metode hapalan dan tulisan. Sedangkan
pengajaran Alquran itu sendiri dilakukan oleh yang diberi tugas oleh
pemerintah atau secara suka rela. Jadi, cara-cara seperti ini juga
digunakan untuk menyebarluaskan Hadis-hadis Nabi Saw.[34]
b. Keadilan sahabat
Seluruh
sahabat adalah orang yang adil dan dhabit. Ibn Hajar menyatakan tidak
ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali sedikit orang yang
tidak setuju. Oleh sebab itu, wajib bagi muslimin untuk menyakini sikap
sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah
ahli surga, tak seorangpun dari mereka yang akan masuk neraka.[35]
Para
sahabat Nabi Saw mendapat keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki
oleh manusia secara umum, berupa keadilan mereka tidak perlu untuk
dipertanyakan lagi. Semua mereka adil dan keadilan mereka berdasarkan
firman Allah Swt yaitu:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ
مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ [36]
Demikianlah
kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
melainkan agar kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membangkang, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Kemudian, firman Allah Swt:
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا
مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي
الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud[37].
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus
di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya,
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar.
Kedua
ayat ini berkaitan dengan seluruh sahabat Nabi sebab mereka yang
langsung diseru dan menerangkan keutamaan sahabat dan menyaksikan
keadilan mereka.
c. Abu Hurairah
Abu
Hurairah nama aslinya adalah Abdul Rahman b. Skhr. Seorang sahabat Nabi
yang paling banyak meriwayatkan Hadis. Pada masa penaklukan khaibar
(bulan Muharram tahun 7 H), ia datang ke Madinah untuk menyatakan
dirinya masuk Islam, semenjak itu ia selalu bersama Nabi dan menjadi
pelayannya sehingga kesempatan untuk mendengar dan menyaksikan perilaku
Nabi Saw terbuka luas baginya. Oleh sebab itu tidak heran jika dalam
kurun waktu yang singkat sekitar tiga tahun ia bersama Nabi Saw, tetapi
paling banyak meriwayatkan Hadis. Selain itu, ia juga banyak
meriwayatkan Hadis dari Abu Bakar, Umar, Ubai b. Ka’ab Usamah b. Zaid
(putra Ummu Aiman; pengasuh Nabi Saw) Nadrah b. Abi Nadrah Ka’ab b.
Al-Ahbar dan Aisyah b. Abu Bakar. Jadi, jumlah Hadis yang
diriwayatkannya sebanyak 5.374 buah sebagaimana menurut Baqi b. Makhlad
dalam Musnadnya.
Dalam
bidang politik ia tidak begitu banyak berperan hanya saja sekitar dua
tahun menjadi gubernur di Bahrain (21-23 H), pada masa ini terjadi
polemik antara muawiyah dengan Umar b. Khatab tetapi Abu Hurairah
sendiri bersikap netral.
Kelebihan
lain adalah kekuatan dalam hapalan. Dia tergolong sahabat yang paling
banyak menghapal Hadis pada masanya, hal ini terjadi berkat do’a Nabi
Muhammad Saw sebab sebelumnya ia tergolong orang yang pelupa sebagaimana
dinyatakan oleh Bukhari.[38]
5. Penutup
Berangkat
dari ketidak puasan Abu Rayah terhadap metode dan perkembangan keilmuan
yang ada pada masanya, ia merasa perlu adanya perubahan dan perombakan
besar-besaran, terutama dalam hal pola berpikir mengingat pada saat yang
sama Abu Rayyah juga ternyata pengikut setia Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha. Ternyata Abu Rayyah terjebak dalam beberapa spekulasi yang secara
tidak sengaja juga dilancarkan oleh para orientalis.
Abu Rayyah berupaya menyajikan penulisan sejarah Hadis melalui karya-karyanya, sebab ia menjadikan sejarah sebagai pendekata dan
pisau analisis dalam menjelaskan jati diri Hadis. Kritik atas
integritas sahabat, ini juga harus banyak dipikirkan ulang terutama yang
sepaham dengannya, sebab banyak faktor dan permasalahan masa lalu yang
belum terungkap.
Kritik
terhadap integritas sahabat, terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan
tersebut terkait dengan berbagai permasalah umat pada generasi terdahulu
meliputi, perbedaaan mazhab, politik dan lain-lain. Perbedaan tersebut
menimbulkan dua kaidah tentang sahabat ini. Pertama, kaidah semua
sahabat Nabi Saw adil. Kedua, kritik pada generasi terdahulu terhadap
keadilannya.
Adapun,
kaidah bahwa semua sahabat adil merupakan penafsiran terhadap teks ayat
di atas yang menyatakan pujian terhadap para sahabat, juga larangan
untuk mencelanya. Jadi, keberlakuan kaidah tersebut harus dibatasi,
tidak bisa melebihi nash yang sudah ada sebab latar belakang kemunculan
kaidah ini adalah tujuan utamanya adalah membantu kelengkapan pemahaman
terhadap dalil nagli tetapi bukan untuk menentangnya. Tetapi, perlu
adanya kepastian nash yang mana bertentangan dengan syari’at tidak perlu
diikuti, sebab sahabat itu sendiri adalah manusia biasa. Seandainya,
dalam periwatan Hadis terdapat kekeliruan merupakan sunnatullah, atas sifat manusia itu sendiri.
Sejarah
mencatat, Abu Bakar dan Umar pernah salah yaitu menetapkan syari’at
Islam yang mendahului Nabi Muhammad Saw, kemudian ditegur Allah
sebagaimana firmannya yaitu:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [39]
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului ketetapan Allah
dan Rasul-Nya, bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha
mendengar.
Kaidah
kedua, yaitu kritik pada generasi terhadulu atas keadilannya. Ini
merupakan metode untuk menguji keshahihan Hadis dari segi kritik
sanadnya, selain tabi’in sahabat pun juga diuji keadilannya.
Berdasarkan
kaidah tersebut dapat diambil pemahaman bahwa, semua sahabat adil ini
sifatnya berlaku umum. Tetapi tidak berlaku khusus, sebab walaupun
bagaimanapun sahabat adalah manusia biasa yang tidak luput dari
kekeliruan.
[1].Ibnu Hajar Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, (Mesir: Maktabah al-Qadiriyah, t.t.), hlm.4.
[2].Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, terdiri dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti
ajaran/ilmu pengetahuan. Sedangkan istilah, Ontologi adalah ilmu yang
menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal dan sumber
pengetahuan tersebut. Jadi, ontologi Hadis bisa dirumuskan sebagai ilmu
yang mempelajari realitas atau kenyataan kongkrit sumber Hadis itu
berasal secara kritis. Epistemologi, berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu episteme berarti pengetahuan dan logos
berarti kata/pembicaraan/ilmu. Jadi, epistemologi termasuk kajian
cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis
pengetahuan. Epistemologi Hadis yang dimaksudkan di sini adalah
pembahasan kualitas suatu Hadis dilihat dari berbagai aspek, melalui
kritik sanad, matan serta asbabul wurud mikro dan makro.
[3].Diantara
para tokoh orientalis yaitu: Alois Sprenger (1813-1893 M), Wiliam Muir
(lahir 1819 M), Iqnas Golzhiher (wafat 1921 M), David Samuel Morgaliauth
(1885-1940 M), Alfred Guillaume, Henri Lammens (1962-1937 M), Leone
Caetani, Joseph Horovitz (1874-1931), Gregor Schoeler, David Power, Uri
Rubin, Crone, Norman Calder (wafat 1998). Gautier H.A. Juynboll (lahir
1935).
[4] Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Moder Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-1, hlm. 61. Dalam Koran Mesir, Al-Jumhuriyyah, 25 November 1958.
[5] Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Moder Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-1, hlm. 59.
[6]. Muhammad Abu Rayah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1377 H – 1957 M), hlm. 38-39.
[7] Juynboll, op.cit., hlm. 61
[8] Ibid,. hlm. 62
[9] Ibid. Hlm. 39.
[10] Muhammad Abu Rayah, op.cit,. hlm. 23
[11] Dalam catatan kitabnya dinyatakan semua bentuk Hadis ini disepakati hanya secara makna. Sedangkan lafaznya bervariasi. Ibid,.
hlm. 46. Hadis dengan redaksi variasi lain terdapat tetapi maknanya
sama, sebagaimana dalam riwayat Ahmad (3/39, No. 11362), Muslim (4/2298,
No. 3004), Abu Ya’la (2/416, No. 1209), Darimi (1/130, No. 450), Ibnu
Hibban (14/147, No. 6254).
[12] Muhammad Abu Rayah, Ibid,. Dalam Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadz, hlm. 3.
[13]
Terdapat dalam riwayat Bukhari Kitab al-luqathah, No. Hadis 2254,
Muslim, Kitab al-Hajj, No. Hadis 2414, Tirmidzi, Kitab al-‘ilm ‘an
Rasulullah, No. Hadis 2591, Abu Dawud, Kitab al-’Ilm, No. Hadis 3164.
[14] Muhammad Abu Rayah, op.cit,. hlm. 48. Dalam M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 337.
[15] Muhammad Abu Rayah, Ibid,. hlm. 266
[16] Ibid.
[17] Ibid,. hlm. 22.
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 101-102.
[19]Abdullah b. ‘Abdul al-Rahman, Sunan al-Darimi,
(Riyadh: Dar al-Mughny, 1420 H), Kitab al-Muqaddimah, Hadis No. 237,
hlm. 303-304. Dalam cacatan kaki kitabnya, Muhammad Abu Rayah menyatakan
terjadi perdebatan bentuk Hadis ini ada yang mereka terima periwayatan
secara berbagai Hadis secara makna sebagaimana disembunyikan dalam Kitab
ini, Insya Allah. Muhammad Abu Rayah, op.cit., hlm. 61.
[20]Idraj adalah sisipan kata yang terdapat dalam matan Hadis. Idraj
terjadi dengan tujuan memberikan penjelasan terhadap lafaz matan (teks)
Hadis yang sulit, hukum-hukum tertentu atau mengambil hukum dari Hadis
Nabi Muhammad Saw. Tujuan ini menyebabkan dibolehkannya terjadinya idraj dalam Hadis dengan cacatan bahwa redaksi idraj tersebut benar-benar diketahui bukan dari Nabi Muhammad Saw. Di luar tujuan tersebut, idraj dikum haram dan Hadisnya menjadi dha’if.
[22]Lihat cacatan kaki, ibid,. hlm 62
[23]Juynboll, op.cit,. hlm. 83-84.
[24]Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia lahir 21 tahun sebelum Hijriah, sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdu al-Syams (hamba matahari), ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing, ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, kemudian setelah masuk Islam baru dinikahinya. Tatkala menjadi muslim, ia bersama Thufail bin Amr berangkat ke Makkah, Nabi Muhammad Saw mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di Madinah.
[25]Muhammad Abu Rayah,op.cit,. hlm. 218-219.
[26]Ibid,.
hlm. 226. Dalam berbagai riwayat Hadis terdapat redaksi matan yang
berbeda tetapi maksud dari matannya sama. Tambahan teks Hadis tersebut
yang berarti, ketika sudah jelas bagi syetan untuk menyatu ke dalam diri
seseorang sehingga membuat orang tersebut tidak mengetahui berapa
jumlah rakaat shalatnya. Hadis terdapat dalam riwayat Ibnu Hibban, bab
shifat Shalat. Shahih Muslim, bab Fadh al-adzan wa harb. Musnad Abi
Ya’la, bab al-Targhib fi al-adzan wa al-dalil. Muwatha’ Malik, bab
Maja`a fi Nida` li al-shalah. Musnad Shahabah fi al-Kitab al-Sitah, bab
Musnad ‘Abdul Rahman Abd Sakhr (Abi Hurairah). Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Yufkir al-Rajul al-Syai’ Fi al-Shalah.
[27]Juynboll, op.cit,. hlm. 76.
[28]Yang
dimaksudkan dengan Amrah di sini adalah Amrah binti Abdurrahman al
Anshari. Dalam sebagian riwayat, nama Amrah digabungkan dengan nama al
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
[29]Muhammad Abu Syahbah, Difa’ ‘an al-Sunah, (Qahirah: Maktabah al-Sunah, 1409 H – 1989 M ), Hlm. 21-22.
[30]Dalam
catatan kaki bukunya M.M. Azami menyatakan bahwa Abu Rayah merujuk pada
Kitab Tadzkirah al-Hufadz karangan al-Dzahabi, tetapi kata-kata Dzahabi
sendiri tidak disebutkan, juga ia tidak menukilkan pendapat
al-Baghdadi, oleh sebab itu ia keliru. M.M. Azami, op.cit,. hlm. 133.
[33]Mushthafa al-Siba‘i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj. Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.), hlm. 132.
[34]M.M. Azami, op.cit,. hlm. 119.
[35]Ibn Hajar al-Asqalani, op.cit,. hlm. 9-10.
[36]Alquran Surah al-Baqarah ayat 143.
[37]Maksudnya, pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka.
[38]Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Cetakan kelima (Edisi Baru) Bandung, CV. Mimbar Pustaka, 2008, hlm. 237-238.
[39] Alquran Surah al-Hujurat ayat 1
Minggu, 15 November 2009
Sejarah Hadits
I. Esensi Hadits
Esensi berasal dari kata esse yang berarti "adalah"atau "ada" persamaan maksudnya lebih dekat dengan kata makna, arti atau menafikan tradisi dengan lebih menekankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Jadi, yang dimaksud dengan esensi hadits adalah mengambil hikmah, nilai-nilai filosofis sangat dalam yang terkandung dari suatu hadits Nabi Muhammad SAW tidak hanya terikat pada teksnya . Maka salah satu caranya ialah memahami hadits berdasarkan asbabul wurud makro maksudnya mengkaji hadits melihat keadaan Nabi Muhammad SAW pada saat mengeluarkan hadits tersebut dan kondisi masyarakat secara umum termasuk juga dalam pembahasan ini meliputi sebab-sebab munculnya hadits (asbabul wurud mikro) . Jadi, ketika kita memahmi sebuah hadits tidak terlepas dari teksnya saja, tetapi lebih jauh dari itu semua melihat sisi makna lafadz, kondisi masyarakat, latar belakang pada saat Rasulullah SAW mengungkapkan hadits ini serta meneliti keshohehan perjalan periwayatan hadits dari masa Rasulullah SAW sampai kepada kita masakini.
Oleh sebab itu, perlu dikembangkan budaya kritik mengkritik merupakan sebagai suatu keharusan terlebih lagi kritik dalam penelitian hadits terutama dalam penentuan tingkat status hadits. Dalam kajian Ilmu Hadits tujuan utama kritik terhadap hadits Nabi adalah: Pertama, untuk mengetahui secara pasti otensitas periwayatan hadits. Kedua, untuk mengetahui validitasnya dalam rangka memantapkan suatu periwayatan hadits.
Beberapa petunjuk umum dalam memahami Sunah atau hadits Nabi Muhammad SAW dengan baik adalah:
a. Kita harus memahami sunah/hadits sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam al-Qur'an.
b. Mengabungkan hadits jika isi terdapat pertentangan dengan jalan tarjih dengan tema-tema yang sama.
c. Pengabungan diantara hadits-hadits yang saling bertentangan.
d. Memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi, kondisi serta tujuannya.
e. Memahami antara fakta dan metafora dalam memahami hadits.
f. Membedakan antara yang ghaib dengan yang nyata.
g. Memastikan makna kata dalam hadits.
Sebagai sarana agar mudah memahmi hadits, maka perlu adanya penelitian sanad atau matan, walaupun para ulama' hadits lebih berorientasi pada penelitian sanad dalam perjalanan sejarah perkembangan hadits dengan memberikan peran yang sangat penting dalam menentukan keshohihan hadits.
Adapun, kaidah yang digunakan para ulama' dalam rangka penelitian matan hadits adalah:
a. Ungkapannya tidak dangkal
b. Tidak menyimpang dari kaidah umum tentang hukum dan ahklak.
c. Tidak mengandung dari sifat kebodohan.
d. Tidak bertentangan dengan akal sehat, berkaitan dengan pokok-pokok aqidah termasuk dalam hal sifat Allah dan Rasul-Nya.
e. Tidak bertentangan dengan Sunnatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
f. Tidak bertentangan dengan al-Qur'an.
g. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah.
h. Tidak menyerupai dengan mazhab rawi yang mau menang sendiri.
i. Tidak meriwayatkan suatu kejadian mengatasnamakan orang banyak padahal riwayat tersebut disampaikan seorang rawi saja
j. Tidak meriwayatkan hadits yang bersifat menonjolkan kepentingan sendiri.
II. Urgensi Mempelajari Hadits.
Urgensi ialah sesuatu yang sangat penting. Maka urgensi dalam mempelajari Hadits disebabkan posisi Hadits itu sendiri berperan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an. Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an adalah sebagaimana Firman Allah Surah an-Nisa' ayat 80
Artinya: "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka."
Kemudian firman Allah SWT dalam Surah al-Hasyr ayat 7:
Artinya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah."
Kemudian, Firman Allah SWT dalam Surah al-Anfaal ayat 20:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)."
Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya, oleh sebab itu segala macam hadits yang sudah teruji keshohihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadits merupakan hasil penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yaitu:
تركت فيكم شيـﺌين لن تضـلوا بعدهما كتاب الله وسنـتي (رواه الحاكم عـن ابى هريرة)
Artinya: "Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur'an dan Sunnhaku". (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah)
Oleh sebab itu, memahami Hadits secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam, selain memahami hadits maka harus diperhatikan tingkat kebenaran hadits tersebut sehingga kita dapat menentukan status hadits (Shoheh, dhaif, hasan dan lain-lain) maka kita dapat memilih mana hadits yang layak diungkapkan atau tidak.
Secara umum, Rasulullah SAW tidak pernah menyuruh para sahabatnya menuliskan segala apa yang diucapkan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW untuk dihimpun menjadi satu buku. Akan tetapi, secara khusus (tidak resmi) Nabi Muhammad SAW memebrikan izin pada orang-orang tertentu menulis hadits.
Contoh, Rasulullah SAW pernah menitipkan pesan tertulis kepada beberapa pemimpin pasukan dan memerintahkan untuk membacanya dihadapan orang-orang tertentu. Ada lagi keterangan yang menyatakan bahwa para sahabat memiliki buku catatan berisikan hal-hal yang didengar mereka dari Rasulullah SAW seperti yang terdapat dalam Kitab Asshadiqah yang ditulis oleh Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash.
Bukti-bukti lain bahwa pada masa Rasulullah SAW sudah sudah sudah tersebar budaya tulis menulis yaitu terdapatnya para sektetaris nabi yang jumlahnya mencapai lima puluh orang. Diantara mereka ada yang bersifat sementara dan ada juga sekretaris yang tetap, hanya saja kebanyakan diantara mereka menulis pada masalah-masalah yang bersifat khusus, sehingga yang ada menulis al-Qur'an yang dilakukan oleh Zaid ibn Stabit, Utsman, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain, ada juga yang mencatat harta sadaqah seperti Zubair ibn 'Awwam dan Jahm ibn al-Shalit. Ini adalah sebuah indikasi yang bahwa secara khusus Nabi memerintahkan orang-orang tertentu untuk menulis termasuk diantaranya dalam bentuk hadits.
Sisi lain yang harus dimaklumi adalah hadits selain sebagai sumber hukum juga mengalami persepsi dan pandangan yang bervariasi, baik dikalangan umat Islam maupun diluar umat Islam. Problematika ini muncul dari aspek sejarah periwayatan hadits sehingga mempengaruhi kualitas hadits itu sendiri, maka inilah letak pentingnya memahami kaidah atau riwayat yang digunakan para muhaddistin dalam menyeleksi hadits.
Kaidah tersebut tersusun dan berkembang yang semuanya termuat dalam Ilmu Dirayah Hadits. Kajian ini mengungkapkan suatu hadits yang berkaitan dengan rawi, sanad, maupun matannya; dengan memahami Ilmu Dirayah tersebut kita dapat melanjutkan pengakajian kualitas hadits dengan menggunakan kaidah-kaidah yang tersusun dan petunjuk hasil karya muhadditsin terdahulu.
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
I. Pengertian Sejarah
Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang. Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu.
Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
Selain itu, pembahasan mengenai sejarah perkembangan Hadits juga membahas tentang biografi muhadditsin berupa rawi, sanad, mudawwin , lafadz hadits dan lain-lain yang berkaitan dengan pemeliharaan, pembinaan Ilmu-Ilmu Hadits serta hal-hal lain yang mempengaruhinya yang dijadikan dasar tasyri'.
Jadi, dengan cara ini kita dapat mengetahui metodelogi aktifitas pembinaan Hadits Nabi Muhammad SAW yang telah dilakukan para ulama' hadits serta kaidah yang dapat dipertanggung jawabkan agar dapat mereka gunakan dalam usaha pembinaan hadits dan ilmunya .
II. Periodesasi Hadits.
Periodesasi berasal dari kata periode dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan masa atau waktu tertentu yang dilalui oleh hadits semejak dari masa lahirnya dan perkembangannya dalam upaya pengenalan, penghayatan dan pengalaman hidup Umat Islam.
Adapun alasan terjadinya keterlambatan penulisan hadits sekitar seratus tahun lebih adalah: Pertama, semula memang meraka dilarang menulis hadits dikhawtirkan bercampur dengan al-Qur'an sebagaimana yang terdapat dalam Shaih Muslim. Kedua, Hapalan mereka sangat kuat dan otak mereka juga cerdas dan disamping itu secara umum mereka tidak dapat membaca dan menulis. Baru setelah masa akhir masa tabi'in Hadits Nabi mulai dibukuan dan disusun.
Memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa Nabi Muhammad SAW, meneliti perkembangan dan usaha para ulama dalam menghadapi juga membina hadits serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut, maka para muhadditsin membagi sejarah perkembangan Hadits dalam beberapa periode-periode.
Diantara periodesasi sejarah perkembangan hadits oleh Ulama' Hadits diantaranya adalah:
1. Masa Rasulullah SAW, terhitung sejak beliau diangkat menjadi Rasul sampai wafatnya, yang disebut masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam (عصر الوحي والتكوين).
Pada periode ini hadits hanya dinyatakan dalam bentuk perkataan, perbuatan dan ketentuannya secara langsung tanpa harus ditulis secara resmi. Fungsinya untuk menerangkan isi kandungan al-Qur'an dalam rangka menegakkan syari'at Islam.
Para sahabat sangat sadar bahwa mengikuti perintah Nabi merupakan bagian dari pengabdian terhadap Allah SWT sehingga mereka benar-benar menjiwai sehingga terbentuk pribadi muslim yang benar-benarnya.
Kepandaian baca dan tulis dikalangan para sahabat masa ini sudah mulai bermunculan, walaupun sangat terbatas. Kecerdasan membaca dan menulis ini dibawa ke Mekkah dan daerah Hirah seperti yang dilakukan Harb ibn Umayyah.
Oleh karena, keahlian membaca dan menulis dikalangan sahabat masih terbatas maka Rasulullah SAW menekankan mereka untuk menghapal dalam ingatan mereka serta mendakwahkannya pada orang lain.
Jadi, sistem periwayan hadits pada masa Rasullah SAW dalam bentuk menerima secara lisan dan memeliharnya dalam hapalan dan perbuatan keseharian serta mendakwahkannya pada orang lain.Adapun para sahabat yang banyak menerima hadits adalah:
a. Para sahabat yang pertama kali masuk Islam seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Abdullah ibn Mas'ud.
b. Para sahabat yang sering menyertai Nabi Muhammad SAW dan kuat hapalannya seperti: Abu Hurairah; mencatatnya seperti 'Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash.
c. Para sahabat yang sudah lama hidupnya sesudah Nabi SAW dapat menerima Hadits dari sesama sahabat seperti Anas ibn Malik, 'Abdullah ibn 'Abbas.
d. Para sahabat yang dekat hubungan dengan Rasulullah SAW seperti Ummu Salamah.
Adapun yang menjadi alasan sebab-sebab hadits tidak ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW adalah:
a. Agar tidak bercampur dengan al-Qur'an, Jadi seara umum al-Qur'an disuruh dihapal dan ditulis sedangkan Hadits hanya dihapal dan diamalkan saja oleh Rasulullah SAW.
b. Para sahabat yang pandai baca tulis yang jumlahnya sangat terbatas ini difokuskan pada penulisan wahyu sebab memerlukan waktu dan tenaga yang kontiyu sebab wahyu diturunkan secara beransur-ansur.
c. Budaya menghapal yang sudah menjadi tradisi yang baik bagi Masyaraat Arab sehingga tidak ada halangan bagi para sahabat untuk menghapal hadits.
d. Secara teknis jika dilakukan penulisa tentunya secara teknis menyulitkan para sahabat sebab dibutuhkan waktu dan kontiyu yang terus menerus selama hidup Nabi Muhammad SAW dalam segala keadaan.
Adapun para sahabat Nabi yang secara pribadi dan tidak resmi menulis hadits seperti:
a. 'Abdullah ibn 'Amr 'Ash ashshahifahnya disebut as-Shadiqah.
b. 'Ali ibn Abi Thalib penulis Hadits Nabi tentang hukum Diyat, Hukum keluarga dan lain-lain.
c. Anas ibn Malik.
Begini juga kedudukan para istri-istri nabi mereka sangat berperan penting dalam pengembangan dan periwayatan hadits terutama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sebab banyak masalah agama terutama mengenai kehidupan keluarga keseharian lebih jelasnya diterapkan para istri-istri beliau, terlebih lagi para istri yang banyak berkecimpung dalam hal agama dan mu'amalat seperti 'Aisyah dan Ummu Salamah.
Sementara sisi lain, Rasulullah SAW juga melarang menulis hadits seara resmi. Sebagimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri melalui dua jalur dengan sanad yang berbeda yaitu: Pertama, Melalui Hammah dari Zaid ibn Aslam, dari 'Atah' ibn Yasar dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Nabi bersabda: "Jangan Kamu tulis ucapan-ucapanku dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an hendaklah ia menghapusnya. Dan barangsiapa mendustakan diriku-kata Hamman, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka." Kedua, melalui sanad 'Adb. Al-Rahman ibn Zaid ibn Aslam dari ayahnya dari Ata ibn Yasar dari Abu Sa'id al-Khudri katanya:"Kami pernah meminta izin Nabi SAW utuk menulis hadits-hadits beliau, tetapi beliau tidak mengizinkannya.
2. Masa pemerintahan dan penyederhanaan atau penyelidikan riwayat. (عصر التثـبّت واﻹ قلال من الرّاوية) Masa Sahabat besar, masa ini mulai dari kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan diakhiri oleh Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa khulafaaurasyidin mereka berpegang teguh pada sabda-sabda Rasul untuk dijadikan dasar tasyri'. Kemudian, para sahabat berusaha mendakwahkan segala sabda Rasulullah SAW yang diterimanya. Hal ini tercermin dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: "Sampaikanlah olehmu walaupun satu ayat." (بلع عنى ولوﺁية)
Pada kenyataannya, terdapat sebagian para sahabat yang memiliki kelebihan pengetahuan dan pemahaman tentang hadits dibandingkan dengan sahabat yang lainnya hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah: a) Tempat tinggal yang jauh dengan Nabi Muhammad SAW. b) Kesibukan keseharian. c) kecerdasan. d) Keakraban dengan Nabi Muhammad SAW. e) Masa cepat atau lambatnya masuk Islam.
Dalam praktekknya, para sahabat meriwayatkan hadits dalam dua bentuk yaitu: Pertama, dengan lafadz aslinya yaitu menurut lafadz yang mereka terima apa adanya, ketika mereka merasa yakin bahwa mendapatkan lafadz aslinya atau selama teks hadits tersebut tidak bertentangan tujuan teks yang asli serta keadaan hadits ini disampaikan Rasul. Kedua, menggunakan makna lafadz saja dari sabda Rasulullah SAW sebab mereka tidak hapal dari lafadz aslinya dari Rasulullah SAW. Contoh, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang membagi-bagi tanah Khaibar untuk para pejuang, namun ketika masa Khalifah Umar ibn Khattab, beliau ini tidak melakukan membagi harta rampasan perang di daerah Irak. Ia beralasan sebaik-baiknya tanah tersebut tetap dibiarkan ditangan para pemiliknya, lalu beliau menetapkan pajak (kharaj) atas mereka. Agar hal tersebut menjadi sumber penghasilan tetap bagi generasi muslim mendatang.
Adapun sikap hati-hati para sahabat dalam periwayaan hadits berupa:
a. Menyederhanakan riwayat, artinya hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dan pengajaran serta tuntutan agama. Hal ini dikhawatirkan akan dipergunakan oleh orang-orang munafik dalam pembuatan hadits palsu.
b. Meneliti periwayatan hadits mulai dari rawi dan marwi setiap hadits tentang keadilan, kedhabithan, ingatan hapalan, falidnya serta bertentangan atau tidak dengan al-Qur'an.
c. Pelarangan dalam periwayatan luas hadits yang belum dapat dipahami secara umum.
Adapun pertimbangan para sahabat untuk tidak menulis hadits secara resmi pada masa ini ialah:
a. Agar tidak memalingkan umat dari perhatiannya terhadap al-Qur'an dalam rangka pembukuan al-Qur'an sehingga menjadi mushaf.
b. Para sahabat sudah menyebar sehingga kesulitan secara teknis dalam menuliskan hadits.
3. Masa shabat kecil dan Tabi'in besar setelah berakhirnya masa khulafaurrsyidin atau sampai masa abad pertama. Hal ini dimungkin Islam berkembang sampai semenanjung kejazirah Arab sehingga periwayatan hadits oleh para masa tabi'in besar semakin berkembang. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Ayyub al-Anshari yang pernah pergi ke Mesir menemui 'Uqbah ibn 'Amer untuk menanyakan tentang suatu hadits tentang menutup kesukaran sesama umat Islam, begitu juga Jabir ibn Unais al-Anshari.
Oleh karena motivasi peningkatan penelusuran periwayatan tersebut meningkat maka muncullah bendaharawan hadits yaitu berupa menerima hadits, menghafal dan mengembangkan hadits (meriwayatkan hadits) sebagaimana yang dilakukan oleh:
a. Abu Hurairah, menurut ibn al-Jauzi beliau meriwayatkan 5374 Hadits sedangkan menurut al-Kirmany 5364.
d. 'Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 Hadits.
e. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 Hadits.
f. 'Aisyah meriwayatkan 2210 Hadits.
g. 'Abdullah ibn 'Abbas meriwayatkan 1660 Hadits.
h. Jabir ibn 'Abdullah meriwayatkan 1540 Hadits.
i. Abu Sa'id alKhudri meriwayatkan 1540 Hadits.
j. 'Abdullah ibn Mas'ud
k. 'Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash.
Selain itu, sejarah Islam mencatat bahwa ketika akhir masa khulafaurrasyidin terjadi sengketa didalam tubuh umat Islam dan kemuncaknya ditandai dengan perang siffin sehingga muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah.
Jadi, dengan adanya kelompok ini menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, tidak hanya dibidang politik, pemerintahan bahkan dalam masalah syari'at. Kemudian, dalam waktu bersamaan terjadilah pemalsuan hadits.
Jika ini masalahnya maka permasalahannya sekarang adalah mengapa orang Islam rela dan tega memalsukan hadits yang mengatasnamakan Rasul. Ini terjadi karena:
a. Pada masa ini terdapat kelompok orang kafir, munafiq dan zindiq yang dengan sengaja ingin merusak Islam.
b. Terdapat bangsa atau kabilah yang sudah masuk Islam tetapi bermaksud mengembalikan kepentingan negaranya atau kelompoknya sendiri dengan mengorbankan kepentingan Syari'at Islam.
c. Terdapat orang-orang bodoh dan emosional hanya mengutamakan kepentingan pribadi, golongan, keturunan dan mazhab mereka sendiri sehingga mengorbankan kepentingan umat Islam.
l. Terdapat orang yang memunculkan paham baru yang pahamnya terjauh dari syariat Islam.
m. Selain itu, terdapat motif pemalsuan hadits memiliki unsur politik yang hanya untuk meningkatkan derajat dan martabat Ali ibn Abi Thalib.
Secara khusus, motivasi terjadinya pembuatan hadits palsu oleh kelompok zinndiq adalah untuk merusak cintra syari'at Islam dihadapan para ahli budaya dan cendikiawan. Kemudian, mereka berkepentingan untuk merusak aqidah orang Islam sehingga menjadi bahan tertawaan kaum atheis.
Diantara orang-orang kaum zinndiq yang membuat hadits-hadits palsu tersebut adalah:
a. Abdul Karim ibn Abil 'Auja mengaku membuat hadits palsu sebanyak empat ribu hadits. Isinya mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal. Pengakuan tersebut ia sampaikan ketika hendak menghadapi hukuman mati dan gerakannya dibasmi.
b. Bayan ibn Sam'an almahdi (bukan keturunan khalifah al-Mahdi) yang dihukum mati oleh Khalid ibn Abdul Al-Qusari.
c. Muhammad ibn Sa'id almanshub yang dihukum mati oleh Ja'far al-Manshur.
Adapun hadits-hadits yang dibuat oleh kaum zindiq ini adalah tentang: Allah menciptakan malaikat dari bulu pangkal tangan dan bulu pangkal dada-Nya; Allah pernah mengalami sakit mata sehingga para malaikat menjenguknya; sebelum Allah menciptakan dirinya maka diciptakannya dulu seekor kuda dan kuda tersebut berlari sehingga berkeringat maka dari kerinat tersebut tercipta diri-Nya; memandang wajah antik merupakan ibadah dan masih banyak hadits palsu lainnya.
4. Perkembangan hadits masa penulisan dan pentadwinan (عصر الكتابةوالتدوين ). Tepatnya pada masa pemerintahan Mu'awiyah sampai masa Abbasyiah angkatan pertama dari permulaan abad ke II Hijriah
5. Masa penyaringan, pemeliharaan dan perlengkapan (عصرالتجريدوالتصحيح والتنقيح) .Masa ini dimulai dari masa akhir pemerintahan Abbasyiah angkatan pertama sampai awal pemerintahan Abbasyiah angkatan kedua yaitu sejak Khalifah al Ma'mun sampai Khalifah al-Muqtadir atau dari awal abad ke tiga Hijriah sampai akhir aba ke ketiga Hijriah.
Periodesasi masa keempat dan kelima ini ditandai khususnya pada abad kedua dan ketiga merupakan masa penulisan dan pembukuan hadits secara resmi yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah yang sebelumnya ditulis secara` pribadi.
Masa pembukuan secara resmi pada masa Khlaifah Umar ibn 'abdul al-'Aziz tahun 101 H. Adapun, faktor pendorong usaha pentadwinan hadits secara resmi adalah:
a. Pada akhir abad satu Hijriah. Para penghapal hadits berkurang disebabkan banyak yang meninggal dunia, terlebih lagi disebabkan syahid dimedan perang.
b. Periwayatan hadits secara lisan yang menekankan pada hapalan dan ingatan dalam keseragaman lafadz dan makna tidak dapat berlangsung sangat lama disebakan oleh faktor internal meliputi: Pertama, keadaan umat Islam dalam hapalannya semakin lama bertambah berkurang disebabkan; berkurangnya semangat menghapal sebab melemahnya iman mereka. Kedua, perubahan watak dan tradisi akibat dari pengaruh percampuran ras dan pola hidup. Faktor ekternal meliputi: Pertama, banyaknya problematikan kehidupan dalam berbagai berbagai aspek kehidupan. kedua, banyak serangan yang datang dari kelompok yang ingin merusak hadits dengan jalan mengaburkan hadits dan makna yang sebenarnya.
c. Mulai tahun 40 Hijriah, periwayatan hadits dikaburkan agar terwujud hadits palsu yang dilakukan orang kafir, munafiq dan zindiq dan dipengaruhi konflik yang terjadi dalam tubuh umat Islam seperti terbunuhnya Utsman dan sengketan kekhalifahan antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu'awiyah, akhirnya umat Islam terpecah menjadi golongan Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan Ahli Sunnah.
Untuk mengantisifasi terjadinya lebih luas hadits palsu dan serangan dari luar Islam yang ingin merusak sunnah Nabi Muhammad SAW maka dilakukan pentadwinan hadits. Tujuannya adalah:
a. Untuk memelihara Syari'at Islam dari kekaburannya terhadap akibat pemalsuan hadits yang terjadi oleh kelompok-kelompok tertentu.
b. Kebutuhan Umat.
c. Istimbath Hukum.
Adapun aktifitas tadwin secara resmi dimulai pada khalifah Umr ibn 'Abd al-Aziz. Langkah yang beliau lakukan adalah dengan meminta gubernur Madinah. Abu Bakar ibn ibn Muhammad ibn 'Amr ibn Hizam agar membukukan hadits yang terdapat pada 'Amarih binti 'Abd al-Rahman ibn Sa'id ibn Zahrah ibn 'Ades yaitu seorang wanita ahli figh' beliau adalah murid 'Aisyah RA. Juga hadits yang terdapat pada Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, beliau adalah seorang tabi'in dan fuqaha Madinah. Perintah agar dikirim kepada semua gubernur yang berada dibawah kekuasaannya.
6. Masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan penumpulan عصرالتذهيب والترتيب واﻹستدراك) والجمع). Masa ini terjadi pada saat pemerintahan Abasyiah angkatan kedua (sejak khlaifah al-Muqtadir sampai khalifah al-Mu'tashim) mulai abad keempat Hijriah sampai jatuhnya kota Baghdad tahun 656 H.
7. Masa penyerahan, penghimpunan, pentahkrijan dan pembahasan.(عصر الشرح والجمع والتخـريج والبضعة عن الرّاويةوالزّواﺌد) yaitu masa sesudah Daulah Abasyiah tahun 656 H sampai sekarang.
Periode keenam dan tujuh tersebut merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya, khususnya mengembangkan tentang corak dan metodelogi tadwin serta menertibkan penyusunan kitab-kitab hadits serta spesialisasinya.
III. Kesimpulan
Adapun kesimpulan akhir dari pembahsan malakah Sejarah Perkembangan Hadits ini adalah terdiri dari:
a. Esensi hadits maknanya lebih dekat dengan kata makna, arti atau menafikan tradisi dengan lebih menekankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Jadi, esensi hadits adalah mengambil hikmah, nilai-nilai filosofis sangat dalam yang terkandung dari suatu hadits Nabi Muhammad SAW tidak hanya terikat pada teksnya. Maka salah satu caranya ialah memahami hadits berdasarkan asbabul wurud makro maksudnya mengkaji hadits melihat keadaan Nabi Muhammad SAW pada saat mengeluarkan hadits tersebut dan kondisi masyarakat secara umum termasuk juga dalam pembahasan ini meliputi sebab-sebab munculnya hadits (asbabul wurud mikro)
b. Urgensi dalam mempelajari Hadits disebabkan posisi Hadits itu sendiri berperan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an. Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an adalah sebagaimana Firman Allah Surah an-Nisa' ayat 80. Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya, oleh sebab itu segala macam hadits yang sudah teruji keshohihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadits merupakan hasil penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.
c. Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang. Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
d. Periodesasi berasal dari kata periode dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan masa atau waktu tertentu yang dilalui oleh hadits semejak dari masa lahirnya dan perkembangannya dalam upaya pengenalan, penghayatan dan pengalaman hidup Umat Islam. Periodesasi perkembangan hadits para ulama' hadits berbeda pendapat diantaranya ada yang membagi periode perkembangan hadits dengan tujuh periode yaitu: 1) Periode hadits masa Nabi Muhammad SAW. Dimulai dari beliau diangkat menjadi Rasul sampai wafat 2) Perkembangan hadits pada masa khulafaaurrsyidin yang disebut masa penyelidikan rawi. 3) Periode pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar yang disebut masa penyebaran riwayat kekota atau daerah-daerah. 4) Masa Daulah 'Umayyah angkatan kedua sampai pada masa Dinasti Abbasiah angkatan pertama yang disebut masa penulisan dan pentadwinan. 5) Masa Akhir Daulah Abbasiah angkatan pertama sampai pada awal Daulah Abbasiah angkatan kedua yang disebut masa penyaringan, pemeliharaan dan pelengkapan 6) Masa pemerintahan Abbasiah angkatan kedua sampai jatuhnya kota baqdad yang disebut masa pembersihan, penyusunan penambhaan dan pengumpulan. 7) Masa sesudah Daulah Abbasiah (656) sampai sekarang yang disebut masa pnyerahan, pentakhrijan dan pembahasan.
0 Komentar: