BAB I
PENDAHULUAN
A. Defenisi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar (Learning Dissability) adalah kondisi dimana anak dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003).
Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan belajar spesifik (spesific learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah emosional. Kelompok anak dengan Learning Dissability (LD) dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan konsep diri.
Tidak seperti cacat fisik, kesulitan belajar tidak terlihat dengan jelas dan sering disebut ”hidden handicap”. Terkadang kesulitan ini tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya anak yang mengalami kesulitan belajar sering diidentifikasi sebagai anak yang underachiever, pemalas, atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami perasaan frustrasi, marah, depresi, cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, 2001).
BAB II
PEMBAHASAN
B. Faktor penyebab Kesulitan Belajar
Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada literatur dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu :
1. Faktor keturunan/bawaan
2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau prematur
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau meminum alkohol selama masa kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma kepala, atau pernah tenggelam.
5. infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem imun yang lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab kesulitan belajar sebagai berikut:
1. Faktor Disfungsi Otak
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non verbal. Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan kinerja yang lebih baik daripada kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari anak yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager, 1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa, yang faktor herediter menentukan ketidakmampuan dalam membaca, menulis dan mengeja diantara orang-orang yang didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann (dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada kembar identik dan kembar tidak identik yang menemukan bahwa frekwensi disleksia pada kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatu yang diturunkan.
3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta berkembang anak.
4. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil namun ada juga yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian menyebutkan bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok dengan bahan makanan.
C. Karakteristik Kesulitan Belajar
Menurut Valett (dalam Sukadji, 2000) terdapat tujuh karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan belajar khusus.
1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-ulang. Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga melemahkan usaha.
2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
4. Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun atau tidak memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran. Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar.
D. Klasifikasi Kesulitan Belajar
Menurut Kirk & Gallagher (1986), kesulitan belajar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu developmental learning disabilities dan kesulitan belajar akademis. Komponen utama pada developmental learning disabilities antara lain perhatian, memori, gangguan persepsi visual dan motorik, berpikir dan gangguan bahasa. Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk ketidakmampuan pada membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik. Pembagian tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.
1. Developmental Learning Disabilities
a. Perhatian (attention disorder)
Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar dan tidak dapat mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu hal.
b. Memory Disorder
Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah dilihat atau didengar ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat memiliki kesulitan dalam me-recall kata-kata yang ditampilkan secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan masalah pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa lisannya.
c. Gangguan persepsi visual dan motorik
Anak-anak dengan gangguan persepsi visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual yang lain. mereka tidak dapat menangkap arti dari sebuah gambar atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya. Contohnya seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat mengenali teman sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat orang ybs berbicara atau menyebutkan namanya. Pada anak dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi spasial serta pembelajaran secara motorik.
d. Thinking disorder
Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat dengan gangguan dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap 237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan yang normal dalam tes visual dan motorik namun berada di bawah rata-rata pada tes persepsi auditori, ekspresi verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.
e. Language Disorder
Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak pra-sekolah. Biasanya anak-anak ini tidak berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan verbal.
2. Academic Learning Disabilities
Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam membaca, mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada saat anak menampilkan kinerja di bawah potensi akademik mereka.
E. Assesmen Formal dan Identifikasi Siswa Kesulitan Belajar
Harwell (2001) mengungkapkan bahwa sebaiknya assesmen dan identifikasi siswa berkesulitan belajar dilakukan oleh team yang terdiri dari berabagi disiplin ilmu, yaitu :
1. Psikolog sekolah: memperoleh informasi tentang kondisi keluarga, sosial, dan budaya, mengukur inteligensi dan perilaku melalui alat ukur yang terstandar, dan memperoleh gambaran tentang kelebihan dan kekurangan siswa.
2. Guru kelas dan orang tua: memberi informasi tentang perkembangan anak, keterampilan yang telah diperoleh anak, motivasinya, rentang perhatiannya, penerimaan sosial, dan penyesuaian emosional, yang dapat diperoleh dengan mengisi rating scale tentang perilaku anak.
3. Ahli pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus: melakukan penilaian akademik dengan menggunakan berbagai tes individual, mengobservasi siswa dalam situasi belajar dan bermain, melihat hasil pekerjaan siswa, dan mendiskusikan performa siswa denga guru dan orangtua.
4. Perawat sekolah : memperoleh data perkembangan kesehatan siswa. Perawat bisa meminta siswa untuk menunjukkan aktivitas motorik sederhana, melakukan tes pendengaran dan penglihatan siswa, dan jika ada masalah kesehatan, perawat bisa mendiskusikannya ke dokter.
5. administrator sekolah: memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait dan menyediakan dana.
Dan terkadang juga melibatkan pihak lain seperti guru olahraga, terapis wicara, terapis okupasi, pekerja sosial, atau dokter anak.
Menurut Harwell (2001), ada beberapa aspek penilaian yang harus dilakukan dalam assesmen, yaitu:
1. Intelectual assesment.. Penilaian kemampuan intelektual ini meliputi:
· IQ yang bisa diukur dengan tes inteligensi terstandar,
· Peserpsi visual untuk melihat interpretasi otak terhadap apa yang dilihatnya, dapat diketahui dengan tes Visual Motor Integration (VMI) untuk anak usia 3-18 tahun atau The Bender Visual Motor Gestalt Test untuk usia 4-11 tahun
· Persepsi Auditori untuk melihat kemampuan proses menerima informasi melalui stimulus auditori yang bisa dilakukan melalui observasi kelas atau tes-tes auditori.
· Ingatan untuk melihat kemampuan anak dalam mengingat informasi yang diterimanya, bisa diketahui melalui subtes digit span WISC atau tes lainnya.
2. Academic assesment.
Penilaian ini dilakukan untuk menilai kemampuan membaca/mengeja, menulis, dan berhitung yang dapat dilihat melalui test terstandar, observasi kelas dan saat bermain atau hasil kerjanya sehari-hari.
3. Language assesment
Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan bahasa anak yang meliputi pengetahuan terhadap arti kata, pengetahuan untuk meletakkan kata dalam kalimat, dan kemampuan memanipulasi kata sehingga memiliki arti yang bermakna. Penilaian dapat dilakukan dengan:
· Melihat hasil kerja anak dan bagaimana ia merespon huruf, kata, dan kalimat.
· Bahasa yang diucapkan, seberapa banyak kosa katanya, apakah kata yang dipilihnya sesuai atau tidak.
· Mendengar, apakah anak dapat mendengar dan mengikuti pembicaraan.
· Observasi percakapannya dengan teman-teman sebayanya, dengan yang lebih muda, dengan yang lebih tua. Apakah Ia bisa menyesuaikan bahasa yang tepat.
4. Health assesment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui riwayat kesehatan siswa.
5. Behavior assesment. Penilaian perilku ini dilakukan untuk melihat dampak perilaku anak terhadap keberhasilannya di sekolah., yang dapat dilakukan melalui observasi, wawancara dengan orangtua dan guru, penggunaan rating scale, penggunaan inventori keprbadian, dan tes proyektif. Ketika menilai perilaku siswa, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
· Kemampuan komunikasi siswa
· Pengetahuan mereka akan komunitasnya
· Kemampuan untuk mengarahkan diri (self directing)
· Kesadaran akan kesehatan dan keselamatan
· Kemampuan untuk menjaga diri sendiri
· Perkembangan kemampuan sosial
· Kebiasaan kerja dan kesadaran akan pekerjaannnya
· Penggunaan waktu luang
Pengasuhan (Parenting)
Proses parenting terdiri dari melahirkan, melindungi, merawat, dan mengarahkan anak dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pengasuhan disadari sebagai pengalaman penting kehidupan manusia yang dapat berpengaruh secara emosi, sosial, dan intelektual. Proses ini mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya – orang tua, anak, dan masyarakat (Martin & Colbert, 1997).
Pengasuhan adalah proses yang kompleks daripada tampilannya di permukaan. Karakteristik orang tua dan anak yang unik, dan suasana (setting) interaksinya, akan saling mempengaruhi (lihat bagan). Pengaruh tersebut bisa langsung, seperti respon orangtua terhadap senyum anaknya. Di lain sisi, pengaruh tersebut juga tidak langsung, contohnya orangtua yang memiliki kepuasan terhadap pekerjaan mereka lebih memiliki energi emosi yang positif terhadap anak-anaknya.
Karakteristik Orangtua · Kepribadian · Sejarah perkembangan · Kepercayaan (beliefs) · Pengetahuan · Gender |
Konteks · Jaringan sosial (social network) · Situasi kerja (work setting) · Hubungan perkawinan · Struktur keluarga · Status sosial ekonomi · kebudayaan |
Karakteristik Anak · Temperamen · Gender · Kemampuan (abilities) · Usia |
Pola Asuh Orang Tua
Kompetensi sosial dan performa akademik seorang anak berhubungan dengan pola asuh yang diterapkan orangtua (Papalia & Olds, 1995). Menurut Diane Baumrind (dalam Berns 1997), ada tiga macam pola asuh.
a. Pola asuh autoritharian
Biasanya tampak pada orangtua yang sangat menuntut kontrol perilaku dan sopan santun, sesuai dengan aturan-aturan ketat dan harapan yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Anak diharapkan untuk patuh, dan standar orangtua diterapkan secara keras, memaksa, dan melalui hukuman-hukuman. Pola asuh seperti ini dapat menghalangi anak untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan potensinya, dan mempengaruhi kemampuan anak untuk dapat membuat keputusan sendiri. Anak dapat merasa frustrasi, kesal, maral, dan menjadi tidak berani, tergantung, dan merasa tidak yakin pada dirinya sendiri.
b. Pola asuh autoritatif
Tampak di mana kontrol yang kuat dilatih dan diterapkan dengan cara yang penuh kasih sayang dan dalam suasana yang mendukung. Tujuan orangtua adalah menghargai dan meningkatkan kebebasan dan kemandirian anak, sekaligus memastikan bahwa perilaku mereka sesuai dengan standar yang ada di masyarakat. Pada pola ini, ada proses memberi dan menerima secara verbal, kontrol diberikan berdasarkan strategi yang rasional dan berorientasi pada masalah, serta orangtua bersedia memberikan penjelasan kepada anak tentang keputusan-keputusan yang diambil oleh orangtua.
Orang tua ini fleksibel namun tegas, memelihara kontrol dan disiplin namun memberikan alasan yang tepat untuk disiplin tersebut. Mereka juga mengkomunikasikan harapan-harapan mereka untuk anaknya, namun memberi kesempatan untuk berdiskusi. Disiplin yang mereka terapkan juga menekankan tanggung jawab, kerja sama, dan pengaturan diri.
Pola asuh seperti ini cenderung menghasilkan anak yang kompeten, memiliki tanggung jawab secara sosial, yakin pada dirinya, dan mandiri. Pada kondisi yang positif seperti inilah anak dapat mengembangkan rasa percaya diri yang tinggi dan konsep diri yang positif.
c. Pola asuh permisif
Orangtua yang permisif biasanya menghargai ekspresi diri dan pengaturan terhadap diri sendiri. Mereka tidak banyak memberi tuntutan, mengijinkan anak untuk sebanyak mungkin memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka memandang dirinya sebagai sumber (resources), menghindari diberlakukannya kontrol, dan tidak mendorong anak untuk mematuhi peraturan yang ditentukan oleh pihak eksternal. Mereka tidak mengontrol, tidak menuntut, dan cukup hangat. Namun demikian, anak biasanya akan tetap merasa tidak puas karena merasa tidak nyaman tanpa adanya kontrol, sehingga ia memberikan banyak energi pada usaha untuk mengontrol orangtua dan mencoba membuat orangtua mengontrol mereka. Hasilnya, anak menjadi tidak mampu menghadapi rasa frustrasi, mengalami kesulitan dalam menerima tanggung jawab, tidak dewasa secara sosial-emosional, dan kurangnya kontrol diri serta rasa percaya diri.
F. Usaha-Usaha Mengatasi Kesulitan Belajar
Analisis perilaku dan pembelajaran langsung, (1) merumuskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh anak, (2) Menganalisis tujuan pembelajaran kedalam tugas-tugas khusus, (3) Menyusun tugas-tugas tersebut kedalam suatu urutan yang logis, (4) Menentukan tugas-tugas yang telah dan yang belum dikuasai anak, (5) Mengajarkan tugas-tugas yang belum dikuasai oleh anak dengan memperhatikan aspek GSI, (6) Mengajarkan hanya satu tugas untuk satu waktu tertentu dan baru mengajarkan tugas-tugas selanjutnyaapabila tugas sebelumnya telah dikuasai oleh anak, (7) Melakukan evaluasi untuk menentuka program pembelajaran dengan menggunakan analisis gender dan social inklusi dengan langkah berikutnya.
Tahapan-tahapan belajar : Perolehan (acquision), kecakapan (Profisiensy), pemeliharaan (maintenance), generalisasi (generalization).
Implikasi teori behavioral bagi kesulitan belajar : Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran efektif, pendekatan pembelajran langsung dapat digabungkan dengan berbagai pendekatan lain, tahapan belajar anak harus dipertimbangakan dalam merancang pembelajaran. Aspek psikologi kognitif berkenaan dengan proses belajar, berfikir dan mengetahui. Kemampuan kognitif merupakan kelompok ketrampilan mentall yang esensialpada fungi-fungsi kemanusiaan. Rancangan pembelajaran yang berbeda yang berasal darimteori ini : Melatih proses yang kurang, Mengajar melalui proses yang sangat disukai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : learning disorder, learning disfunction,underachiever,slow learner, dan learning disabilities. Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
0 Komentar: