BAB I
1.Latar Belakang Masalah
Era modern dengan segala propagandanya telah menghancurkan nilai-nilai moral di Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya tindak kekerasan baik secara individual maupun kelompok. Berbagai tindak kekerasan seperti kerusuhan di Jakarta, peristiwa pengeboman di Bali, pengeboman beberapa gedung di kota-kota besar dan yang terakhir terjadi pengeboman di Batu Malang oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab.Selain itu tawuran antar pelajar makin meningkat sebagaimana yang sering diberitakan dalam media massa telah menimbulkan keterkejutan dan keprihatinan karena tindak kekerasan tersebut sungguh diluar perikemanusiaan.
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan. Anak merupakan anggota keluarga dan makhluk yang tergolong lemah baik secara fisik maupun pemenuhan semua kebutuhan serta hak-hak mereka sebagai anak. Anak perlu ruangan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka yang idealnya selama proses tumbangnya anak diberikan stimulasi serta lingkungan yang mendukung untuk proses tumbangnya, sehingga pertumbuhan fisik dan perkembangannya baik perkembangan kognitif, psikomotor, emosional, kreativitas dan yang paling penting perkembangan sosial dan moral anak. Anak secara penuh menyerahkan hidupnya pada orang tuanya yang diharapkan dapat menjadi tempat bernaung yang aman bagi anak.Bisa kita bayangkan bagaimana perkembangan anak dalam proses tumbangnya banyak mengalami kejadian-kejadian yang traumatis akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau lingkungan sekitarnya.
Memang sangat sulit kita percayai bahwa seorang anak yang seharusnya menjadi tempat curahan kasih sayang dari orang tua dan keluarganya malah mendapatkan penganiayaan bahkan sampai ada yang dirawat di Rumah sakit bahkan ada yang meninggal dunia, belum lagi dampak psikologis yang dialami anak jika mereka mendapatkan trauma secara emosional.
Berdasarkan data dari Bimmas Polri Metro Jaya 2004 berbagai kenakalan remaja sebagai bentuk dari tindakan agresif dari tahun 1998-2003 yang tercatat adalah perkelahian antar pelajar (sebanyak 157 kasus), kasus menewaskan 38 pelajar, 2 anggota masyarakat dan 2 anggota Polri (sebanyak 607 kasus), dan tahun 2004 meningkat hingga 230 kasus yang menewaskan 37 korban (www. e-psikologi . com).
Penelitian Denzin (1984) disitasi oleh Idrus (1999) memaparkan bahwa terjadinya kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pengalaman masa kecil yang berpengaruh pada kepribadian, sikap dan pandangan hidup individu. Penelitian ini mengindikasikan bahwa orang tua pada saat masa kecilnya mempunyai latar belakang mengalami kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut kepada anak-anaknya yang disebut "pewarisan kekerasan antar generasi". Beberapa studi mendukung temuan ini bahwa dampak menyaksikan kekerasan yang dilakukan orang tua pada masa kecil merupakan prediksi penyebab kekerasan lebih besar dibanding bila menyaksikan secara langsung ketika seseorang sudah dewasa. Hal ini disebabkan pada waktu kecil anak-anak sedang dalam proses perkembangan dan pembentukan kepribadian. Jika kekerasan ini tidak diatasi maka, diprediksi 20 tahun kemudian kita akan mempunyai generasi yang agresif dan berperilaku kriminal (Suharto,1997). Kondisi seperti ini akan menjadi suatu siklus dimana anak yang dibesarkan dengan kekerasan nantinya juga akan membesarkan anaknya dengan kekerasan.
Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan, terutama fisik telah mencapai kematangan. Periode ini merupakan masa transisi atau masa peralihan dari kehidupan masa kanak-kanak (childhood ) ke masa dewasa (adulthood ). Secara negatif periode ini disebut juga periode ”serba tidak” (the ”un” stage ), yaitu unbbalanced yaitu tidak atau belum seimbang, unstable yaitu tidak atau belum stabil dan unpredictable yaitu tidak dapat diramalkan. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam segi-segi physiologis , emosional, sosial dan intelektual (Sulaeman, 1995).
Monks (dalam anggraini, 1999) membagi masa adolesensi menjadi tiga fase, yaitu masa remaja awal yang berkisar antara usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan antara usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir yaitu antara usia 18-21 tahun.
Remaja pada umumnya masih tinggal bersama keluarga, yang merupakan lingkungan primer bagi pembentuk kepribadian anak dan sekaligus membantu perkembangan sosial anak dalam berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Keluarga sebagai lingkungan utama dan pertama yang dikenal individu sangat berperan dalam membimbing sosialisasi anak sebagai anggota keluarga dan masyarakat karena dalam keluarga individu diperkenalkan dengan nilai-nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat. De Klerk (dalam Simanjutak, 1984) mengemukakan bahwa keluarga memberikan hubungan dasar bagi kehidupan yang merupakan pondasi integrasi antara perseorangan dan pergaulan hidup.
Lebih lanjut Hidayat (dalam Handayani dkk, 2002) menyatakan bahwa kemampuan optimal anak harus dibentuk, dibina dan dikembangkan sejak dini, sejak awal pertumbuhan yaitu ketika masih dalam kandungan. Disinilah peran orang tua sangat penting. Tanggung jawab pertama dalam menciptakan calon-calon manusia yang tangguh tersebut terletak pada keluarga. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga merupakan ”instansi” pertama dalam proses perkembangan dan pendidikan anak serta remaja. Akan tetapi disisi lain hubungan orang tua dengan remaja sering disertai hambatan.
Hurlock (dalam anggraini, 1993) memberikan penjelasan bila permusuhan anak terhadap disiplin yang terlalu kaku dan hukuman yang terlalu keras diganjar hukuman yang lebih keras lagi, maka akan berwujud agresivitas terhadap anak lain. Lebih lanjut Bandura dan Walters (dalam Koesworo, 1988) menjelaskan bahwa ketidakefektifan beberapa bentuk hukuman dalam pengendalian agresi yakni penemuan bahwa individu yang delinkuen dan agresif sebagian besar berasal dari keluarga dengan orang tua yang menggunakan hukuman fisik secara berlebihan di dalam menegakkan disiplin pada anak-anak.
Goleman (dalam anggraini, 1999) lebih lanjut menyatakan bahwa agresivitas ternyata diturunkan dari orang tua kepada anak. Seorang anak yang memiliki ayah atau ibu yang semena-mena atau agresif, pemberian hukuman dan mengabaikan anak maka akan besar kecenderungan anak tersebut menjadi agresif pula. Sementara itu, Sears (1985) berpendapat bahwa anak yang mendapat hukuman di rumah cenderung lebih agresif di luar rumah.
Goldstein dan Glick (dalam Sarwono, 1999) menjelaskan teori belajar mengenai pelatihan terhadap orang tua agar dalam mendidik anak tidak dengan kekerasan. Jika orang tua dapat mengurangi kebiasaan berperilaku agresif, diharapkan anak-anak juga akan berkurang agresivitasnya. Dari hasil pengamatan ternyata anak banyak meniru dari orang tua yang sedikit-sedikit berteriak, menjerit, marah-marah sampai dengan memukul baik antara suami-istri, dengan tetangga, maupun kepada anak-anak sendiri.
Belajar model adalah proses peniruan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan, secara sadar atau tidak sadar. Sinonim dari belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi (Monks, 1999). Selanjutnya teori belajar sosial Bandura dan Walters (dalam Monks, 1999) menyatakan bahwa suatu tingkah laku dapat dipelajari hanya dengan melihat saja.
Berdasarkan fakta sosial, salah satu faktor yang menjadikan terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak diantaranya: pertama; faktor ekonomi, taruklah kemiskinan dalam suatu keluarga. Hal ini yang akan mengakibatkan anak-anak rawan kekerasan. Kedua; budaya, seperti dipekerjakan sejak kecil dan dipaksa menikah di bawah usia hanya dengan berlandaskan budaya. Tentunya ada banyak faktor yang lainnya.( Zahratuttamamah.2007)
Remaja yang sedang mencari identitas diri cenderung melakukan hal-hal yang menurut orang tua mereka bertentangan dengan apa yang dianggap sesuai. Kondisi semacam ini mengundang perhatian orang tua untuk mengendalikan anak dengan segera. Apabila upaya tidak dapat dilaksanakan, ada kecenderungan orang tua bertindak tidak sabar, melakukan tindakan kekerasan dan menyakiti anak.
Contoh kekerasan psikologis yang tersamar tapi bisa membawa dampak yang lebih fatal adalah ketika sepasang orang tua yang terbilang fanatic dalam bidang syariat agama (apa saja) menjejali "tabula rasa" anaknya yang masih bersih dan murni dengan segala ajaran yang lebih condong ke arah seremonial, atribut fisik, sectarian, rasial, perpecahan antar umat ("punya kita yang terbaik") alih-alih memberi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari (baik dengan ucapan atau perbuatan) mengenai nilai-nilai luhur keuniversalan agamanya masing-masing serta memberi contoh-contoh bagaimana cara bertingkahlaku dan bertindak secara luhur dan manusiawi dalam suatu lingkungan pergaulan dalam masyarakat plural yang berlain-lainan system kepercayaannya.(andy)
Setelah diadakan survei mengenai data siswa yang menggunakan sistem skor sebagai perhitungan pelanggaran tata tertib sekolah ternyata banyak siswa yang berperilaku agresif, diantaranya membolos, berkelahi, dan berbagai jenis pelanggaran yang lain sehingga peneliti memilih SMP Negeri 2 Ungaran sebagai populasi penelitian karena lokasi tersebut sesuai dengan judul dan tujuan penelitian yang akan dilaksanakan.
Poerwodarminta (dalam anggraini) memberikan pengertian perilaku agresif sebagai suatu perbuatan menyerang. Kartono (1991) lebih lanjut menyatakan bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan seseorang dapat berbentuk kemarahan yang meluap-luap, tindakan yang sewenang-wenang, penyergapan, kecaman, wujud perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan dan kesakitan, perusakan dan tirani pada orang lain.
Perilaku agresif tidak muncul secara tiba-tiba, ada beberapa faktor pencetus yang mempengaruhi diantaranya: kegagalan dalam memecahkan masalah (Yatim dan Irwanto, 1986); frustasi (Koeswara, 1988), remaja memiliki kecenderungan pola agresi yang tinggi (Lewin dalam Sarwono, 1994). Menurut Sears (1991) jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku agresif. Penelitian Weiss dan Fine (dalam Sears, 1991) memberikan hasil bahwa subyek yang agresif lebih dipengaruhi oleh komunikasi keluarga yang bersifat menghukum dan subyek yang non-agresif lebih dipengaruhi oleh komunikasi keluarga yang bersifat toleran. Jersild dkk (1978) berpendapat bahwa pengaruh obat-obatan terhadap agresivitas sering bersifat tidak langsung, artinya pada pemakai obat-obatan psikoaktif yang telah mencapai taraf ketergantungan sering terlibat pada tindakan kriminal yang disertai kekerasan dalam upaya memperoleh dana bagi pemenuhan kebutuhan mereka akan obat-obatan itu. Selain itu, akibat penayangan kekerasan menurut Bandura (De Clerg, 1994) juga mempengaruhi perilaku agresif.
Ada berbagai teori agresi yang mendasari munculnya perilaku agresif diantaranya yang dikemukakan oleh Bandura (dalam Atkinson). Teori agresi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Pertama teori psikoanalisa dari Freud disebutkan bahwa kecenderungan untuk berperilaku agresi merupakan sifat dasar dalam bawaan manusia. Kedua, teori dorongan disebutkan bahwa jika upaya seseorang dalam mencapai tujuan dihalangi, maka akan bangkit suatu dorongan agresif yang akan memotifasi perilaku untuk menghancurkan penghalang (orang atau benda) yang menyebabkan frustasi itu. Ketiga, teori belajar sosial lebih menekankan pada keadaan lingkungan yang menyebabkan individu belajar berperilaku agresi.
Berbagai aspek perilaku agresif yang biasanya akan dimunculkan oleh individu meliputi beberapa hal, menurut Albin (2002) yang menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku agresif seseorang meliputi : aspek pertahanan, aspek ketegasan, aspek perlawanan disiplin, aspek egosentris, dan aspek superioritas. Sedangkan aspek perilaku agresif menurut Koeswara (1988) dibedakan menjadi dua macam yaitu :
A. Aspek prasangka (thinking ill of the others ).
Memandang buruk atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional, hal ini bisa dilihat bagaimana individu berprasangka pada segala sesuatu yang dihadapinya.
B. Aspek otoriter
Individu yang memiliki ciri kepribadian cenderung kaku dalam memandang nilai-nilai konvensional, tidak bisa toleran terhadap kelemahan yang ada dalam dirinya maupun diri orang lain, selalu curiga, sangat menaruh hormat, serta pengabdian terhadap otoritas secara tidak wajar, hal ini dapat dilihat bahwa individu menunjukkan sikap otoriter pada orang-orang disekelilingnya.
Bentuk perilaku agresif adalah agresi aktif-pasif, agresi langsung-tidak langsung dan agresi verbal-non verbal, agresi predatori, antar jantan, ketakutan, tersinggung, pertahanan, maternal dan agresi instrumental.
Perilaku agresif pada remaja merupakan kecondongan remaja untuk melakukan pelampiasan emosi, bertujuan untuk menyakiti orang lain (Handayani dkk, 2000) dan menguasai keadaan di dalam kelompok atau untuk mengatasi halangan yang dihadapi (Pohan, 1986), sehingga menimbulkan kerugian fisik maupun psikologis bagi pihak yang disakiti.
Diantara gejala umum tingkah laku agresif remaja adalah bertindak kasar yang dapat menyakiti hati orang lain, membuat kegaduhan dalam masyarakat atau sekolah, mengolok-olok secara berlebihan, melanggar peraturan sekolah dan pendendam (Linda, 1981).
Keluarga yang kacau atau kurang harmonis sering menimbulkan konflik dan kurang peka di dalam memenuhi kebutuhan anak. Dalam hal ini, anak sering diperlakukan kejam dan keras sehingga anak merasa terancam dan merasa tidak disayang oleh orang tua.
Wirawan (dalam anggraini) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan bentuk penyalahgunaan anak, berupa tindakan kejam yang dilakukan orang tua melebihi batas perikemanusiaan seperti memukuli anak, menyiram anak dengan air panas atau membiarkan anak kedinginan di luar rumah dengan tidak membukakan pintu bila anak terlambat pulang.
Ida (dalam Handayani, 2000) mengemukakan kekerasan dalam keluarga merupakan kondisi dan lingkungan yang tidak kondusif, tidak mendidik serta tidak pantas bersetuhan dengan dunia anak karena menghambat perkembangan fisik serta jiwa anak, sehingga anak merasa takut dan terancam dan merasa tidak diharapkan dalam keluarganya.
Bentuk kekerasan oleh Purniati (1999) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: tindakan kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk melukai dan menyiksa, menganiaya orang seperti mendorong, memukul, menampar, meninju dan membakar. Kedua, tindakan kekerasan non fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk merendahkan citra atau kepercayaan diri seseorang misalnya berkata kasar, membodohkan atau memaksa seseorang melakukan perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki. Ketiga, tindakan kekerasan psikologis adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban secara kejiwaan.
Kekerasan fisik, verbal dan psikologis yang diberikan orang tua pada anak sebagai wujud penyelesaian masalah dalam keluarga ada hubungannya dengan tindakan agresif anak. Salah satu contoh dari kesalahan pengasuhan atau pendidikan anak remaja dengan kekerasan fisik misalnya menendang, memukul, mencubit; kekerasan verbal misalnya dengan mengancam, mengolok atau mengumpat; sedangkan kekerasan psikologis misalnya dengan menuntut anak untuk melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuan anak sehingga anak merasa tertekan.
Beberapa penelitian menemukan banyak kondisi-kondisi di rumah yang menimbulkan marah pada remaja, diantaranya peraturan tentang cara berpakaian, pengawasan yang ketat, perbedaan pendapat antara para remaja dengan orang tua mengenai hal-hal yang benar menurut remaja dan salah bagi orang tua, perlakuan-perlakuan yang menekan remaja dari orang tua, sifat dan kebiasaan orang tua (Scott dalam Sulaeman, 1995).
Apabila orang tua sebagai lingkungan pendidikan yang pertama kali bagi anak memakai cara kekerasan maka besar kemungkinan anak akan mengalami hambatan dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya, sebab kekerasan merupakan suatu pola yang dipelajari anak dalam berhubungan dengan orang tuanya, sehingga anak remaja akan menggunakan cara kekerasan atau agresif untuk kegiatan sosialnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua pada anak sebagai wujud penyelesaian masalah dalam keluarga sangat dimungkinkan ada hubungannya dengan tindakan agresif anak. Hal tersebut dapat terjadi karena pola asuh yang salah yang mengandung kekerasan fisik maupun verbal, sehingga anak melakukan suatu proses modelling dan peniruan tingkah laku yang dilakukan orang tuanya, kemudian tingkah laku tersebut akan diidentifikasi oleh anak. Apabila anak dalam menghadapi suatu permasalahan dengan lingkungan sekitarnya, besar kemungkinan anak akan memakai cara kekerasan pula yang termanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang bersifat agresif.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Kekerasan Pada Anak.
1. Defenisi kekerasan
Menurut Zander (1989), Kekerasan adalah Suatu bentuk penyerangan secara fisik atau melukai anak" dan perbuatan ini justru dilakukan oleh pengasuhnya (orang tua atau pengasuh yang bukan keluarga). Definisi lain juga mengungkapkan kekerasan adalah Semua interaksi atau tidak adanya interaksi antara anggota keluarga yang berakibat cedera bukan karena kecelakaan fisik dan perkembangan individu (Helfer,1987).
Menurut WHO (2004) kekerasan pada anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut. Sedangkan Kekerasan pada anak menurut The national Commision Of Inquiru Into The Prevention Of Child Abuse (Childhood matter, 1996), Kekerasan pada anak adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi (David Gill,1973). Menurut Synde (1983) mendefinisikan kekerasan pada anak adalah perlakuan yang salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual
1. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan pada anak.
Banyak faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak dalam rumah tangga. Keluarga dalam hal ini adalah unit yang terpenting dalam menghindari atau menunjang terjadinya kekerasan pada anak. Anak yang dilakhirkan selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik untuk tumbuh kembangnya dan masa depannya. Anak tidak minta dilahirkan didunia, tetapi ketika ia terlahir selayaknya orang tuan merawat anak dengan sebaik-baiknya dan keluargalah yang diharapkan oleh anak sebagai barrier terhadap tindak kekerasan yang mungkin saja dapat dialaminya. Tetapi pada kenyataannya justru kekerasan pada anak terjadi didalam keluarga dan ironisnya juga dilakukan oleh orang yang notabenenya adalah orang tua atau saudara terdekat. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak. Faktor sosio-kultural antara lain adalah nilai atau norma yang ada di masyarakat, hubungan antara manusia dan kemajuan jaman. Selain itu kekerasan pada anak dapat disebabkan faktor pencetus yang berasal dari anak, stres keluarga dan stres yang berasal dari orang tua.
2. Tipe Kekerasan pada anak ( Child Abuse).
Menurut Desi & Shofiah (2007) secara garis besarnya Kekerasan pada anak dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
a. Kekerasan Fisik.
b. Kekerasan Seksual.
c. Kekerasan Emosional.
d. Penelantaran Anak.
3. Tanda dan Gejala Kekerasan pada anak ( Child Abuse ).
Kita dapat melihat tanda dan gejala anak dengan kekerasan jika kita mencurigai terjadinya kekerasan pada anak, kita dapat mengobservasi dari pemeriksaan fisik atau gejala perilaku yang ditunjukkan anak. Gejala dari kekerasan fisik adalah adanya luka, bekas luka goresan, luka lecet, luka bakar ,tekanan atau trauma, perilaku antisosial pada anak, anak bermasalah disekolah, ketakutan pada anak atau waspada yang berlebihan, penggunaan obat-obatan, perilaku destruktif dan perilaku menarik diri, depresi atau kurangnya gambaran diri/ citra diri dan takut kontak dengan orang dewasa.
Gejala dari kekerasan emosional adalah kurangnya konsentrasi, gangguan makan pada anak, apatis dan depresi pada anak, sikap bermusuhan pada anak, gangguan konsentrasi pada anak, percobaan bunuh diri, tampak perilaku yang ekstrim pada anak dari pasif sampai agresif. Gejala dari kekerasan seksual adalah menghindari hal-hal yang berhubungan dengan seksual, menolak organ reproduksi atau tubuhnya sendiri, anak juga sering mimpi buruk dan sulit mempertahankan tidur, penurunan nafsu makan, penolakan, takut menjadi bagian dari keluarga, depresi, perilaku menarik diri, injury, sukar jalan atau duduk, mengeluh nyeri pada daerah kemaluan, memar dan berdarah pada daerah perineal, keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan dan kehamilan yang tidak diinginkan Tanda dan gejala dari penelantaran tidak dapat dilihat secara nyata seperti pada gejala kekerasan fisik atau kekerasn seksual, dan kita harus mengkonfirmasi untuk mengetahui kekerasan. Yang biasa terjadi pada penelantaran adalah palampilan atau menggunakan pakaian yang tidak selayaknya, kebersihan diri yang kurang, tidak terurus, kelaparan, kurangnya supervisi, anak tidak mendapatkan seharusnya yang ia dapatkan sesuai usianya.( Desi & Shofiah.2007)
4. Dampak dari kekerasan pada anak.
Dampak pada anak yang mendapat perilaku kekerasan selain terjadi seperti yang dicantumkan pada gejala yang tampak pada saat pemeriksaan pada anak, (Kassim.1998) dampak lain yang dapat terjadi adalah secara umum adalah:
a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih sayang, sulit percaya dengan orang lain.
b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.
c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi social.
d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya dan anak yang lebih kecil.
e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.
f. Kecemasan berat atu panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah disekolah.
g. Harga diri anak rendah.
h. Abnormalitas atau distorsi mengenai pandangan terhadap seks.
i. Gangguan Personality.
j. Kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain dalam hal seksualitas.
k. Mempunyai tendency untuk prostitusi.
l. Mengalami masalah yang serius pada usia dewasa.
B. Perilaku Agresif
1. Defenisi Agresif
Agresif menurut Murray (dalam Halll dan Lindzey,1993) didefinisikan sebagi suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Perilaku agresif menurut Sars (1985) adalah setiap perilkau yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang. Menurut Abidin (2005) agresif mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik yang pertama, agresif merupakan tingkah laku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua, agresif merupakan suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Karakteristik yang ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan.
Menurut Helfer,(1987). bahwa prilaku agresif adalah sebuah tindakan kekerasan baik secara verbal maupun secara fisik yang disengaja dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap orang lain atau objek-objek lain dengan tujuan untuk melaukai secara fisik maupun psikis.
2. Faktor- faktor agresif.
Menurut Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:
a) Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c) Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresif) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
2. Faktor lingkungan
Yang mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu:
a. Kemiskinan.
Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi dan moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Walau harus kita akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak membuatnnya berprilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya. Liputan 6.com, (2004).
b. Anoniomitas.
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma masyarakat kurang bersimpati dengan orang lain.
c. Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992).
3. Kesenjangan generasi.
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak paham apa yang di maksud. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
4. Amarah.
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif.
5. Peran belajar model kekerasan.
Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.
6. Frustasi.
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh ssesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercap[ai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berprilaku agresi.
7. Proses pendisiplinan yang keliru.
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
C. hubungan kekerasan orang tua terhadap anak dengan agresif anak.
Tidakmatangnya orang tua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orang tua, harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa kecil dari orang tua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem obat-obat terlarang dan alkohol. Ada juga orang tua yang tidak menyukai peran sebagai orang tua sehingga terlibat pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan kebencian.
Ada beberapa situasi yang menyulitkan orang tua dalam menghadapi anak sehingga tanpa disadari mengatakan atau melakukan sesuatu yang tanpa disadari dapat membahayakan atau melukai anak, biasanya tanpa alasan yang jelas. Kejadian seperti inilah yang disebut penganiayaan terhadap anak. Dalam beberapa laporan penelitian, penganiayaan terhadap anak dapat meliputi: penyiksaan fisik, penyiksaan emosi, pelecehan seksual, dan pengabaian.
D. Kerangka berpikir.
Kekerasan terhadap anak jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena situasi dan kondisi hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif (cara berfikir), perilaku (terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak), dan sosial kultural (adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut.
Goleman (1999) lebih lanjut menyatakan bahwa agresivitas ternyata diturunkan dari orang tua kepada anak. Seorang anak yang memiliki ayah atau ibu yang semena-mena atau agresif, pemberian hukuman dan mengabaikan anak maka akan besar kecenderungan anak tersebut menjadi agresif pula. Sears (1985) berpendapat bahwa anak yang mendapat hukuman di rumah cenderung lebih agresif di luar rumah.
E. Hipotesis
Hipotesis adalah persyaratan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah sehingga harus di uji secara empiris.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif pada siswa SMP Negeri 2 Ungaran. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII, VIII, dan IX SMP Negeri 2 Ungaran.
Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis ini ada hubungan positif yang signifikan antara kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif pada siswa, berarti hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima yakni: Semakin tinggi kekerasan orang tua terhadap anak maka semakin tinggi perilaku agresif siswa, sebaliknya semakin rendah kekerasan orang tua terhadap anak maka semakin rendah perilaku agresif siswa. Ada korelasi yang signifikan antara hubungan kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif siswa.
BAB III
Metode Penelitian
A.Variabel Penelitian.
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto,2002).
Variabel pada penelitian ini terdiri dari dua varabel yaitu:
Variabel bebas adalah kekerasan orang tua terhadap anak.
Variabel bebas adalah kekerasan orang tua terhadap anak.
Variable terikat adalah perilaku agresif pada siswa.
B.Definisi Operasional.
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian, sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2007).
C.Populasi & Sampel Penelitian.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007).
Pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Unggaran
2. Sampel
N
1 + N (d2)
n =
Keterangan :
n = sampel
N = Jumlah populasi
d 2 = tingkat kesalahan yang diinginkan
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Cara menghitung dengan menggunakan rumus.
N
1 + N (d2)
n =
Keterangan :
n = sampel
N = Jumlah populasi
d 2 = tingkat kesalahan yang diinginkan
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Cara menghitung dengan menggunakan rumus.
D. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan data sekunder yaitu data laporan ibu-ibu yang ada di Desa Unggaran dan data primer yang didapat dari hasil. Pengumpulan data dengan cara wawancara yaitu dengan cara melakukan tanya jawab langsung dengan respoden dan angket yaitu proses pengumpulan data secara tidak langsung.
E. Metode Analisis Data.
Teknik yang digunakan dalam menganalisa data yaitu dengan menggunakan uji Chi kuadrat. Ini digunakan untuk mengestimasi atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau menganalisa hasil observasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan pada penelitian yang menggunakan data nominal. Adapun dalam pengolahan datanya mulai dengan :
1. Editing : adalah upaya untuk memriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding : merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan computer. Biasanya dalampemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (Code Book) untuk memudahkan kembali melihat likasi dan arti suatu kode dari suatu variabel.
3. Data Entry : adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam master tabel atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi.
4. Melakukan teknik analisis : dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis, apabila penelitiannya deskriptif, maka akan menggunakan statistik deskriptif.
Daftar Pustaka
Elfia Desi & Vivik Shofiah.2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2.
Hurlock, B. Elizabeth.1998. ”Perkembangan Psikologi Anak”. Jakarta: Erlangga
Liputan 6.com, (2004). Pelajar SLTP Perkosa Tiga Anak. Online.Internet. Available http://www.liputan6.com/fullnews/76721.html
Sarwono, Sarlito Wirawan.2005.Psikologi Sosial (Individu dan Teori-TEori Psikologi Sosial).Jakarta: Balai Pustaka
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Santrock, John W.2002.Life-Span Development.Jilid 1.Jakarta:Erlangga.
http://www.kekerasan orang tua pada anak.com
geole http://www.perilaku agresif.com
0 Komentar: