Catatan :
- Faktor cinta sebelum kawin tidak pernah disinggung dalam ajaran Islam. Dalam praktek, cinta sebelum kawin sering penuh dengan rahasia, sebab biasanya orang yang sedang bercinta berusaha menutupi kekurangannya yang satu terhadap yang lain; sering pula orang yang sedang bercinta tidak mempunyai pertimbangan netral obyektif, seperti yang dikatakan pepatah : “Cinta itu buta”. Oleh karena itu pertimbangan cinta sebelum kawin tidak mutlak untuk suksesnya hidup perkawinan.
- Untuk mengambil suatu keputusan apakah yang diinginkan menjadi jodoh seseorang akan membawa kebaikan di belakang hari atau tidak, harus dimohonkan petunjuk dari Tuhan yang yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang gaib. Jalannya dengan sholat istikharah (shalat minta pilihan).
Islam bukannya tidak memberi tempat sama sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam hanya menekankan agar pertimbangan faktor agama dan akhlaq memperoleh prioritas, kemudian baru pertimbangan faktor-faktor lain. Sudah tentu akan amat ideal apabila seseorang menemukan jodoh yang agamanya kuat, cantik, kaya dan keturunan serta pangkatnyapun baik.
JODOH DALAM PANDANGAN ISLAM
Ustz. Herlini Amran, MA
Allah swt berfirman dalam QS : Ar Ruum : 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Sudah menjadi sunatullah bahwa Allah menciptakan semua makhluknya berpasang-pasangan dan semua manusia pasti ada jodohnya tergantung ikhtiar dari manusia itu sendiri ataupun takdir Allah. Karena setiap takdir itu ada yang mutlak (sudah menjadi ketentuan Allah), kita sebagai manusia hanya bisa menerimanya dan satu lagi adalah takdir ikhtiari yaitu takdir yang memang bisa diperoleh dengan jalan ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh
Ikhtiar yang bisa dilakukan oleh seorang Muslimah dalam mencari jodoh :
1.
Berdoa kepada Allah agar diberikan jodoh yang baik, misalnya dengan shalat hajat. Allah telah berjanji dalam firmannya bahwa Muslim yang baik akan mendapatkan Muslimah yang baik dan laki-laki yang buruk akan mendapatkan wanita yang buruk pula, maka tugas seorang muslimah adalah berusaha untuk menjadi Muslimah yang baik, berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah agar mendapatkan jodoh yang baik dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…..(QS : An Nuur : 26)
2.
Meminta kepada orang tua/wali untuk dicarikan jodoh yang baik. Dalam Islam sebenarnya masalah jodoh bagi muslimah bukanlah menjadi tanggung jawab diri sendiri tetapi menjadi tanggung jawab orang tua ataupun wali.
Bahkan pada masa Rasulullah saw, pemerintah bertanggungjawab untuk mencarikan jodoh bagi muslim dan muslimah pada masanya. Sehingga seorang muslimah tidak perlu mencari sendiri jodoh untuk dirinya. Pendekatan/khalwat yang dilakukan sebelum ikatan pernikahan dengan alasan untuk saling mengenal antara keduanya tidaklah sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan pendekatan ini tidak selalu menjamin menjadi rumah tangga yang langgeng karena biasanya pendekatan yang dilakukan sebelum pernikahan lebih mengedepankan sisi subjektivitas antara keduanya.
3.
Melalui mediator misalnya teman, saudara atau orang lain yang dapat dipercaya. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. …(An Nuur : 32-33)
4.
Mencari sendiri dengan syarat tidak boleh langsung tetapi bersama pihak ketiga Rasulullah saw permah memberikan kriteria untuk menentukan pilihan pasangan hidup bagi seorang muslim/ah yang apabila dilaksanakan insya Allah rumah tangga Sakinah mawaadah warahmah akan dirasakan, Amin…
Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas. (HR. Tirmidzi dan Ahmad) à
untuk muslimah
Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu. (HR. Muslim) à
untuk muslim
5.
Di luar dugaan, tanggal 14 Maret 2008 saya sudah menonton film Ayat Ayat Cinta (AAC), melalui proses yang sangat mendadak, sampai-sampai saya sulit menceritakan kronologisnya.Jangan putus asa…. Jodoh adalah masalah ghoib yang menjadi rahasia Allah, sebagai manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa. Bagi muslimah yang belum mendapatkan jodoh jangan berputus asa, tetaplah berikhtiar dan berdoa. Sudah menjadi janji Allah bahwa semua makhluknya akan berpasang-pasangan. Hanya Allah yang maha tahu kapan waktu yang tepat untuk jodoh kita masing-masing. Wallahualam bishowwab..
Pernah Menonton Film AYAT_AYAT CINTA yang populer tentang jodoh dalam islam..kalau belum nie crita ringkas nya...
Yang jelas begini:
Saya tahu banyak orang yang kecewa terhadap film ini. Karena itu, sejak awal, jauh sebelum film ini diputar di bioskop, saya sudah menulis artikel tentang "Tiga Bekal Sebelum Menonton Film Ayat Ayat Cinta ." Tentu, saya pun harus mempraktekkan ketiga bekal tersebut sebelum menonton.
Hasilnya, alhamdulillah saya tidak kecewa. Ketika Fahri dan Aisha pada film ini berbeda dengan Fahri dan Aisha versi novelnya, saya menganggap itu wajar-wajar saja.
Pada novel, Fahri ditampilkan sebagai sosok "ikhwah"(*) yang sangat sempurna. Tapi di film, Fahri cenderung emosional dan - setuju dengan pendapat Asma Nadia - sikapnya seperti suami takut istri. Fahri versi novel yang sangat pintar dalam ilmu agama, menjadi terlihat bego ketika ia - pada versi film - digurui oleh sahabatnya Saiful mengenai ta'aruf.
Sementara Aisha versi film terlihat sebagai sosok yang kontradiktif:
Di satu sisi dia lebih banyak terlihat sebagai seorang istri pecemburu dan dominan dalam keluarga. Ia judes dan jauh dari bijaksana. Kegusarannya ketika menyadari "saya belum kenal siapa suami saya" dan mengobrak-abrik koleksi buku Fahri, adalah sikap yang sangat mengherankan bagi kalangan "ikhwah"(*). Dengan kata lain, pada sisi ini Aisha terlihat sebagai seorang perempuan yang hidupnya masih jauh dari nilai-nilai Islam.
Tapi ketika Aisha terlihat rela dan lapang dada, mengizinkan suaminya menikah lagi dengan Maria, di sisi inilah saya melihat keteguhan hati seorang muslimah sejati. Aisha terlihat amat memahami dan menjiwai nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
Dari segi "teori" cerita fiksi, karakter Aisha yang kontradiktif ini terlihat SANGAT ANEH. Dan inilah menurut saya salah satu "kesalahan utama" film AAC.
Menurut owek nie ye, satu-satunya tokoh di film AAC yang mirip dengan tokoh versi novel adalah Maria. Saya setuju! Tapi Noura dan Nurul versi film - menurut saya - juga tak kalah mirip dengan versi novelnya.
Sayangnya, perhatian penonton "kalangan ikhwah"(*) justru tertuju pada sosok Fahri dan Aisha, sebab kedua tokoh inilah yang paling "gue banget" bagi mereka. Jadi ketika Fahri dan Aisha ditampilkan sebagai tokoh yang "lebih manusiawi", sosok yang tidak sesuai dengan "karakter ikhwah sejati"(*), saya menemukan alasan kenapa banyak orang yang kecewa bahkan memprotes film ini sebagai produk yang menghina Islam!
Saya bisa memaklumi "kemarahan" seperti itu. Tapi di sisi lain, saya juga menyayangkan karena "kemarahan" tersebut sepertinya menunjukkan sikap yang kurang bisa memahami proses kreatif di balik pembuatan film AAC.
Film ini dibuat oleh seseorang yang sepertinya (maaf bila keliru) belum pernah "bersentuhan" dengan "kalangan ikhwah"(*). Jadi bila Mas Hanung menghadirkan Fahri dan Aisha versi film sesuai dengan persepsi dia yang "kurang tepat" mengenai "sosok ikhwah sejati"(*), saya kira itu wajar-wajar saja. Mungkin demikianlah persepsi Mas Hanung terhadap "orang Islam yang alim". Itu juga mungkin sebuah upaya Mas Hanung untuk membuat Fahri dan Aisha sebagai sosok yang lebih manusiawi.
Jadi, itu bukan sebuah upaya untuk menghina Islam, saya kira. Bagaimanapun, Mas Hanung juga seorang muslim, dan Habiburrahman El Shirazy selaku penulis novel AAC juga dilibatkan dalam proses pembuatan film ini. Mustahil rasanya bila mereka berdua berniat membuat film yang isinya menghina Islam.
* * *
Saya berpendapat bahwa ketika sebuah novel diangkat menjadi film, seharusnya si sutradara menerjemahkan novel tersebut berdasarkan sudut pandang yang unik, sesuai persepsi dia mengenai novel tersebut. Dalam hal ini, saya kira Mas Hanung sudah cukup berhasil.
Dalam persepsi saya (maaf bila keliru), tema atau sudut pandang yang diangkat pada film AAC ini adalah tentang jodoh. Dialog paling penting adalah ketika Fahri dan Maria berbincang di Sungai Nil, dan dialog ini dipertegas kembali di bagian ending:
"Kamu percaya pada jodoh, Fahri?"
"Ya, setiap orang memiliki…."
"... jodohnya masing-masing. Itu yang sering kamu ucapkan, bukan?"'
Mereka juga bercerita bahwa Sungai Nil dan Mesir adalah jodoh. Di bagian ending, Fahri menganalogikan dirinya sebagai Mesir dan Maria adalah Sungai Nil. "Kamu telah menemukan jodohmu, Maria."
Dialog-dialog ini tentu saja tidak terdapat pada novel AAC. Saya kira, ini adalah salah satu upaya Mas Hanung untuk mempertegas sudut pandang dan tema utama tentang jodoh yang hendak ia tonjolkan. Bagi saya, ini sah-sah saja bahkan sangat bagus. Sebab film yang diangkat dari novel memang harus dibuat dengan pendekatan dan sudut pandangan yang berbeda dari "produk aslinya". Jangan sampai muncul kesan bahwa film tak lebih dari sekadar ringkasan si novel. Bagaimanapun film dan novel adalah dua produk yang sangat jauh berbeda.
Dengan sudut pandang dan tema utama unik yang diangkat oleh Mas Hanung, saya berpendapat bahwa tokoh sentral pada film AAC hanya dua orang. Seandainya terjadi sebuah keadaan yang sangat darurat, di mana Mas Hanung dan timnya terpaksa hanya menghadirkan DUA tokoh saja di dalam film ini, maka kedua tokoh itu adalah Fahri dan Maria. Sebab mereka adalah tokoh paling penting dan paling berperan dalam KEUTUHAN CERITA film ini.
Bahkan pernikahan Fahri dengan Aisha, juga tindakan Noura yang memfitnah Fahri, merupakan unsur-unsur yang memperkuat hubungan Fahri dengan Maria. Seperti yang kita saksikan bersama, kejadian-kejadian yang dialami Fahri bersama Aisha dan Noura adalah kejadian-kejadian yang pada akhirnya mempersatukan Fahri dan Maria di dalam pernikahan.
Ya, demikianlah persepsi saya setelah menyaksikan film AAC. Jika memang benar Mas Hanung mengambil sudut pandang seperti yang saya ceritakan, maka saya angkat topi pada dia. Mas Hanung telah berhasil menyajikan film AAC dengan sudut pandang dan persepsi yang benar-benar berbeda dibanding novelnya.
Saya telah berusaha semaksimal mungkin untuk meng-amnesia-kan diri dari novel AAC sebelum menonton film ini, sesuai anjuran yang pernah saya tulis . Maka alhamdulillah saya akhirnya bisa melihat film ini sebagai sebuah produk yang tidak ada kaitan apapun dengan novelnya. Dengan cara ini, saya tidak sampai kecewa dan marah-marah ketika melihat banyak hal pada film ini yang JAUH BERBEDA dengan versi novelnya.
* * *
Awalnya, saya heran atas adegan tambahan mengenai "aktivitas poligami" di rumah Aisha, persaingan kedua istri untuk merebut perhatian Fahri, dan rasa cemburu Aisha yang membuat dia memutuskan untuk pergi ke Turki.
Sesuai pendapat yang tersaji di atas, saya tidak mempermasalahkan bila ada "adegan tambahan" pada film yang tidak terdapat pada novelnya. Itu sah-sah saja, sebab itu mungkin bagian dari persepsi dan sudut pandang subjektif si sutradara.
Tapi, dengan wawasan perfilman saya yang sangat minim, AWALNYA saya melihat bahwa adegan-adegan tersebut tidak penting. Tapi kemudian saya berubah pikiran. Mungkin lewat adegan-adegan tambahan ini, Mas Hanung ingin lebih mempertegas sudut pandang dan tema utama tentang perjodohan Fahri dan Maria. Adegan-adegan inilah yang akhirnya menghadirkan sebuah ucapan penting Maria, "Sekarang saya baru sadar, ternyata 'cinta' dan 'keinginan untuk memiliki' adalah dua hal yang berbeda."
* * *
Dengan sudut pandang dan persepsi Mas Hanung yang benar-benar berbeda dari versi novelnya, saya setuju bahwa film AAC lebih terkesan sebagai film "drama percintaan". Jadi sangat tepat ucapan yang pernah dilontarkan Mas Hanung, "Film AAC akan seperti Heart. Bedanya, pada AAC banyak muncul sosok perempuan berjilbab."
Lantas, di manakah letak "Islam" pada film ini?
Menurut saya, Islam pada film AAC lebih banyak terlihat pada unsur-unsur:
- simbolis (jilbab, cadar, baju koko, pengajian, ucapan "Assallamualaikum"),
- dialog antara Fahri dengan Alicia tentang posisi perempuan dalam Islam,
- adegan poligami yang benar-benar menyentuh dan berakhir dengan happy ending,
- pertengkaran di kereta api,
- adegan ketika Maria memuji Islam lewat buku hariannya,
- adegan ketika Maria meninggal dunia dalam keadaan sedang shalat,
- proses ta'aruf antara Fahri dengan Aisha,
- dan beberapa adegan lainnya.
Jadi bagi Anda para "ikhwah"(*) yang kecewa terhadap film ini, saya bisa maklum sekarang. Agar kekecewaan Anda berkurang bahkan hilang, saran saya berhentilah menganggap bahwa film AAC adalah film yang mengusung dakwah Islam. Memang ada dakwah di dalamnya, tapi itu bukan "jualan utama" film ini. Unsur dakwah pada film AAC hanya semacam "bonus tambahan" ketika kita membeli sebuah produk.
Cilangkap, 14 Maret 2008
Jonru
NB:
- (*) Sejujurnya, saya menggunakan istilah ikhwah hanya demi kepentingan praktis belaka. Saya berpendapat bahwa "ikhwah" bukanlah istilah yang ditujukan khusus bagi kalangan "harokah" tertentu. Istilah ini memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Namun, saya dengan amat terpaksa "ikut arus", mengikuti salah kaprah yang selama ini sudah sangat kronis mengenai istilah "ikhwah", hanya demi tujuan praktis dan pragmatis belaka. Harap maklum.
- Banyak teman yang merasa heran pada karakter "pria di penjara" yang berwajah seram dan terlihat bejat, tapi sangat fasih ketika menasehati Fahri, seolah-olah dia adalah seorang ulama kondang. Bila si pria ini adalah orang Indonesia dan setting film ini memang di Tanah Air, terus terang saya juga sangat heran. Tapi si pria ini adalah orang Mesir, maka saya menemukan konteks yang masuk akal atas "keanehan" dia. Dari novel AAC, saya mendapat kesimpulan bahwa masyarakat Mesir memang punya karakter seperti itu; sebejat apapun, mereka tetap fasih dalam menyuarakan nilai-nilai Islam.
- Saya terus terang sangat terganggu oleh ucapan "Assallamualaikum" dari Maria dan Alicia, lalu dengan amat konyolnya disahut "waalaikumsalam" oleh Fahri dan teman-teman satu asramanya. Para mahasiswa Al Azhar ini seharusnya sangat paham akan ajaran Islam. Jadi mereka seharusnya tahu bagaimana cara yang baik dan benar dalam menyahut ucapan "Assallamualaikum" dari nonmuslim.
- Dari semua ulasan film AAC yang pernah saya baca, saya berpendapat bahwa ini termasuk ulasan yang cukup baik, fair, dan membuat saya mengangguk-angguk setuju............By.korban film.heheheheh
0 Komentar: