I.
Definisi dan Ciri-ciri
Skizofrenia adalah
gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utamadalam pikiran, emosi dan
perilaku-pikiran yang yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar
atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang bizarre. Pasien skizofrenia menarik
diri dari orang lain dan kenyataan, seringkali masuk kedalam kehidupan fantasi
yang penuh delusi dan halusinasi
Skizofrenia merupakan salah satu dari berbagai psikopatologi
paling berat. Prevalensi sepanjang hidupnya kurang dari satu persen terjadi
pada laki-laki dan perempuan kurang lebih jumlahnya sama banyaknya. Meskipun
berawal dari anak-anak, gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja
atau dewasa awal, agak lebih awal pada kaum laki-laki daripada akum perempuan.
Usia timbulnya gangguan tampaknya semakin muda dalam beberapa dekade terakhir
(DiMaggio dkk., 2001). Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya mengalami
beberapa episode, mereka sering mengalami simptom-simptom yangtidak terlalu
parah, namun tetap sangat menganggu keberfungsian mereka. Komordibitas dengan
penyalahgunaan zat merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia,
terjadi pada sekitar 50 persennya (Kosten & Ziedonis, 1997).
Simptom-simptom
yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal
penting-pikiran, persepsi, da perhatian, perilaku motorik, afek atau emosi, dan
keberlangsungan hidup. Ada banyak gejala-gejala
skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskanoleh berbagai sumber. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala khas
skizofrenia berupa adanya:
1. Waham
atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksiyang tidak sesuai
dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat
umum)
2. Halusinasi
(persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar)
3. Pembicaraan
kacau
4. Perilaku
kacau
5. Gejala
negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikanemosi, kehilangan
minat, penarikan diri dari pergaulan sosial)
Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita
skizofrenia sangat luas meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami
hanya beberapa dari masalah tersebut. Para pasien skizofrenia dapat berbeda antara
satu dengan yang lainnya dibanding para pasien gangguan lainnya. Heterogenitas
skizofrenia menunjukkan bahwa pengelompokan para pasien kedalam berbagai tipe
yang mencerminkan konstelasi beberapa tipe yang telah diakui. Symptom yang akan
dibahas pada disini adalah disorganisasi.
II. Simptom Disorganisasi
Bentuk
Hebefrenik skizofren yang dikemukakan kraeplin disebut skizofrenia
disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Skizofrenia tipe
disorganisasi mulai dikenal
sekitar 150 tahun yang lalu. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan
sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat berbicara secara tidak runut,
menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan menciptakan kata-kata
baru. Seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar
atau terus menerus mengalami perubahan emosi, yang dapat meledak menjadi tawa
atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku pasien secara umum tidak
terorganisasi, aneh (bizzare) dan
tidak bertujuan. Pasien dengan tipe ini, gejala-gejalanya psikotiknya sering
terlihat nyata dibandingkan dengan pasien skizofrenia yang lainnya contohnya;
pasien melilitkan pita ke ibu jari atau bergerak tanpa henti, menunjuk ke
berbagai objek tanpa alas an yang jelas. Pasien kadang kala mengalami
kemunduran sampai ke titik yang tidak pantas, buang air besar dimana saja dan
kapan saja.
Disorganisasi
pembicaraan juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, disorganisasi
pembicaraan merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan
dalam berbicara, sehingga pendengar dapat memahaminya. Pada tipe ini, pasien
akan mengalami inkoherensi yang terjadi ketika pasien melakukan percakapan
dengan orang lain, beberapa citra dan potongan pikiran tidak saling
berhubungan, sulit untuk mamahami dengan pasti apa yang ingin disampaikan. Contoh
mengenai disorganisasi pembicaraan:
Pewawancara : apakah anda merasa gugup atau tegang
dalam beberapa waktu terakhir ini?
Pasien :
tidak, saya memiliki kepala selada
Pewawancara :
anda memiliki kepala selada? Saya tidak mengerti
Pasien :
yah itu hanya kepala selada
Pewawancara :
ceritakan kepada saya tentang selada. Apa maksud anda?
Pasien
: yah..selada merupakan transformasi seekor puma mati yang kambuh
dicakar singa. Dan ia menelan singa itu kemudian terjadi sesuatu.
Bicara
juga terganggu karena satu hal yang disebut asosiasi longgar atau keluar jalur
(derailment ), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi
dengan seorang pendengar tetapi mengalami kesulitan untuk tetap pada satu
topic. Ia tampak seolah terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran
yang berasal dari suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan deskripsi
atas kondisi tersebut.
“pikiran
saya kacau. Saya mulai berpikir atau berbicara tentang sesuatu, namun saya
tidak pernah bias menyampaikannya. Bahkan, saya berputar-putar kearah yang
salah dan berhadapan dengan hal-hal yang ingin saya sampaikan, namun dengan
cara yang tidak bisa saya jelaskan. Orang-orang yang mendengarkan pembicaraan
saya lebih tidak mengerti dibanding saya sendiri. Masalahnya terlalu banyak yang
saya pikirkan. Anda dapat berpikir tentang sesuatu, misalnya asbak itu dan
hanya berpikir, o ya, itu tempat untuk meletakkan rokok saya, namun saya akan
berpikir tentang itu dan kemudian saya akan berpikir tentang selusin hal lain
yang berhubungan dengannya dalam waktu bersamaan (McGhie & Chapman, 1961,
hlm. 108) ”.
Gangguan
dalam pembicaraan pernah dianggap sebagai symptom klinis utama skizofrenia, dan
tetap merupakan salah satu criteria diagnosis. Namun, bukti mengindikasikan
cara bicara banyak pasien skizofrenia tidak mengalami disorganisasi, dan
terjadinya disorganisasi bicara tidak membedakan dengan baik antara skizofrenia
dengan psikosis lain.
Perilaku aneh
terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau
konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak
biasa, berperilaku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol, menyimpan
makanan. Mengumpulkan sampah atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas
seperti melakukan masturbasi didepan umum. Mereka tampak kehilangan kemampuan
untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan berbagai standar
masyarakat. Mereka juga mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas sehari-hari
dalam hidup.
Perilaku yang
disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim.Untuk mendiagnosa seseorang
skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif,
atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan.Tanda
awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut
perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan
proses belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali
berimajinasi tentang peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut
bukanlah sebuah gangguan. Indikator
premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain:
1. Ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi (wajah
dingin, jarang tersenyum, tak acuh)
2. Penyimpangan komunikasi (anak sulit melakukan
pembicaraan terarah)
3. Gangguan atensi (anak
tidak mampu memfokuskan, mempertahankan,serta memindahkan atensi). Adapun gejala awal yang terlihat
pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan adalah sebagai berikut:
·
Pada anak
perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak
bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas
·
Pada anak
laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu.
III.
Etiologi
·
Perspektif
kognitif dan tingkah laku
Aaron Beck, penemu dari terapi kognitif, dan Neil
Rector baru-baru ini telah memformulasikan model kognitif dari skizofrenia
(Beck & Rector, 2005). Mereka mengatakan bahwa keabnormalan neurological
dari orang yang menderita skizofren mengakibatkan kesulitan yang fundamental
dalam perhatian dan ketaatan pada peraturan dari komunikasi , yang
mengakibatkan orang yang mengidap skizofrenia mencoba untuk menghemat sumber
kognitif mereka yang terbatas. Satu cara yang mereka lakukan adalah dengan
menggunakan, hingga tingkat yang paling maksimal, prasangka atau skema tertentu
untuk memahami informasi berlebih yang diterima oleh otak. Delusi berkembang
meningkat ketika orang yang mengidap skizofren mencoba untuk menjelaskan
pengalaman persepsi aneh yang mereka alami. Halusinasi merupakan akibat dari
hipersensitifitas pada input perceptual, yang dipasangkan dengan kecenderungan
untuk menghubungkan pengalaman yang dialami dengan sumber eksternal. Contohnya;
daripada berpikir “saya mendengar sesuatu”, orang yang mengidap skizofren
cenderung untuk berpikir “seseorang mencoba untuk berbicara kepada saya”.
Symptom negative dari skizofrenia bangkit dari karakteristik kepribadian yang
dilebih-lebihkan, harapan bahwa interaksi social akan tidak menyenangkan, dan
kebutuhan untuk menarik dan menghemat sumber kognisi yang langka
Konseptualisasi kognitif ini, telah mengarahkan pada
strategi kognitif untuk menangani orang yang mengidap skizofren. Strategi ini
membantu pasien untuk mengidentifikasi keadaan yang membuat stress yang diasosiasikan
dengan pertumbuhan dan pemburukan dari symptom dan belajar untuk mengulang cara
yang lebih baik dalam mengatasi stress tersebut. Mereka juga mengajarkan pasien
cara untuk menghilangkan keyakinan delusional mereka dan pengalaman halusinasi.
Symptom negative ditangani dengan membantu pasien mengembangkan ekspektasi yang
lebih aktif dan interaksi leih banyak dengan orang lain akan memberikan
keuntungan yang positif. Penelitian yang menguji interfensi kognitif ini
memperlihatkan bahwa cara ini lebih efektif dalam mengurangi symptom daripada
hanya memberikan dukungan kepada pasien (Beck & Rector, 2005).
Beberapa penganut behavior telah mencoba untuk
menjelaskan symptom skizofrenik yang berkembang melalui operant conditioning
(See Belcher, 1988). Mereka menyarankan bahwa kebanyakan orang mempelajari
stimulus apa yang muncul dilingkungan social, seperti wajah orang lain atau apa
yang dikatakan orang lain, melalui pengalaman dimana mereka merasakan stimuli
ini dan diberi reward karena melakukannya. Orang dengan skizofren tidak
menerima pelatihan dasar mengenai stimulus social apa yang harus dihadapi dan
bagaimana cara meresponnnya, karena pola asuh yang tidak adekuat atau keadaan
yang tidak biasa yang ekstream. Akibatnya mereka menerima stimulus yang tidak relevan
dilingkungan dan tidak tau respon yang secara social diterima oleh orang lain.
Teori behavioral mengenai bagaimana skizofren tumbuh
belum diuji dengan baik atau diterima, tapi sangatlah jelas bahwa teknik
behavioral bisa membantu orang dengan skizofren mempelajari cara yang lebih
diterimasecara social adalah berinteraksi dengan orang lain (Belcher, 198:
Braginsky, Braginsky, & Ring, 1996), sebagai contoh jika anggota keluarga
memulai untuk menolak komentar aneh-aneh & perilaku dari apa yang mengidap skizofren,
yang mengidap skizofren secara bertahap akan mengurangi perilaku aneh dan
meningkatkan perilaku yang diterima secara social.
·
Cross-Cultural
Perspectives
Budaya sangat bervariasi mengenai penjelasan
skizofrenia (Anders, 2003: Karno & Jenkins, 2003). Kebanyakan budaya
memiliki penjelasan biologis untuk sebuah penyakit, termasuk ide umum bahwa hal
ini menurun dikeluarga. Bercampur dengan penjelasan biologis adalah teori-teori
yang mengaitkan penyakit dengan stress, kurangnya kesalehan spiritual dan
dinamika keluarga.
·
Biokimia
Factor-faktor
biokimia perlu ditelitikarena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah
factor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Penelitian saat ini mengkaji
beberpa neurotransmitter yang berbeda, seperti norepinefrin dan serotonin.
Salah satu factor yang diteliti paling baik adalah dopamine. Teori bahwa
skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter dopamine,
terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk
menangan skizofrenia menurunkan aktivitas dopamine. Kelebihan atau terlalu
sensitifnya reseptor dopamine, bukan kadar dopamine yang tinggi, merupakan
factor-faktor dalam skizofrenia. Penelitian mengenai cara kerja obat-obatan
antipsikotik menunjukkan bahwa reseptor dopamine lebih mungkin merupakan pusat
gangguan tersebut daripada kadar dopamine itu sendiri. Beberapa studi terhadap
otak pasien skizofren pascakematian serta hasil pemindahan PET para pasien
skizofrenia, mengungkap bahwa reseptor dopamine lebih besar jumlahnya atau
hipersensitif pada beberapa orang penderita skizofrenia. Memiliki terlalu
banyak reseptor secara fungsional akan sama dengan memiliki terlalu banyak
dopamine itu sendiri. Penyebabnya adalah bila dopamine (atau neurotransmitter apapun)
dilepaskan kedalam sinaps, hanya beberapa diantaranya, yang secara actual
berinteraksi dengan reseptor memberikan kesempatan yang lebih besar dari
dopamine yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.
Kelebihan
aktivitas dopamine yang diduga paling relevan dengan skizofrenia terdapat
dijalur mesolimbik (jalur mesokortikal berawal di bagian ventral tegmental dan
menjulur ke korteks prefrontalis. Jalur mesolimbik jga berawal dibagian ventral
tegmental, namun menjulur ke hipotalamus, amigdala, hipkampus, dan nucleus
akumbens) dan efek teurapetik obat-obat antipsikotik terhadap symptom-simptom
positif terjadi dengan cara menghambat berbagai reseptor dopamine dalam system
saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitas.
Jalur
mesokortikal merupakan system dopamine lainnya. Berawal dari daerah otak yang
sama dengan jalur mesolimbik, namun menjulr ke korteks prefontalis. Korteks
prefrontalis juga menjulur kedaerah limbic vang dipenuhi neuron dopamine.
Neuron dopamine dalam kotretks prefrontalis dapat menjadi kurang aktif sehingga
gagal melakukan control untuk menghambat neuron dopamine dalam daerah limbic,
dan mengakibatkan aktivitas yang berlebihan didalam system dopamine mesolimbik.
Karena korteks prefrontalis diduga sangat relevan dengan symptom-simptom negative
skizofrenia, rendahnya aktivitas dopamine dalam daerah otak tersebut juga dapat
menjadi penyebab symptom-simptom negative skizofren. Teori ini memiliki
keuntungan yaitu memungkinkan terjadinya symptom-simptom negative dan positive
secara simultan terhadap pada pasien skizofrenia. Lebih jauh lagi karena
obat-obat antipsikotik tidak berpengaruh besar pada neuron dopamine didalam
korteks prefrontalis.
Obat-obatan
terbaru yang digunakan untuk menangai skizofrenia mengimplikasi
neurotransmitter lain seperti serotonin. Neuron dopamine secara umum mengubah system
saraf lain. Glutamat, suatu transmitter yana tersebar luas dalam otak manusia
juga dapat memegang peranan (Carlsson dkk., 1999). Kadar glutamate yang rendah
ditemukan dalam cairan serebrospinal para pasien skizofrenia (Faustman dkk,
1999), dan studi pascakematian mengungkap rendahnya kadar enzim yang diperlukan
untuk menghasilkan glutamate. Penurunan pemasukan glutamate dari korteks
prefrontalis atau hipokampus ke korpus striatum dapat mengakibatkan peningkatan
aktivitas dopamine. Skizofrenia merupakan gangguan dengan symptom-simptom yang
luas mencakup persepsi, kognisi, aktivitas motorik, dan perilaku social. Tidak
mungkin bila satu neurotransmitter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu.
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofren
merupakan salah satu sumber bukti. Adanya abnormalitas pada daerah otak pasien
skizofren yaitu peebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa
sel otak, adanya abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbic,
seperti hpokampus dan basal ganglia dan pada korteks prefrontalis dan temporal
(Dwork, 1997;Heckers, 1997). Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam
perilaku berbicara, pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan, yang
semuanya mengalami gangguan pada skizofrenia. Berbagai studi menunjukkan
berkurangnya daerah abu-abu dalam korteks prefrontalis (Buchanan dkk., 1998)
tetapi jumlah neuron didalam daerah-daerah tersebut tidak berkurang, sesuatu
yang hilang pada daerah tersebut adalah spinal dendritik yaitu batang kecil
pada batang dendrite dimana impuls-impuls saraf diterima dari neuron lain.
Hilangnya spinal-spinal tersebut berarti kominikasi antara neuron-neuron akan
terganggu mengakibatka kondisi yang diistilahkan oleh beberapa oranh sebagai
“sindrom diskoneksi”. Salah satu kemingkinan akibat kegagalan berbagai system
neural untuk saling berkomunikasi dapat berupa disorganisasi pembicaraan dan
behavioral yang terjadi pada skizofrenia.
·
Perspektif
genetic
Diduga
faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnyaskizofrenia. Walaupun
demikian, terbukti dari penelitian bahwaskizofrenia tidak diturunkan secara
hukum Mendeell (jika orang tuaskizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia
juga). Dari penelitiandidapatkan prevalensi sebagai berikut:
· populasi
umum 1%
· Saudara
Kandung 8%-10%
· Anak
dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
· Kembar
2 telur (dizigot) 12%-15%
· Anak
dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40
· Kembar
monozigot 47%-50%
Sampai
saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebabskizopfrenia. Namun
demikian peneliti-peneliti meyakini bahwainteraksi antara genetika dan
lingkungan yang menyebabkanskizofrenia. Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari
genetika yangdapat menyebabkan skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif,
2006)mengakui bahwa skizofrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika
lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yangterbuka maka
sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan
mendukung seseorang bersikap asosial maka penyakit skizofrenia menemukan lahan
suburnya.
Predisposisi Genetika. Meskipun genetika merupakan
faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang
diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus
pada kromosom 6,13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini
ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, keduaorang tua
terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandungterjangkit resiko 8%-10%,
kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang
terkena resiko 47%- 50%. Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan,
1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan
derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan
skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman,
bibi, kakek /nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum.
Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar
dizigotik 12%. Anak dan kedua orangtua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu
orang tua 12 %.
·
Sosial
perspektif
Hubungan antara kelas social
dan sizofrenia tidak menunjukan tingkat kejadian
skizofrenia yang semakin
tinggi seiring semakin rendahnya kelas social. Namun, terdapat perbedaan yang
sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas social
terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas social lain.
Korelasi antara skizofrenia dan kelas social rendah
adalah teori seleksi-sosial , yang membalikan arah kausalitas antara kelas
social dan skizofrenia. Orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret
kedalam wilayah koya yang miskin. Berbagai masaalah kognitif dan motivasional
yang sangat berkembang yang membebani pada individu tersebut dapat sangat
melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan sehingga mereka tidak
mampu tinggal diwilayah lain, atau mereka memilih untuk pindah kewilayah dimana
mereka hanya menghadapi sedikit tekanan social dan dimana mereka dapat
melarikan diri dari hubngan social yang mendalam.
IV.
Penanganan
Obat-obatan antipsikotk, terutama fenothiazin, telah
digunakan secara luas untuk menangani skizofrenia sejak tahun 1950-an. Berbagai
obat terbaru seperti klozapin dan respiredon juga efektif dan menimbulkan efek
samping yang lebih sedikit. Meskipun demikian, pemberian obat-obatan saja bukan
merupakan penanganan yang sepenuhnya efektif karena para pasien yang menderita
skizofrenia perlu diajari ulang berbagai cara untuk menghadapi tantangan
hidupnya sehari-hari.
Ada beberapa terapi dan penananganan yang digunakan
dalam skizofrenia, diantaranya:
1.
Terapi keluarga
dan mengurangi ekspresi emosi.
Terapi ini memiliki tujuan untuk meredakan
segala sesuatu bagi pasien dengan cara meredakan segala sesuatu bagi keluarga.
Edukasi tentang skizofrenia, terutama kerentanan biologis yang meredisposisi
terhadap penyakit tersebu, berbagai masalah kognitif yang melekat dengan
skizofrenia, symptom-simptomnya dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan antipsikoti.
Menghindari saling menyalahkan—terutama, mendorong keluarga untuk tidak
menyalahkan diri sendiri maupun pasien atsa penyakit tersebut dan atas semua kesulitan
yang dialami seluruh keluarga dalam menghadapi penyakit tersebut. Memperbaiki
kounikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
2.
Terapi personal
Terapi ini merupakan suatu pendekatan
kognitif behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang
dialami paa pasien sizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi
individualistic ini dilakukan secara satuper satu maupun dalam kelompok kecil.
Satu elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam enelitian EE
bahwa penurunan reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat
kekambuhan setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana
afek yang tidak sesuai. Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda
kekambuhan meskipun kecil seperti penarikan diri dari kehidupan social
intimidasi yang tidak pantas kepada orang lain. Terapi ini mencakup terapi
perilau social emotif untuk membantu pasien mencegah berbagai frustrasi dan
tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu bencana dan
dengan demikian membantu mereka menurunkan kadar stress.
3.
Pelatihan
keterampilan social
Pelatihan
keterampilan social dirancang untuk mengajari penderita skizofrenia bagaimana
dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang sangat beragam—antara
lain membahas mengenai pengobatan mereka dengan psikiater, belajar melakukan
wawancara kerja, memesan makanan di restoran, mengatakan tidak pada tawaran
membeli obat dipinggir jalan, dll. Pada terapi ini, terapis mendorong pasien
untuk memberikan respon, member komentar yang membantu upaya mereka, jika
perlu, terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas sehigga pasien dapat
mengamati kemudian mencoba menirunya.
V.
Kasus
Anik adalah
seorang perempuan jawa yang berumur 29 tahun yang lahir didaerah terbelakang
namun telah tinggal dikota Yogyakarta selama 4 tahun terakhir, dia telah
menikah selama 1 ½ tahun, tetapi pernikahannya tidak bahagia, ia
merasa suaminya kurang terbuka. Anik mempunyai anak perempuan yang berumur 8
bulan,tetapi tidak dapat mengurusnya selama beberapa bulan terakhir sehingga
anaknya tinggal di Jakarta bersama bibi Anik. Ketika penyakitnya mulai muncul
Anik pada awalnya menarik diridan tidak tidur ataupun makan , dia menumbuhkan
halusinasi mengenai suara-suara yang mengkritik suaminya, keluarganya dan ibu kosnya. Anik juga
menderita kecemburuan delusional bahwa suaminya berselingkuh dan diapun dibawa
kerumah sakit. Symptom yang terjadi pada Anik yaitu mondar mandir atau
berkeliling tanpa tujuan, mengamuk, mudah tersinggung, curigaan, berbicara pada
dirinya sendiri, menangis, insomnia melamun dan mudah berubah emosinya. Saudara
iparnya melaporkan bahwa ia seringmerasa ketakutan dan tersinggung untuk
beberapa waktu, ia sering membanting pintu, berteriak dan ketika diajak
berbicara tidak sesuai dengan arah pembicaraan, perilakunya aneh. Anik
memmpunyai penjelasan terhadap perilakunya, satu dan yang palin penting dia
percaya bahwa ini karena pernikahannya yang buruk dan stress karena hal
tersebut adalah factor yang berkontribusi. Sesaat sebeum simptomnya mulai, ibu
kosannya berkata sesuatu yang kasar kepadanya dan Anik percaya bahwa reaksinya
terhadap goncangan tersebut membuatnya sakit hati. Sebagai tambahan ibu Anik
mengalami periode ketika masa kanak-kanaknya dimana Anik menjadi lepas kendali,
menjadi berisik, kasar dan Anik percaya bahwa ia menurunkan tendensi tersebut
dari ibunya. Anik berinisiatif untuk mengurangi simptomnya dengan meningkatkan
frekuensi bersembahyangnya dan meminta untuk dibawa ke pesantren. Suautu ketika
dia dibawa ke rumah sakit dan ia setuju untuk meminum obat atau psikotik yang
membantu mengurangi simptomnya. Hal ini berlanjut hingga tahun-tahun
berikutnya.
Dari ilustrasi pengalaman Anik tersebut, ia menjalin
kepercayaan tradisional dan mengaplikasikan konsep orang dengan skizofrenia dan
terapi biologi modern. Meskipun ia menyetujui untuk menggunakan obat psikotik,
ia percaya keluarga dan simptomnya bukan salah satu dasar biological tapi akar
dari kecemasannya tentang stress dan beberapa hal yang ditahan olehnya dan
agamanya.
Sumber :
·
Abnormal
Psychology fourth edition, Mc GRAW HILL international edition, Susan Nolen
Hoeksema
·
Abnormal
Psychology nine edition,Gerald C Davvison, John M Neale, ANN M.Kring
·
DSM IV