Normalnya anak usia 3-4 tahun sudah mulai tertarik
dengan aktivitas bersosialisasi, bermain bersama teman sebayanya. Namun,
di kota-kota besar salah satunya Jakarta, dengan tingkat sosial ekonomi
yang semakin tinggi dan kedua orangtua yang bekerja, banyak orangtua
yang tak ingin anaknya bermain keluar rumah, dengan alasan keamanan.
Tanpa menyadari, banyak orangtua justru seperti mengarahkan anaknya
untuk diam di rumah saja dengan pengasuhnya. Jika pun tidak dengan
pengasuhnya, di rumah disediakan sedemikian rupa alat bermain, salah
satunya video game/ PS. Karenanya video game menjadi mainan yang paling
memberi daya tarik bagi si anak. Ketertarikan anak pada tv game bisa
karena faktor pergaulan juga. Seperti teman-teman sekolahnya bercerita
bahwa mereka telah memainkannya, atau karena ia pernah diajak bermain.
Karenanya tak heran saat mereka punya sendiri dan menemukan keasyikan
memainkannya dibanding dengan mainan lain, maka tv game ini jadi pilihan
yang paling ditunggu anak setiap hari.
Kalau sudah begini tak heran jika anak mulai keranjingan. Biasanya,
orangtua terlambat menyadari bahwa anaknya sudah begitu “keranjingan”
konsol game ini. Orangtua pun tidak sejak awal menetapkan aturan bermain
konsol ini. Umumnya cukup banyak juga orangtua yang mengalah karena
rengekan anak yang memaksa bermain. Di sisi lain, ada orangtua yang
merasa ‘aman’ membiarkan anaknya bermain konsol permainan itu karena
melihat mereka asyik dan anteng saat sedang memainkannya.
Dapat Mempengaruhi Aspek Afeksi
Apakah anak yang ‘kecanduan’ game tak bisa bersosialisasi dengan anak
lain? Anak yang ‘kecanduan’ game tetap bersosialisasi, karena kadang
ada yang kerap bermain bersama temannya. Tapi tetap saja fokus
perhatiannya pada konten games yang ada di konsol. Bukan pada interaksi
dengan temannya.
Terkait aspek sosial, bermain konsol game tentu mengurangi kesempatan
anak mengembangkan keterampilan sosialnya. Begitu juga dengan aspek
kognisi. Konsol game ini tidak sepenuhnya signifikan melatih sisi
kognisi anak. Hanya ketika anak mulai terfiksasi (tertarik sangat kuat)
dengan satu konten yang sama seperti peperangan atau perkelahian
misalnya, maka hal-hal yang terkait dengan konten itulah yang akan
menjadi perhatiannya. Efek konsol game lebih terkait erat dengan aspek
afeksi anak. Jika konten game lebih banyak memuat agresivitas, tanpa
disadari oleh orangtua, anak-anak sebenarnya sedang belajar bagaimana
mengadopsi agresivitas itu menjadi bagian dari perilakunya.
Hal ini umumnya ditemukan pada anak-anak yang mulai melawan
orangtuanya ketika dilarang bermain konsol. Meski orangtua menganggap
perlawanan anak sebagai respon yang wajar, orangtua harus lebih jeli
membedakan mana respon yang wajar atau bukan.
Antisipasi
Jika sudah lebih jeli, orangtua bisa mengubahnya dengan melakukan
langkah-langkah yang tepat. Di rentang usia 3-5 tahun, anak sebenarnya
memiliki keingintahuan dan ketertarikan yang besar terhadap
lingkungannya. Oleh karena itu, orangtua harus mulai memerhatikan berapa
banyak waktu yang digunakan anak setiap harinya dalam bermain konsol
game.
Jika dirasa telah melewati toleransi waktu yang diberikan, orangtua
harus mulai memberlakukan aturan konsisten untuk penggunaannya.
Toleransinya, tidak dimainkan setiap hari dan sepanjang waktu (dari pagi
sampai siang/ siang sampai sore). Jangka waktu yang baik untuk menonton
televisi saja adalah 2 jam sehari. Apalagi bermain konsol game. Pada
dasarnya anak – anak usia 3-5 tahun sudah mulai bisa diajarkan tentang
aturan dan disiplin, meski kontrolnya masih harus dari pihak eksternal,
misalnya, dari Ayah, Ibu, atau orang dewasa lainnya yang ada di rumah.
Jika orangtua ingin menghentikan kebiasaan bermain konsol game, ada
baiknya untuk penghentian drastis dibanding dengan penghentian bertahap.
Antisipasi ini memiliki keuntungan dan kerugian. Penghentian bertahap
memberi peluang lebih besar untuk memperlama ikatan anak dengan konsol
game dan memberi waktu bagi mereka untuk mencari alasan dan strategi
agar bisa tetap diizinkan bermain. Sedangkan untuk penghentian secara
drastis memang akan menghasilkan perlawanan luar biasa dari anak.
Sebelum melakukannya, sampaikan pada anak tentang rencana penarikan
konsolnya. Katakan, misalnya,” Nak, mamah sedih lihat kamu terlambat
makan/ tidur terlalu malam karena asyik main itu. Mamah juga sedih
karena kamu tidak mendengar kata-kata Mamah selagi kamu asyik main”.
Lakukan pembicaraan seperti itu di waktu santai, saat dia sedang tak
bermain PS. Lalu lihat bagaimana reaksinya.
Jika anak menyanggupi dan ‘berjanji’ mengurangi tapi tetap minta izin
bermain, beri kesempatan ia untuk membuktikan janjinya. Jangan lupa
tekankan padanya, jika janjinya dilanggar konsekuensinya adalah
penarikan konsol. Pastikan bahwa konsekuensi ini dilakukan secara tegas
dan konsisten. Sebagai alternatif penggantinya, carikan kegiatan atau
permainan yang lebih memiliki nilai edukatif. Masukkan anak ke kursus
bakat dan minat, atau fisik, seperti klub sepakbola atau beladiri, dan
lainnya.