Riekha Pricilia

Perempuan, 21 Tahun

Riau, Indonesia

Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. <div style='background-color: none transparent;'></div>
::
PLAY
Faceblog-Riekha
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Sabtu, 05 Mei 2012

Pengaruh Game Buat Anak Kita

Normalnya anak usia 3-4 tahun sudah mulai tertarik dengan aktivitas bersosialisasi, bermain bersama teman sebayanya. Namun, di kota-kota besar salah satunya Jakarta, dengan tingkat sosial ekonomi yang semakin tinggi dan kedua orangtua yang bekerja, banyak orangtua yang tak ingin anaknya bermain keluar rumah, dengan alasan keamanan. Tanpa menyadari, banyak orangtua justru seperti mengarahkan anaknya untuk diam di rumah saja dengan pengasuhnya. Jika pun tidak dengan pengasuhnya, di rumah disediakan sedemikian rupa alat bermain, salah satunya video game/ PS. Karenanya video game menjadi mainan yang paling memberi daya tarik bagi si anak. Ketertarikan anak pada tv game bisa karena faktor pergaulan juga. Seperti teman-teman sekolahnya bercerita bahwa mereka telah memainkannya, atau karena ia pernah diajak bermain. Karenanya tak heran saat mereka punya sendiri dan menemukan keasyikan memainkannya dibanding dengan mainan lain, maka tv game ini jadi pilihan yang paling ditunggu anak setiap hari. Kalau sudah begini tak heran jika anak mulai keranjingan. Biasanya, orangtua terlambat menyadari bahwa anaknya sudah begitu “keranjingan” konsol game ini. Orangtua pun tidak sejak awal menetapkan aturan bermain konsol ini. Umumnya cukup banyak juga orangtua yang mengalah karena rengekan anak yang memaksa bermain. Di sisi lain, ada orangtua yang merasa ‘aman’ membiarkan anaknya bermain konsol permainan itu karena melihat mereka asyik dan anteng saat sedang memainkannya.
Dapat Mempengaruhi Aspek Afeksi
Apakah anak yang ‘kecanduan’ game tak bisa bersosialisasi dengan anak lain? Anak yang ‘kecanduan’ game tetap bersosialisasi, karena kadang ada yang kerap bermain bersama temannya. Tapi tetap saja fokus perhatiannya pada konten games yang ada di konsol. Bukan pada interaksi dengan temannya.
Terkait aspek sosial, bermain konsol game tentu mengurangi kesempatan anak mengembangkan keterampilan sosialnya. Begitu juga dengan aspek kognisi. Konsol game ini tidak sepenuhnya signifikan melatih sisi kognisi anak. Hanya ketika anak mulai terfiksasi (tertarik sangat kuat) dengan satu konten yang sama seperti peperangan atau perkelahian misalnya, maka hal-hal yang terkait dengan konten itulah yang akan menjadi perhatiannya. Efek konsol game lebih terkait erat dengan aspek afeksi anak. Jika konten game lebih banyak memuat agresivitas, tanpa disadari oleh orangtua, anak-anak sebenarnya sedang belajar bagaimana mengadopsi agresivitas itu menjadi bagian dari perilakunya.
Hal ini umumnya ditemukan pada anak-anak yang mulai melawan orangtuanya ketika dilarang bermain konsol. Meski orangtua menganggap perlawanan anak sebagai respon yang wajar, orangtua harus lebih jeli membedakan mana respon yang wajar atau bukan.
Antisipasi
Jika sudah lebih jeli, orangtua bisa mengubahnya dengan melakukan langkah-langkah yang tepat. Di rentang usia 3-5 tahun, anak sebenarnya memiliki keingintahuan dan ketertarikan yang besar terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, orangtua harus mulai memerhatikan berapa banyak waktu yang digunakan anak setiap harinya dalam bermain konsol game.
Jika dirasa telah melewati toleransi waktu yang diberikan, orangtua harus mulai memberlakukan aturan konsisten untuk penggunaannya. Toleransinya, tidak dimainkan setiap hari dan sepanjang waktu (dari pagi sampai siang/ siang sampai sore). Jangka waktu yang baik untuk menonton televisi saja adalah 2 jam sehari. Apalagi bermain konsol game. Pada dasarnya anak – anak usia 3-5 tahun sudah mulai bisa diajarkan tentang aturan dan disiplin, meski kontrolnya masih harus dari pihak eksternal, misalnya, dari Ayah, Ibu, atau orang dewasa lainnya yang ada di rumah.
Jika orangtua ingin menghentikan kebiasaan bermain konsol game, ada baiknya untuk penghentian drastis dibanding dengan penghentian bertahap. Antisipasi ini memiliki keuntungan dan kerugian. Penghentian bertahap memberi peluang lebih besar untuk memperlama ikatan anak dengan konsol game dan memberi waktu bagi mereka untuk mencari alasan dan strategi agar bisa tetap diizinkan bermain. Sedangkan untuk penghentian secara drastis memang akan menghasilkan perlawanan luar biasa dari anak. Sebelum melakukannya, sampaikan pada anak tentang rencana penarikan konsolnya. Katakan, misalnya,” Nak, mamah sedih lihat kamu terlambat makan/ tidur terlalu malam karena asyik main itu. Mamah juga sedih karena kamu tidak mendengar kata-kata Mamah selagi kamu asyik main”. Lakukan pembicaraan seperti itu di waktu santai, saat dia sedang tak bermain PS. Lalu lihat bagaimana reaksinya.
Jika anak menyanggupi dan ‘berjanji’ mengurangi tapi tetap minta izin bermain, beri kesempatan ia untuk membuktikan janjinya. Jangan lupa tekankan padanya, jika janjinya dilanggar konsekuensinya adalah penarikan konsol. Pastikan bahwa konsekuensi ini dilakukan secara tegas dan konsisten. Sebagai alternatif penggantinya, carikan kegiatan atau permainan yang lebih memiliki nilai edukatif. Masukkan anak ke kursus bakat dan minat, atau fisik, seperti klub sepakbola atau beladiri, dan lainnya.