Riekha Pricilia

Perempuan, 21 Tahun

Riau, Indonesia

Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. <div style='background-color: none transparent;'></div>
::
PLAY
Faceblog-Riekha
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Sabtu, 12 Januari 2013

Psykologi Agama Beserta Teorinya

Teori Tentang Sumber Jiwa Keagamaan Apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Menjawab pertanyaan ini, kita bahas menurut teori- teori dibawah ini. A. Menurut Teori Monistik Menurut teori monistik, yang meenjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berasal dari satu sumber kejiwaan. Sumber tunggal manakah yang paling dominan sebagai sumber jiwa kjiwaan itu? Terhadap sumber kejiwaan yang dominan itu, dikalangan ahli terjadi perbedaan pendapat: 1. Menurut Thomas van Aquiono Yang menjadi dasar kejiwaan agama ialah: Berfikir. Manusia bertuhan karenamanusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. 2. Menurut Frederick Hegel Agama adalah suatu pengalaman yang sungguh-sungguh benar dan tepat kebenaran abadi. Berdasarkankonsep itu maka agama semata-mata merupakan hal-hal atau peroalan yang berhubungan dengan pikiran. 3. Menurut Frederick Schleimacher Yang menjadi sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak. Dengan adanya rasa ketergantugan yang mutlak itu manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan itu menyebabkan manusia selalu menggantungkan hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Dari rasa ketergantungan itulah timbul konsep tentang Tuhan. Rasa tidak berdaya untuk menghilangkan tentangan alam yang selalu dialaminya, lalu timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Itulah realitas dari upacara keagamaan. 4. Menurut Rudolf Otto Sumber jiwa agama adalah rasa kagum yang berasal dari The Whaly Other (yang sama seklai lain), jika seseorang dipengaruhi oleh rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu oleh Otto disebut “Numinous”. Perasaan itulah menurut R. Otto sebagai sumber dari kejiwaan agama manusia. 5. Menurut Sigmund Freud Unsur kejiwaan yang menjadi sumber keiwaan agama adalah lidido sexual (naluri seksual). Berdasarkan lidibo ini timbulah ide tentang Tuhan dan upacara keagamaan, melalui proses: a. Oedipus Complex, yaitu mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipus membunuh ayahnya. Setelah ayahnya mati timbullah rasa bersalah pada diri sendiri. b. Father Image (cinta bapak): setelah membunuh bapaknya Oedipus dihantui rada bersalah, lalu timbul rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan manusia yang mereka lakukan, mereka memuja alasannya karena dari pemujaan itulah menurut Freud sebagai asal dari upacara keagamaan. Jadi agama muncul dari ilusi manusia. 6. Menurut William Mc Dougall Menurutnya, tidak ada insting khusus sebagai “sumber jiwa keagamaan”, tetapi dari 14 insting yang ada pada diri manusia, maka agama timbul dari dorongan insting tersebut secara terintegrasi. B. Menurut Teori Fakulti / Faculty Theori Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi oleh 3 fungsi, yaitu: 1. Fungsi Cipta, yaitu fungsi intelektual manusia. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan serta selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu, termasuk dalam aspek agama. 2. Fungsi Rasa, yaitu suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentukmotivasi dalam corak tingkah laku seseorang.melalui fungsi rasa dapat menimbulkan penghayatan dalam kehidupan beragama yang selanjutnya akan memberi makna pada kehidupan beragama. 3. Karsa itu merupakan fungsi ekslusif dalam jiwa manusia. Karsa berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Kesimpulan: ü Cipta, berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelektual seseorang. ü Rasa, menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama. ü Karsa, menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis. Diantara ahli yang tergolong kepada teori Fakulti: a. G.M. Straton Menurut Straton, yang menjadi sumber jiwa keagamaan adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Konflik itu disebabkan oleh keadaan-keadaan yang berlawanan seperti: baik-buruk, moral-imoral, kepastian-kepasipan, rasa rendah diri-rasa harga diri. Dikotomi-dikotomi itu (serba dua) termasuk yang menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Hal ini dikarenakan jika konflik itu sudah begitu mencekam manusia dan mempengaruhi kejiwaannya, maka manusia akan mencari pertolongan kepada kekuasaan Tuhan. b. W.H. Clark Berdasarkan pendapat Freud tentang keinginan dasar manusia, yaitu: o Life-urge: keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut. o Death-urge: keinginan untuk kembali kekeadaan semua sebagai benda mati. Jadi menurut Clark, ekspresi dari pertentangan antara Death-urge dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia. c. Dzakiah Darajat Menurut Dzakiyah, manusia memiliki 6 kebutuhan: 1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang. 2. Kebutuhan akan rasa aman. 3. Kebutuhan akan harga diri. 4. Kebutuhan akan rasa bebas 5. Kebutuhan akan rasa sukses 6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu Jadi menurut Dzakiyah, gabungan dari ke-6 kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama, karena melalui agama kebutuhan tersebut dapat disalurkan. d. W.H Thomas Yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar dalam jiwa manusia, yaitu: 1. Keinginan untk keselamatan 2. Keinginan untuk mendapat penghargaan 3. Keinginan untuk ditanggapi. 4. Keinginan untuk pengetahuan atau pengalaman baru. Didasarkan pada keempat macam keinginan dasar agama. Melalui ajaran agama yang teratur, maka keempat keinginan keinginan dasar itu akan tersalurkan (sumber: Psikologi Agama, Prof. Dr H. Jalaluddin. Jakarta: Grafindo Persada. 2002) ebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Bedasarkan hasil riset dan observasi mereka mengambil kesimpulan bahwa keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati. Manusia ingin mengabdikan dirinya kepada tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat dari yang paling primitif hingga yang paling modern. Apakah yang menjadi sumber jiwa keagamaan itu ? untuk memberikan jawaban itu, timbul beberapa teori, diantaranya : 1. Teori monistik (mono = satu) Teori ini berpendapat bahwa yang menjadi sumber jiwa beragama adalah satu sumber kejiwaan. a. Thomas van aquino Yang menjadi sumber jiwa agama ialah manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. b. Fredrick hegel Agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. c. Fredrick schleimacher Yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend) dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. d. Rudolf otto Sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain) e. Sigmund freud Unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah libido seksuel f. William mac dogall Ia berpendapat sumbr kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa insting . pada manusia terdapat 14 macam insting. 2. Teori fakulti (faculty theory) Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur : a. Cipta atau reason Merupakan fungsi intelektual jiwa manusi. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat terlebih-lebih dalam agama modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. b. Rasa atau emotion Fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja. Bahwa pengalaman beragama seseorang dipengaruhi oleh emosi. c. Karsa atau will Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan dokrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. 3. Beberapa pemuka teori fakulti a. G. M. Straton b. Zakiah darajat c. W.H. Thomas B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis, walaupun demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu : 1. Prinsip biologis Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah dalam segala gerak tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang dewasa disekelilingnya, dengan kata lain ia belum bisa berdiri sendiri. 2. Prinsip tanpa daya Anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurusi dirinya sendiri. 3. Prinsip eksplorasi Kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan perkembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Timbulnya agama pada anak Bebrapa teori mengenai pertumbuhan pada anak antara lain :
 1. Rasa ketergantungan / sense of depend Teori ini dikemukakan oleh Thomas, bahwa manusia dilahirkan kedunia memiliki 
4 keinginan. Yaitu : keinginan untuk perlindungan atau security, keinginan akan pengalaman baru / experience, keinginan untuk mendapatkan tanggapan / responce, keinginan untuk dikenal / recognation 2. Insting keagamaan 
3. Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting. Diantaranya insting keagamaan. Belu terlihat tindak keagamaan pada anak karena fungsi kejiwaan yang menopang belum sempurna. C. Perkembangan Agama pada Anak Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama pada anak-anak melalui beberapa fase atau tingkatan. Ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui 3 tingkatan yaitu : 1. The fairy tale stage (tingkat dongeng) Tingkat ini dimulai pada anak usia 3 sampai 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fatasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat intelektualnya. Yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 
2. The realistic stage (tingkat kenyataan) Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga keusia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan atau realitas. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep tuhan yang formalis. Pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yan nereka lihat dikelola oleh orang dewasa. 3. The individual stage (tingkat individu) Paada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan dengan usia mereka. 
Konsep keagamaan yang idealistis ini terbagi atas 3 golongan yaitu : 
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi 
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal atau perorangan 
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik D. Sifat-Sifat Agama pada Anak Sifat agama pada anak-anak tumbuh megikuti pola ideas konsep on outbrority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan agama. Ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas: 
1. Unreflective (tidak mendalam) Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ketuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap tuhan itu bersifat seperti manusia. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam mereka telah merasa puas denga keterangan yang masuk akal. 
2. Egosentris Anak memiliki akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya. Dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur maka kana tumbuh keraguan akan ego dalam dirinya itu. Semakin tumbuh semakin meningkat pula egoisnya. 3. Anthromorphis Pada umumnya konsep ketuhanan pada nak berasal dari pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan tuhan sama dengan manusia. Pekerjaan tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada ditempat yang gelap. Syurga terletak dilangit untuk tempat orang yang baik. Tuhan dapat melihat segala perbuatannya. Tuhan memiliki wajah seperti manusia. Telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tapi hanya minum embun. 
4. Perbalis dan ritualis Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat keagamaan, selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
 5. Imitatif Bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan salat misalnya, mereka laksanakan berdasarkan hasil melihat perbuatan dilingkungan, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif. Menurut penelitian Gillesfi dan young bahwa anak yang tidak dapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik keagamaan yang kekal.
 6. Rasa heran Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. E. Perkembangan Kejiwaan Beragama pada Remaja Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka agama pada para remaja turut dipengaruhi oleh perkembagan itu. Maksudnya : penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. perkembangan anak pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain : a. Pertumbuhan pikiran dan mental Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik. Sifat kritis terhadap agama mulai timbul selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya. Agama yanag ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh pada bagi para remaja untuk taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka. b. Perkembangan perasaan Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati pri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius. Sebaliknya remaja yang kurang pendidikan dan ceramah agama akan lebih mudah didominasi oleh dorongan seksual. c. Ketimbangan Sosial Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan sebagai proses penyesuaian diri. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis, dan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja seringkali menarik diri dari masyarakat, acuh tak acuh terhadap aktivitas agama, bahkan kadang menentang adat kebiasaan nilai-nilai yang dianut orang dewasa. F. Sikap dan Minat Remaja Terhadap Agama Sikap dan minat remaja terhaadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangatlah kecil. Hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhinya. Sikap remaja terhadap agama dapatlah kita bagi sebagi berikut : a. Percatya turut-turutan b. Percaya dengan kesadaran c. Semangat agama positif d. Semangat agama khurafat G. Konflik dan Keraguan Hasil analisis W. Starbuck menemukan timbulnya keraguan adalah faktor : 1. Kepribadian 2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama 3. Pernyataan kebutuhan manusia 4. Kebiasaan 5. Pendidikan 6. Percampuran antara agama dan mistik Konflik ada beberapa macam diantaranya: 1. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu 2. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama 3. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme 4. Konflik yang terjadi antara melepas kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk ilahi. 

A. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Dari mana timbulnya jiwa keagamaan pada anak? Timbulnya jiwa keagamaan pada anak: • Ada Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih melihat manusia dipandang dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya. • Ada pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan. Apakah fitrah beragama akan berkembang tanpa bimbingan? Tidak, hal ini sesuai dengan prinsip pertumbuhan “bahwa anak menjadi dewasa, termasuk dalam bidang agama memerlukan bimbingan”. Apa yang mendasari diperlukannya bimbingan untuk mengantarkan orang menjadi dewasa? 1. Prinsip biologis Anak dilahirkan dalam keadaan lemah, karena itu segala gerak dan tindak tanduknya memerlukan bimbingan dari orang-orang dewasa dilingkungannya. 2. Prinsip tanpa daya Anak yang baru dilahirkan pertumbuhan fisik dan psikisnya belum sempurna, karena itu anak selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. 3. Prinsip eksplorasi Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Misalnya: a) Jasmani baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. b) Akal dan fungsi-fungsi mental baru akan menjadi berfungsi dengan baik jika diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya (Jalaluddin, 2002:64) Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak: 1. Menurut Teori four wishes yang dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah “rasa ketergantungan (sense of defendnce)” Menurut teori ini, manusia dilahirkan keduania memiliki empat keinginan: • Security: keinginan untuk mendapatkan perlindungan • New experience: keinginan untuk mendapat pengalaman • Response: Keinginan untuk mendapatkan tanggapan • Recognition: keinginan untuk dikenal Kerjasama dalam rangka memenuhi keinginan-keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan, terutama orang-orang dewasa dalam lingkungannya itu maka terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. 
2. Instink keagamaan Pendapat ini dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi yang dilahirkan sudah memiliki instink, diantaranya instink keagamaan, namun instink ini pada saat bayi belum terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”. Pandangan Woodworth ini mendapat sanggahan dari sekelompok ahli dengan mengajukan argumentasi: • Jika anak sudah memiliki instink keagamaan, mengapa orang tidak terhayati secara ototmatis ketika mendengar azan berkumandang ? • Jika anak sudah memiliki instink keagaaman, megnapa terdapat perbedaan agama di dunia ini? Bukankah cara berenang itik dan cara burung membuat sarang yang didasari pada tingkahlaku instingtif akan sama caranya disetiap penjuru duia ini? (Jalaluddin. 2002:65-66) 3. Fitah keagamaan Pendapat ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi: “Setiap anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”. Fitrah dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap berikutnya. (Jalaluddin 2002:65, Sururin, 2004:48) Bagaimana proses timbulnya kepercayaan kepada Tuhan dalam diri anak? Menurut Zakiyyah Darajat, anak mulai mengenal Tuhan melalui proses: • Melalui bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada mulanya diterimanya secara acuh tak acuh. • Setelah itu karena melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak rasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan). • Rasa gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membaca dan mengulang kata Tuhan yang diucapkan oleh orang tuanya. • Dari proses itu, tanpa disadari anak lambat laun “pemikiran tentang Tuhan” masuk menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objek pengalaman agamis. Jadi pada awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak dikenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Pada tahap awal ini anak tidak mempunyai perhatian pada Tuhan, hal ini dikarenakan anak belum mempunyai pengalaman yang mempunyai pengalaman yang membawanya kesana (baik pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang menyusahkan). Perhatian anak pada Tuhan tumbuh dan dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu. Bagaimana pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan? Menurut Zakiyyah Darajat, pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan biasanya tidak menyenangkan, karena Tuhan merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Oleh sebab itu maka perhatian anak tentang Tuhan pada permulaannya merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Hal inilah yang menyebabkan anak sering bertanya tentang zat, tempat dan perbuatan Tuhan. Pertanyaan itu betujuan untuk mengurangi kegelisahannyaa. Lalu kemudian sesudah itu timbul keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya. Jadi, pemikiran tentang Tuhan adalah suatu pemikiran tentang kenyataan luar, sehingga hal itu disukai oleh anak. Namun untuk melanjutkan pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, anak harus menderita dan mendapatkan sedikit pengalaman pahit, sehingga akhirnya ia menerima pemikiran tentang Tuhan setelah diingkarinya (Zakiyah Darajat, 2003: 43-45). • Menurut Teori Freud, Tuhan bagi anak-anak tidak lain adalah orang tua yang diproyeksikan. Jadi Tuhan pertama anak adalah orang tuanya. Dari lingkungan yang penuh kasih sayang yang diciptakan oleh orang tua, maka lahirlah pengalaman keagamaan yang mendalam. B. Tahap Perkembangan Beragama pada Anak Sebagai makhluk Tuhan, potensi beragama sudah ada pada manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa: “Dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta”. Dalam konsep Islam dorongan ini dikenal dengan istilah “Hidayat al Diniyyah” yang berupa benih-benih keberagaman yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Potensi inilah yang menyebabkan manusia itu menjadi makhluk beragama. Apakah secara empiris manusia itu memiliki potensi beragama? Ya, ini dapat dibuktikan dari hasil kajian yang dilakukan: 
1. Edward B. Taylor (Kajian antropologi budaya) Dia menyebut potensi beragama itu dengan istilah “believe in spiritual being = kepercayaan kepada adi kodrati”. Dorongan ini merupakan kepercayaan/agama pada manusia. Menurut Taylor, kenyataan adanya “Believe in spiritual being“ ini ditemukan pada suatu kehidupan yang primitif. Karena kemampuan berfikirnya masih bersifat anthromorphistis, maka kepercayaan kepada adi kodrati itu diwujudkan dalam bentuk benda konkrit seperti patung dll. 2. Stanley Hal Dia menemukan adanya kecenderungan kepercayaan kepada adi kodrati itu dalam konsep “Totemisme” pada suku Indian. Totem ini pada suku Indian dianggap sebagai binatang yang dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur nenek moyang mereka. Binatang ini kemudian dianggap suci dan menjadi lambang ritual keagamaan suku tersebut. Kentalnya ketertarikan suku Indian kepada konsep totemisme ini menyebabkan: • Beberapa suku mengaitkan klan (suku) mereka dengan binatang ini. • Nama binatang totem sering diletakkan dibelakang dari masing-masing suku Sebagai sebuah potensi, lantas bagaimana perkembangan potensi beragama tersebut? Berdasarka hasil penelitian Ernst Harms Perkembangan beragama pada anak-anak melalui beberapa fase: 

1. Tingkat dongeng (the fairy tale stage, 3 – 6 tahun) • Konsep mengenai Tuhan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. • Anak menanggapi agama masih menggunakan konsep fantastic yang diliputi oleh dongeng-dongeng. • Perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajaran agamanya. • Cerita keagamaan akan menarik perhatiannya jika dikaitkan dengan masa kanak-kanaknya. • Pandangan teologis, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan. 2. Tingkat kepercayaan (the realistic stage) • Ide-ide anak tentang Tuhan telah tercermin dalam konsep-konsep yang realistic. • Ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. • Anak mulai tertarik dan senang pada lembaga keagamaan. • Pemikiran anak tentang Tuhan sebagai Bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. • Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan logika/akal. • Dalam padangan anak, Tuhan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semesta. 3. Tingkat Individu (the individual stage, usia remaja) Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan mosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualis ini dibagi kepada tiga golongan: a) Konsep Ketuhanan yang konvensional dan konservatif yang masih sebagian kecil dipengaruhi oleh fantasi. b) Konsep Ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal. c) Konsep Ketuhanan yang bersifat humanistic, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama (Jalaluddin, 2002: 66-67) Menurut Imam Bawani perkembangan agama pada masa anak-anak. Dibagi menjadi 4 bagian: 
1. Fase dalam kandungan • Pada fase ini perkembangan agama dimulai sejal Allah meniupkan ruh pada bayi, yaitu ketika perjanjian antara ruh manusia dengan Tuhan (al-A’raf ayat 172). 2. Fase bayi • Pada fase ini belum banyak diketahui perkembangan beragama, namun isyarat mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti anjuran mengazankan/mengiqomatkan ketika anak baru lahir. 
3. Fase anak-anak • Anak mengenal Tuhan melalui ucapan dan perilaku orang dewasa yang mengungkapkan rasa kagum pada Tuhan. • Anak mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran agama. • Tindakan keagamaan anak didasarkan pada peniruan 4. Fase anak prasekolah • Perkembangan keagamaan anak menunjukkan perkembangan yang semakin realistic (Sururin, 2004: 55-56) Menurut Zakiyyah Darajat, perkembangan perasaan anak pada Tuhan dapat dibedakan dalam 2 bagian: 1. Usia sebelum 7 tahun • Perasaan anak pada Tuhan adalah negative, yaitu takut, menentang dan ragu. • Pada usia ini anak berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedangkan gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya. • Dalam pandangan anak Tuhan bersembunyi (Tuhan tidak dapat dilihat) karena sikap Tuhan yang negatif, yaitu Tuhan punya niat jahat yang akan dilaksanakannya. • Kepercayaan anak tentang Tuhan, tempat dan bentuk Tuhan didorong oleh perasaan takut dan ingin merasa aman. 
2. Uisa 7 tahun keatas • Perasaan anak pada Tuhan adalah positif, yaitu: cinta dan hormat. • Hubungan dengan Tuhan dipenuhi oleh rasa percaya dan rasa aman. • Tidak terlihatnya Tuhan, tidak lagi menyebabkan anak-anak meenjadi takut/gelisah. • Anak dapat menerima pemikiran tentang Tuhan adalah dalam rangka untuk menenangkan jiwa dari pertanyaan-pertanyaan, tantangan-tantangan yang kadang tidak dapat dijawab oleh orang dewasa. • Pada usia ini anak cenderung menjauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan negative, seperti mematikan, menyakitkan, dan mendatangkan bencana. Jadi kebutuhan anak pada Tuhan tidak sebagai Tuhan yang sangat perkasa bagi alam, tetapi lebih sebagai seorang bapak yang baik dan menjadi teman baginya. • Kepercayaan anak pada Tuhan bukanlah merupakan suatu keyakinan, tetapi adalah sikap emosi dimana “Tuhan adalah pemuasan kebebutuhan si anak akan seorang pelindung”. • Sampai kira-kira usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhan adalah hubungan individual, yaitu: hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat yang dibayangkan dengan caranya sendiri. • Sembahyang bagi anak usia ini adalah untuk minta ampun atas kesalahannya atau untuk berterima kasih. • Pada usia ini anak tertarik melakukan aktivitas keagamaan di masjid karena ketertarikan pada pakaian seragam yang berwarna-warni. • Pada usia ini anak cenderung mengikuti pengajian jika teman-temannya juga ikut pengajian (Zakiyyah Darajat, 2003: 50-55) 

A. Pendahuluan Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata,


 yakni psikologi dan agama. Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, 1997: 77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al Din yang berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata agama terdiri dari "a"; tidak, "gama"; pergi yang berarti tetap di tempat atau diwarisi turun menurun (Jalaluddin, 2004: 12). Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah Darajat dikutip oleh Jalaluddin, 2004: 15). Dengan melihat pengertian psikologi dan agama dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari serta keadaan hidup pada umumnya. Untuk itu penulis akan mencoba memaparkan tentang, perkembangan jiwa keagamaan orang dewasa serta faktor-faktor yang. mempengaruhi perkembangan keagamaan tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Bagaiman perkembangan beragama pada orang dewasa? 2. Apa hambatan-hambatan dalam perkembangan serta kematangan beragama? C. Pembahasan 1. Perkembangan Beragama Pada Orang Dewasa Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang mermsukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya: a. Dapat menentukan pribadinya. b. Dapat rnenggariskan jalan hidupnya. c. Bertanggung jawab. d. Menghimpun norma-norma sendiri. Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian, yaitu: a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult). Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa, reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan, emosional, priode isolasi sosial, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun. b. Masa dewasa madya (middle adulthood). Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain; Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial. c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult). Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kenumpuan niotorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula dilihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain: a. Menerima kebenaran, agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan secara ikut-ikutan. b. Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. c. Bersikap positif thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pehaman agama. d. Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup. e. Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. f. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani. g. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. h. Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentigan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang. Sedangkan scara garis besar ciri-ciri keberagamaan orang yang sudah usia lanjut di antaranya: a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan. b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan. c. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh-sungguh. d. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat-sifat luhur. e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya. f. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat). 2. Hambatan-Hambatan dalam Perkembangan serta Kematangan Beragama Kematangan bergama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Perkembangan kegamaan seseorang untuk sampai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan proses yang panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau karena berbarengan dengan kematangan pribadinya. Sebagai hasil dari konversi, seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaannya hingga ia dewasa atau matang dalam beragama¬. Demikian halnya dengan perkembangan kepribadian seseorang, apabila telah sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan kematangan jasmani dan rohani. Pada saat inilah seseorang sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap dan kuat terhadap pandangan hidup atau agama yang harus dipeganginya. Kematangan atau kecenderungan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Dan pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan tersebut, di antaranya adalah: a. Faktor diri sendiri Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua yang menonjol diantaranya kepasitas diri dan pengalaman. 1) Kapasitas diri ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaan antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Sejarah menunjukkan bahwa makin banyak pengetahuan diperoleh, makin sedikit kepercayaan agama mengendalikan kehidupan. 2) Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi mereka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil. b. Faktor luar (lingkungan) Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dan apa yang telah ada. Faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Hal ini sebagai landasan membuat kebiasaan baru yang lebih stabil dan bisa dipertanggungjawabkan serta memiliki kedewasaan dalam beragama. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mangemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu: a) Faktor interen, tediri dari; • Temperament; tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. • Gangguan jiwa; orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. • Konflik dan keraguan; konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis. • Jauh dari tuhan; orang yang hidupyna jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat manghadapi musibah. Adapun ciri-ciri mereka yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut: • Pesimis Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima. Mereka menjadi tahan menderita dari segala penderitaan menyebabkan peningkatan ketaatannya. Penderitaan dan kenikmatan yang mereka terima, mereka percayai sepenuhnya sebagai azab dan rahmat dari Tuhan. Mereka cenderung lebih mawas diri dan terlibat dalam masalah pribadi masing-masing dalam mengamalkan ajaran agama. • Introvert Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap obyektif Segala mara bahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuatnya. Dengan demikian mereka berusaha untuk menebusnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pensucian diri. Cara bermeditasi kadang-kadang merupakan pilihan dalam memberi kenikmatan yang dapat dirasakan oleh jiwanya. • Menyenangi paham yang ortodoks Sebagai pengaruh sifat pesimis dan ontrovert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks. • Mengalami proses keagamaan secara nograduasi. Proses timbulnya keyakinan terhadap ajaran agama umumnya tidak berlangsung melalui prosedur yang biasa, yaitu dari tidak tahun dan kemudian mengamalkannya dalam bentuk amalan rutin yang wajar. Tindak keagamaan yang mereka lakukan didapat dari proses pendekatan, mungkin karena rasa berdosa, ataupun perubahan keyakinan maupun petunjuk Tuhan. Jadi timbulnya keyakinan beragama pada mereka ini berlangsung melalui proses pendadakan, perubahan yang tiba-tiba. b) Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah: • Musibah; sering kali musibah yang sangat serius dapat mengguncang seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaan. • Kejahatan; mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Seeing pula perasaan yang fitrah menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik. Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara, lain: • Optimisme dan gembira • Ekstrovert dan tidak mendalam • Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal. Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung: o Menyenangi teologi yang luas dan tidak kaku o Menunjukkan tingh laku keagamaan yang lebih bebas. o Menekankan cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa. o Memplopori pembedaan terhadap kepentingan agama secara sosial. o Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan. o Bersifat liberal dalam menafirkan pengertian ajaran agama. o Selalu berpandangan positif. o Berkembang secara graduasi. D. Kesimpulan Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung, dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi kepercayan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kesetabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang dewasa dalam beragama. Kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. 
1. Apa itu Kematian? Definisi kematian telah diperdebatkan selama berabad-abad, tergantung pada budaya, kondisi sosial, dan peran profesi medis. Dalam program ini, kita melihat bagaimana ide-ide telah berubah historis dan bagaimana definisi terbaru kami, seperti "kematian otak," mungkin belum memadai untuk mencakup semua makna kematian. 2. Orang Sekarat Ketika kita mengatakan bahwa kita sakit parah, kita didefinisikan, lebih dari sebelumnya, dengan batas-batas tubuh kita. Dalam program ini, kita bertemu tiga wanita - masing didiagnosis dengan bentuk kanker yang berbeda - yang menangani keterbatasan mereka dengan cara yang berbeda. Peran perawatan paliatif dipandang secara mendalam, serta bagaimana hubungan keluarga berubah di bawah tekanan dari diagnosis. 3. Menghadapi Kematian Bagaimana kita bisa mempersiapkan kematian? Dengan mempersiapkan, kita meningkatkan atau mengurangi hidup kita? Seorang pemain pensiun, seorang ahli epidemiologi kini menderita AIDS, seorang pengusaha muda, selamat Holocaust, dan seorang wartawan perang membahas bagaimana menghadapi kematian mereka sendiri dan kematian orang lain telah mempengaruhi - dan dalam beberapa kasus, berubah - hidup mereka. 4. The sekarat Pada abad terakhir, adegan drama sekarat telah pindah, secara keseluruhan, dari rumah ke rumah sakit. Namun, bahkan dikelilingi oleh teknologi, adegan ranjang kematiannya tetap emosional bagi mereka yang berpartisipasi. Kami bertemu seorang pemuda yang kehilangan ibunya untuk kanker, pasangan yang kehilangan lima tahun putri mereka, dan seorang janda muda yang menceritakan hari-hari tenang akhir pertempuran suaminya dengan leukemia. 5. Takut Death and Dying Meskipun perjuangan berabad-abad manusia sampai mati "menjinakkan", saat itu sendiri sering tetap menakutkan. Seorang pria didiagnosis dengan AIDS dan seorang wanita berurusan dengan kanker berulang membahas bagaimana rasa sakit fisik dan takut apa yang mungkin terjadi selanjutnya mempengaruhi pandangan mereka tentang masa depan. Pasangan yang lebih tua menjelaskan motif rasional, dan kesulitan emosional, di balik keputusan mereka untuk mempersiapkan "advance directive." 6. Sudden Death Masalah khusus muncul ketika kematian datang tanpa peringatan. Seorang wanita janda oleh pembicaraan pemboman Kota Oklahoma tentang bagaimana dia menangani berita tiba-tiba dan kehilangan suaminya. Sebuah paramedis ambulans membahas reaksi terhadap kematian dekat di antara orang-orang yang membantu. Seorang istri yang kehilangan suaminya untuk berbicara tentang bunuh diri yang berbeda dari kematian mendadak, di mana langkah-langkah yang berkepanjangan menyebabkan akhirnya dapat dilihat lebih jelas dalam retrospeksi. 7. Seorang Anak View of Death Anak-anak sering memahami bahwa kematian adalah sebuah negara berubah menjadi, tapi tidak bagaimana akhir itu. Antara usia tujuh dan sepuluh, pertanyaan mereka tentang kematian menjadi lebih sering dan rumit. Dalam program ini, kita melihat pemahaman anak-anak mengembangkan kematian serta kekhawatiran mereka tumbuh karena mereka bereaksi terhadap kehilangan orang tua atau saudara. Satu bagian dikhususkan untuk penderitaan khusus reaksi seorang remaja hingga tewas. 8. Duka dan Dukacita Pengaruh kesedihan dapat berlangsung seumur hidup seperti yang kita mencoba untuk menemukan keseimbangan antara mengatasi kerugian kami dan menjaga memori dari orang yang dicintai hidup. Dalam program ini, pertanyaan "Berapa lama kesedihan lalu?" panduan percakapan dengan dua setengah baya saudara yang ibunya baru saja meninggal, dengan anggota dari sebuah keluarga di mana anak bungsu dibunuh, dengan orang dewasa sebagai seorang anak yatim piatu, dan dengan seorang remaja yang kehilangan ibunya, dan sekarang mungkin kehilangan ayahnya dan saudara, untuk AIDS. 9. Kematian Ritual Untuk apa gelar yang keadaan individu membutuhkan adaptasi spontan upacara tradisional? Seorang menteri yang kehilangan adiknya dalam bencana udara Lockerbie, dan seorang ayah yang gagal menikah mempengaruhi perannya dalam pemakaman putranya, mendiskusikan kebutuhan mereka untuk beradaptasi ritual tradisional dengan keadaan mereka sendiri. Seorang pasien kanker merencanakan kariernya di muka dan veteran pada peringatan Vietnam memberikan perbandingan ritual swasta dan publik. 10. Kematian Baik Haruskah kita membantu orang mati, atau memaksa mereka untuk hidup? Apa yang merupakan kematian yang baik? Perspektif dari asli budaya Amerika Utara dan ahli etika medis perkotaan memberikan latar belakang seperti kita bertemu seorang wanita menghadapi kematian akibat kanker payudara dan keluarga muda dengan bayi sakit parah. Kesedihan khusus jangka panjang pengasuh dapat jatuh ke dalam juga dibahas seperti yang kita menemukan cara-cara yang sekarat dapat membantu untuk menyembuhkan hidup. Artinya Pembuatan dan Psikologi Positif Penerimaan Kematian Paul TP Wong Hidup adalah apa yang ada di antara kelahiran dan kematian. Apa yang membuat perjalanan ini begitu sulit adalah bahwa dari, bergerak sangat awal hidup tanpa henti menuju kematian seperti balap kereta tak terbendung menuju akhir menghancurkan. Tidak ada dalam hidup benar-benar dapat mempersiapkan kita untuk acara tak terelakkan dan tunggal kematian pribadi. Pikiran manusia tidak mampu memahami besarnya penuh dan kengerian menggigit debu setelah perjuangan seumur hidup untuk membuat hidup menyenangkan. Bagaimana bisa pikiran mempertahankan diri terhadap kemampuan sendiri untuk meramalkan kematian sendiri? Konfusius mengatakan: "Jika kita tidak tahu hidup, bagaimana kita bisa tahu kematian?" Tetapi Aku berkata: "Jika kita tidak tahu kematian, bagaimana kita bisa tahu hidup?" Kita bahkan tidak bisa mulai memahami makna hidup, sampai kita menatap kematian tanpa berkedip. Paradoksnya, kematian memegang kunci kehidupan. Kita tidak bisa benar-benar hidup tanpa kesadaran akhir tak terelakkan hidup. Bagaimana kita bisa hidup secara penuh dan vital, jika kita menghabiskan waktu hidup melarikan diri dari kematian? Dalam cara yang aneh, hidup ditentukan oleh kerapuhan dan keterbatasan, dan kematian memegang kunci untuk hidup otentik. Hanya orang bodoh hidup seolah-olah tidak ada hari esok. Hanya orang bodoh berpikir bahwa mereka dapat menghindari kecemasan kematian dengan membenamkan diri dalam mengejar kesenangan dan kesuksesan duniawi. Kematian adalah seperti lubang hitam tak terduga, mampu menghancurkan semua impian kita, prestasi, dan kebahagiaan. Tetapi pada saat yang sama, gagasan kematian bisa menyelamatkan banyak nyawa dengan menantang kita untuk mengisi kekosongan besar dengan menjalani hidup yang berarti. Tantangan bagi psikolog dan pendidik kematian adalah untuk menemukan jalur untuk penerimaan kematian. Esai ini berfokus pada pembuatan berarti sebagai cara yang menjanjikan untuk membebaskan kita dari teror kematian untuk aktualisasi diri. Teror Kematian Kematian tetap menjadi ancaman terbesar serta tantangan terbesar bagi umat manusia. Ini adalah peristiwa universal tunggal yang mempengaruhi kita semua dengan cara yang lebih dari yang kita mau tahu (Greenberg, Koole, & Pyszczynski, 2004; Wass & Neimeyer, 1990; Yalom, 2008). Karena kemampuan manusia yang unik makna keputusan dan konstruksi sosial, kematian telah berkembang menjadi sistem yang sangat kompleks dan dinamis, yang melibatkan biologis, psikologis, spiritual komponen, sosial dan budaya (Kastenbaum, 2000). Apapun makna yang kita lampirkan mati mungkin memiliki implikasi penting untuk baik keberadaan kita. Dengan demikian, pada tingkat pribadi, kematian sikap peduli: Kematian mendefinisikan makna pribadi dan menentukan bagaimana kita hidup (Neimeyer, 2005; Tomer, 2000; Tomer, Eliason, & Wong, 2008). Dari perspektif yang lebih besar, sikap kematian juga memainkan peran penting dalam keamanan nasional: Kematian pembom bunuh diri menantang telah mengubah lanskap geopolitik perang, dan kemenangan dalam perang melawan teror sebagian tergantung pada kemampuan kita untuk hidup dengan ancaman kematian dan kesediaan kita untuk menerima pengorbanan dalam membela kebebasan kita. Dalam era 9/11 pos, ancaman selalu ada serangan teroris telah disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif kita sifat tak terduga dari bahaya maut dan kehancuran massal. Dalam sebuah desa global kabel, sikap kematian kita lebih lanjut dipengaruhi oleh liputan berita 24 jam dari bencana alam dan laki-laki-yang dibuat di seluruh dunia, dari gempa bumi bencana untuk genosida, dari adegan mayat di jalan-jalan Haiti untuk gambar pembantaian di Irak dan Afghanistan. Kematian telah menginvasi ruang keluarga kita di rincian berdarah setiap hari. Penerimaan pasif kami dari liputan tak berujung pada pembantaian dan kekejaman mengkhianati hubungan cinta-benci dengan kematian - kita secara simultan ditolak oleh teror dan digoda oleh misteri. Daya tarik populer video game kekerasan dan film horor Hollywood menyediakan bukti lebih lanjut dari daya tarik morbid kami dengan kematian. Singkatnya, hubungan kita dengan kematian lebih rumit dari yang kita sadari, psikologi lengkap kematian perlu untuk bergerak melampaui teror dan penolakan untuk mempelajari hubungan multifaset kami dengan kematian. Perkembangan di atas juga menimbulkan pertanyaan tentang dampak over-paparan gambar dan pesan kematian. Apakah itu rasa mudah terpengaruh kita untuk teror kematian dan membuat kita lebih toleran kekerasan? Apakah itu meremehkan tragedi kemanusiaan pembunuhan tidak masuk akal? Apakah prevalensi gambar kematian menonjol melemahkan mekanisme pertahanan psikologis kita? Atau, apakah keakraban kita dengan Grim Reaper memudahkan bagi kita untuk menghadapi kematian kita sendiri? Apapun jawabannya, kematian telah pindah dari lemari gelap ke terang mencolok dari ruang publik. Mengangkat tabu mungkin telah membuka jalan bagi kematian untuk muncul sebagai subjek populer baik untuk penelitian psikologis dan pendidikan publik kematian. Dari Denial Kematian bagi Penerimaan Kematian Meskipun dampaknya meluas dan mendalam dan kekuatannya untuk melibatkan pikiran manusia sejak jaman dahulu, kematian tetap diselimuti misteri-realitas ditimbang, menyilaukan yang sekaligus meneror dan menggoda. Sepanjang sejarah, manusia telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang rumit melawan teror kematian baik di tingkat individu dan budaya. Kami sekarang memiliki literatur besar pada pengingkaran kematian dan manajemen teror (Pyszczynski, Greenberg, & Solomon, 2002). Profesi medis telah membuatnya menjadi misinya untuk menjaga kematian di teluk dan menyelamatkan nyawa. Ketika kematian terjadi, sering dipandang sebagai kegagalan obat atau dokter yang hadir. Sebuah keengganan menuju kematian juga membuat sulit bagi dokter untuk mengkomunikasikan "kabar buruk" untuk pasien dan anggota keluarga mereka dengan cara yang jujur dan peduli. Pada tingkat budaya, kematian juga membuat kehadirannya terasa di mana-mana dalam spektrum yang luas dari fungsi sosial, dari keluarga, agama hiburan, dan untuk perawatan medis (Kearl, 1989). Bagaimana kita berhubungan dengan kematian kita sendiri pada gilirannya dimediasi oleh keluarga, masyarakat dan budaya (Kastenbaum, 2000). Semua kegiatan manusia dibingkai oleh kecemasan kematian dan diwarnai oleh usaha kita kolektif dan individual untuk menyelesaikan ini eksistensial tak terhindarkan dan keras yang diberikan. Semua pertahanan kita berantakan, ketika kematian menyelinap pada kita, sering tak terduga. Kematian orang yang dicintai, kecelakaan fatal dekat, atau penyakit yang mengancam jiwa dapat menghentikan kita dalam lagu kami dan kanan dorong kematian di wajah kami. The keadaan pasien dengan penyakit terminal membawa ke fokus yang tajam isu penting tentang bagaimana menghadapi dan menerima kematian pribadi dengan keberanian, ketenangan dan harapan. Ketika seseorang menyerah pertempuran heroik namun sia-sia melawan kanker dan menerima hasil yang tak terelakkan dengan ketenangan? Pada tingkat pribadi, bagaimana kita bereaksi ketika kita menerima kabar buruk bahwa kanker telah mencapai tahap akhir. Sebagai survivor kanker, pertanyaan ini tidak pernah terlalu jauh dari pikiran saya. Singkatnya, kita tidak bisa hidup tanpa batas waktu dalam keadaan budaya dan psikologis yang disebabkan penolakan. Faktanya adalah bahwa kematian ada di sekitar kita, di atas kita, di bawah kita dan di dalam diri kita. Kematian adalah Anda dan kematian adalah saya. Kematian tertidur dalam setiap manusia. Kita semua perlu untuk menghadapi realitas mengganggu kematian pribadi, lebih cepat lebih baik. Ada banyak alasan untuk memulai eksplorasi ini penerimaan kematian. Pertama, kita tidak bisa hidup otentik dan bermakna tanpa merangkul kematian. Begitu banyak membuang-buang waktu, self-ditimbulkan penderitaan dan tragedi manusia terjadi karena keserakahan, iri hati, dan ambisi sesat. Kecanduan, depresi dan agresi juga dapat dikaitkan dengan upaya putus asa untuk melarikan diri berartinya dan kecemasan kematian. Oleh karena itu, kita semua perlu datang ke indera kita dan mempertimbangkan takdir kita. Untuk menjadi siap untuk kemungkinan ini memungkinkan kita untuk hidup bijaksana dan mati tanpa penyesalan. Kedua, ada budaya serta perbedaan individu dalam sikap kematian. Pemahaman kami tentang kematian yang baik dan jalur pilihan kami untuk penerimaan kematian dapat mempengaruhi bagaimana kita mengatasi berbagai end-of-masalah kehidupan. Ketiga, penelitian tentang kematian yang baik merupakan perbatasan baru dari gerakan psikologi positif saat ini. Saling ketergantungan antara hidup dan mati dengan baik membuat sebuah topik penting untuk memajukan studi ilmiah tentang kehidupan yang baik. Akhirnya, kita perlu belajar bagaimana berbicara tentang kematian dengan cara yang membebaskan, memanusiakan dan kehidupan-meningkatkan. Kami berharap bahwa melalui peningkatan pemahaman penerimaan kematian, kita dapat belajar untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan kasih sayang tidak hanya dalam konteks medis tetapi juga dalam interaksi sehari-hari. Yang Berbeda Makna Penerimaan Kematian Elisabeth Kuber-Ross (1969, 2009) sebagian besar bertanggung jawab untuk membuat kematian topik yang sah untuk penelitian dan obat-obatan. Her-tahap model mengatasi kematian (penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan) telah meninggalkan dampak abadi pada pemahaman kita tentang reaksi psikologis sampai mati. Dia telah mengidentifikasi beberapa mekanisme pertahanan (penolakan dan tawar-menawar), dan reaksi emosi negatif (marah dan depresi) yang terlibat dalam datang untuk berdamai dengan kenyataan kematian. Pada tahap akhir, penolakan, rasa takut dan permusuhan memberikan cara untuk merangkul akhir tak terelakkan. Konsep tahap berurutan nya telah banyak dikritik. Misalnya, Bonanno (2009) baru-baru ini menemukan bahwa dalam mengatasi berkabung, kebanyakan orang bisa datang ke penerimaan kematian tanpa melalui tahap sebelumnya, namun, itu tidak berarti tidak adanya perjuangan batin dengan emosi kompleks yang terlibat dalam berkabung. Hanya penelitian langsung pada penerimaan kematian akan mengungkapkan jalur dan mekanisme datang untuk berdamai dengan kematian dengan cara yang konstruktif. Dalam lima puluh tahun terakhir, psikologi kematian telah didominasi oleh penelitian tentang kecemasan kematian (Kastenbaum, 2000; Neimeyer, 1994a, b) dan teori manajemen teror (Pyszczynski, Greenberg, Solomon, 1999; Salomo, Greenberg, & Pyszczynski, 2004 ). Hanya ada literatur yang mutakhir pada penerimaan kematian. Ray dan Najman (1974) adalah yang pertama untuk mengembangkan skala baru untuk mengukur penerimaan kematian, dan menemukan bahwa itu koreksi positif kecil tapi signifikan dengan dua skala kematian kecemasan. Penemuan keberadaan co-kecemasan kematian dan penerimaan kematian penting karena mengungkapkan sikap ambivalen dan konflik dasar menuju kematian: Tidak pernah mudah untuk menyelesaikan masalah kecemasan mengenai kematian kematian pribadi kita. Tidak peduli seberapa jauh dan samar, prospek kematian diri atau orang yang dicintai akan selalu mengganggu karena mengganggu aliran kehidupan seperti yang kita kenal. Namun, sistem dikembangkan dengan baik penerimaan kematian dapat menjaga kecemasan kematian di teluk dan mencegah dari mengganggu fungsi sehari-hari kita. Sekitar dua dekade lalu, ketika rekan saya dan saya melakukan studi komprehensif penerimaan kematian, kami bertemu dengan resistensi baik dari dalam departemen psikologi kita sendiri dan penolakan dari editor jurnal seakan penerimaan kematian tidak layak penelitian. Akhirnya, kami mampu mempublikasikan temuan penelitian kami (Gesser, Wong, & Reker, 1987-1988). Selain takut mati dan menghindari kematian, kami mengidentifikasi tiga jenis yang berbeda dari penerimaan kematian: 
(1) kematian penerimaan Netral - menghadapi kematian rasional sebagai akhir tak terelakkan dari setiap kehidupan, (2) penerimaan Pendekatan - kematian menerima sebagai pintu gerbang ke yang lebih baik akhirat, dan (3) Escape penerimaan - memilih kematian sebagai alternatif yang lebih baik untuk sebuah eksistensi yang menyakitkan. Sikap Death Profil (DAP) kemudian direvisi DAP-R (Wong, Reker, & Gesser, 1994). Kedua skala telah banyak digunakan dan bukti yang terkumpul mengenai validitas dan reliabilitas DAP (Gesser et al., 1987-1988) dan DAP-R (Wong di al, 1994.). Misalnya, Neimeyer, Moser dan Wittkowski (2003) menegaskan bahwa DAP-R tetap menjadi instrumen utama untuk menilai penerimaan kematian. Tiga Jenis Penerimaan Kematian Penerimaan Pendekatan berakar pada keyakinan agama / spiritual di akhirat diinginkan. Bagi mereka yang memeluk keyakinan tersebut, akhirat adalah lebih dari keabadian simbolis, karena biasanya berasosiasi dengan keyakinan agama atau kepercayaan teistik dalam realitas transendental. Penerimaan Pendekatan ini didasarkan pada konstruksi sosial kehidupan setelah kematian, dengan demikian, menawarkan harapan dan kenyamanan bagi sekarat serta berduka. Lebih khusus lagi, Harding, Flannelly, Weaver, dan Costa (2005) melaporkan bahwa skala yang mengukur Kepercayaan keberadaan Allah dan Kepercayaan di Alam Baka berdua berkorelasi negatif dengan kecemasan kematian tetapi berkorelasi positif dengan penerimaan kematian. Penerimaan melarikan diri terutama didasarkan pada persepsi bahwa hidup begitu menyakitkan dan menyedihkan bahwa kematian menawarkan melegakan. Bunuh diri dan bunuh diri yang dibantu adalah ekspresi penerimaan Escape. Cicirelli (2006) mengamati bahwa ketika individu mengalami sakit keras atau hilangnya fungsi, mereka ingin mengakhiri hidup mereka sendiri. Dalam kasus tersebut, teror kematian tampaknya kurang menakutkan daripada teror hidup. Konstruk penerimaan netral memerlukan pemeriksaan lebih dekat. Clements dan Rooda (1999-2000) meneliti faktor struktur, reliabilitas, dan validitas DAP-R menggunakan sampel 403 rumah sakit dan perawat rumah sakit. Mereka mampu mereplikasi empat dari lima faktor dilaporkan oleh Wong et al. (1994): Takut Kematian, Penghindaran Kematian, Penerimaan Pendekatan, dan Penerimaan Escape. Namun, barang-barang yang dimuat pada subskala Penerimaan Netral dibagi di dua faktor. Temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa Penerimaan Netral subskala dapat mengukur jalur yang berbeda untuk penerimaan kematian tanpa percaya kehidupan setelah kematian. Misalnya, beberapa mungkin mengundurkan diri untuk fakta bahwa kematian adalah fakta biologis semua makhluk hidup, sementara yang lain mungkin merasa bahwa mereka siap untuk mati karena mereka telah menyelesaikan misi hidup mereka dan meninggalkan warisan yang layak. Bahkan, Cicirelli (2001) telah mengidentifikasi empat Makna pribadi yang berbeda dari Kematian: Extinction, Afterlife, Motivator dan Legacy. Kepercayaan dalam Afterlife mirip dengan Pendekatan Penerimaan, Extinction, Motivator dan Legacy semua bisa datang di bawah payung Penerimaan Netral. Model Dual-Sistem Bayangkan diri Anda seorang marinir yang bertugas di Afghanistan. Mengetahui bahwa setiap kali Anda berada di patroli, Anda dan tentara sesama bisa hancur berkeping-keping oleh alat peledak improvisasi, bagaimana Anda akan mengelola ancaman kematian konstan dan melaksanakan misi berbahaya? Bagaimana Anda mempertahankan sikap positif terhadap kehidupan di lingkungan ini? Setiap prajurit profesional tahu bahwa itu tidak membayar untuk hidup dalam teror sehari-hari, karena rasa takut yang berlebihan akan mengurangi efektivitas tempur Anda dan meningkatkan kemungkinan terbunuh. Dia akan mengungkapkan bahwa yang terbaik yang bisa dilakukan dalam situasi berbahaya adalah untuk menerima situasi berbahaya dan hidup senormal mungkin. (2010) Wong dual-model sistem untuk mencapai kehidupan yang baik menyediakan kerangka kerja konseptual yang berguna untuk mengelola co-eksistensi penerimaan kematian dan ketakutan kematian. Menurut model ini, kita perlu bergantung pada kerjasama dan interaksi antara pendekatan dan sistem penghindaran. Kedua kecenderungan saling melengkapi mewakili dua motivasi dan orientasi yang berbeda hidup. Kecenderungan defensif untuk menghindari rasa sakit, penderitaan, bahaya, kecemasan dan kematian, melayani fungsi pelindung. Ini adalah kecenderungan untuk mencari keamanan dan pertahanan diri di dunia yang kacau dan sering berbahaya. Ini melibatkan mekanisme pertahanan baik sadar dan sadar untuk menjaga integritas kita psikologis dan fisik. Hal ini juga melibatkan perilaku koping untuk mengurangi ancaman dan reaksi afektif negatif. Mereka yang lebih memilih sikap defensif akan sangat berhati-hati dan pemalu, takut membuat perubahan atau mengambil risiko. Tapi kita tidak bisa mengalami aspek-aspek positif dari hidup jika kita hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Sistem Pendekatan terutama berkaitan dengan mengejar tujuan hidup yang berharga, seperti keberhasilan karir, membangun keluarga bahagia dan sehat, atau melakukan sesuatu yang membuat perbedaan di dunia. Sistem Pendekatan ini juga terlibat dalam mencari dan menciptakan saat-saat yang menyenangkan, seperti menikmati matahari terbenam yang indah atau berbagi lelucon. Sementara terlibat dalam aktivitas kehidupan meningkatkan, kita harus berurusan dengan intrusi pikiran negatif, seperti takut gagal dan takut kematiannya. Berfungsi optimal tergantung pada kemampuan kita untuk menghadapi negatif dan mengubah mereka dalam pelayanan tujuan positif. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui latihan dan pelatihan. Individu-individu yang positif bersedia menghadapi krisis dan menciptakan peluang untuk pertumbuhan. Kecenderungan mereka adalah untuk mengambil tugas-tugas yang sulit, dan risiko bahkan kematian untuk mencapai beberapa tujuan hidup yang signifikan. Mereka terutama termotivasi oleh keinginan mereka untuk mencapai misi hidup mereka, apapun resikonya, karena mereka telah menemukan sesuatu yang layak untuk mati. Dengan kata lain, sengatan kematian ditelan oleh harapan dan makna hidup positif. Menurut model dual-sistem, pertahanan terbaik adalah pelanggaran. Sementara mengakui nilai mekanisme defensif, model menyatakan bahwa cara yang paling efektif untuk melindungi diri terhadap kecemasan kematian adalah untuk fokus pada tugas mendesak dan menjalani kehidupan yang bermakna. Menurut model ini, prajurit tugas patroli di zona perang dihadapkan dengan dua pilihan. 
Jika mereka fokus pada bagaimana untuk menghindari peluru atau bagaimana untuk menghindari alat peledak improvisasi sehingga seseorang dapat kembali ke rumah untuk menikmati gaji dan tunjangan, mereka akan tinggal di tepi, terus-menerus mengkhawatirkan bahwa langkah berikutnya mungkin satu fatal. Namun, jika identitas mereka dibangun di sekitar rasa panggilan dan kehormatan dan kebanggaan melayani satu negara, dan jika fokus utama adalah bagaimana untuk menyelesaikan tugas patroli tanpa kecelakaan, keberanian akan tetap takut di teluk. Ketika seseorang telah menemukan sesuatu yang layak untuk mati, orang tidak lagi takut mati. Kegembiraan melakukan sesuatu yang signifikan dan indah bisa begitu kuat bahwa seseorang benar-benar terlibat dalam melakukan apa yang mengasihi, tanpa meninggalkan ruang untuk kecemasan kematian. Jadi, apakah kita fokus pada penghindaran atau pendekatan akan menentukan bagaimana kita hidup dan bagaimana kita mati. Kematian Penerimaan Melalui Arti pembuatan Kapasitas kognitif yang sama yang terrorizes kita tentang prospek kematian juga dapat menyelamatkan kita dari teror ini. Kemampuan kita untuk mencari makna dan makna-membuat dapat menemukan sesuatu yang begitu indah dan kuat sehingga mengusir semua ketakutan. Di tempat lain, saya telah menetapkan makna dalam hal tujuan, tanggung jawab pemahaman, dan kenikmatan (Wong, 2010). Saya juga menjelaskan bagaimana artinya teori manajemen (MMT) (Wong, 2008) memberikan kerangka konseptual untuk memahami penerimaan kematian. Sederhananya, manajemen berarti kita menawarkan perlindungan terbaik terhadap ketakutan akan kematian dan sekarat, karena mekanisme pertahanan lainnya tampak tidak memadai dalam menghadapi kecemasan kematian (Palmer, 1993). Pada saat yang sama, berarti manajemen memotivasi kita untuk merangkul kehidupan dan melakukan apa yang paling penting bagi kita. Artinya manajemen bukan hanya rasionalisasi atau reframing kognitif, karena menuntut transformasi sebenarnya nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan hidup. Arti manajemen yang terlibat dalam kedua pendekatan dan sistem penghindaran. Misalnya, mengetahui siapa Anda, apa yang sebenarnya penting, dan mengapa Anda berada dalam layanan militer akan memberikan rasa tujuan dan kepuasan bahkan ketika terlibat dalam misi yang paling berbahaya dan sulit. Arti-keputusan juga dapat membantu Anda naik di atas apa yang berada di luar kendali Anda dan mengubah ketakutan menjadi iman, kepercayaan, altruisme dan keberanian. Sebuah sistem makna yang benar-benar transendental dapat mengangkat orang di atas keasyikan dengan diri-pelestarian dan kecemasan kematian, karena diri yang hilang dalam sesuatu yang lebih besar. Misalnya, pemazmur berdoa: "Tuhan akan memenuhi tujuannya bagi saya, cinta Anda, ya Tuhan, kekal selamanya - tidak meninggalkan karya-karya tangan Anda" (Mazmur 138:8). Rasa tujuan dan memanggil Bumiputera berupaya menumbuhkan kehidupan pemazmur dengan makna, tapi di sini tanggung jawab untuk sukses tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggungan individu. Ada rasa yang kuat dari kemitraan antara Allah dan pemazmur. Untuk hidup atau mati adalah untuk memenuhi tujuan Allah dalam hidupnya. Menurut sebuah pepatah lama, "Tidak ada ateis dalam lubang perlindungan." Tentara dengan iman yang kuat dalam Tuhan mungkin akan lebih mudah untuk mengatasi trauma dan bahaya dalam situasi pertempuran. Keutamaan Penghindaran Kematian vs Keutamaan Quest untuk Arti Menurut teori manajemen teror (TMT), menghindari kecemasan kematian adalah motif utama, dan pencarian makna adalah sekunder, karena dipicu oleh teror kematian. Menurut MMT, pencarian makna adalah motif utama, karena kita berarti mencari-dan-artinya membuat makhluk hidup di dunia makna. Arti penting bagi kedua kelangsungan hidup dan ketahanan. Kita perlu mengerti dan memahami apa yang sedang terjadi di dalam rangka untuk beradaptasi dan bertahan hidup, tapi kita juga perlu alasan untuk hidup ketika situasi menjadi sangat sulit. Kedua penghindaran dan pendekatan sistem yang diperlukan, tetapi orientasi hidup pendekatan membebaskan kita untuk mencintai dan bekerja, sedangkan orientasi hidup menghindari menghukum kita ke penjara ketakutan. Ketika kita belajar untuk fokus pada positif, dan menerima negatif yang tak terelakkan, kita bebas untuk mengambil risiko dan hidup amat. Terlepas dari keadaan, bias positif selalu menghubungkan kita dengan kekuatan kehidupan. Yalom (2008) mengakui bahwa "Setiap orang ditakdirkan untuk mengalami kegembiraan yang hidup dan takut kematian" (hal. 273). Rahasianya adalah bagaimana untuk menjaga pikiran kita pada kehidupan daripada kematian. Kahlil Gibran (1997) menyatakan ide ini dengan baik: "Ini adalah hidup dalam pencarian kehidupan dalam tubuh yang takut kuburan" (hal. 104). Ketika pencarian manusia untuk makna dan spiritualitas menempati panggung, takut kubur akan mundur ke belakang. Arti Terapi (Wong, 2010) mencoba untuk memeras setiap ons makna positif dan kebahagiaan dari kekuatan merusak eksistensi manusia. Makna Kematian Weissman (2000) menyuling makna kematian menjadi empat kategori: (1) Kematian adalah ilusi dan perpanjangan hidup, sebuah prolog bentuk lain dari kehidupan, kematian berarti transisi, tidak punah. (2) Kematian adalah fakta tak terelakkan dan tak terhindarkan dari kehidupan, konfrontasi dengan keterbatasan, itu adalah titik akhir dalam "kontrak" antara hidup dan parameter hidup. (3) Kematian adalah penjelasan dan penebusan kehidupan, putusan akhir pada proses hidup, ia menawarkan retribusi atau hadiah, pembebasan dari kendala kematian itu. (4) Kematian adalah urgensi dan kekalahan hidup, tragedi, meniadakan nilai-nilai hidup, menandakan kegagalan dan kesia-siaan. Masing-masing teori tentang kematian sebenarnya keyakinan tentang kehidupan (Zisook & Downs, 2000). Dari sudut pandang biologis, kematian adalah penghentian permanen dari semua fungsi vital. Dari perspektif psikologis, sosial, dan budaya yang lebih luas, kematian jauh lebih dari tahap akhir dari proses biologis. Konsep kematian yang sangat subjektif, yang sangat kompleks, dan perubahan dari waktu ke waktu. Selanjutnya makna kematian sangat diwarnai oleh sikap dari individu-individu yang memegang mereka serta konteks situasional di mana individu-individu menemukan diri mereka. Dimensi Kematian Kematian memiliki tiga dimensi. Dimensi Impersonal kematian menganggap itu sebagai peristiwa impersonal, dilucuti dari unsur manusia dan mati hanya mayat diklasifikasikan atau dibuang sesuai dengan berbagai kategori. Kami berdiri dalam hubungan I-itu impersonal dan sepihak untuk spesimen yang unik keberadaannya tidak masalah. Ini adalah kematian dari suatu obyek yang memerlukan tidak ada kesedihan pribadi atau kerugian. Obituari orang asing memiliki signifikansi impersonal karena kerugian emosional yang hilang (Weisman, 1985). Dimensi Interpersonal kematian berkaitan dengan fakta obyektif dari kematian yang lain. Kematian subyektif kita tidak terlibat, itu adalah hilangnya orang penting yang mempengaruhi kita. Hal ini diwakili oleh I-Anda, respon khas adalah kesedihan dan berkabung. Sementara kematian impersonal mengacu pada "sudah mati", kematian Interpersonal berarti "orang lain sudah mati". Kematian Interpersonal mengubah bidang psikososial dan, pada gilirannya, mengubah pengalaman interpersonal mereka yang terkena dampak. Kematian intrapersonal mengacu pada pengalaman batin kematian pribadi, yang takut kebanyakan orang, tetapi menemukan sulit untuk mengantisipasi. Ini adalah dimensi-satunya yang benar-benar penting. Dampak dari mayat atau kematian yang lain adalah penting hanya karena pentingnya mereka untuk kematian subyektif (Weisman dan Haekett, 1961). SIKAP TERHADAP KEMATIAN: HIDUP PERTIMBANGAN SIKLUS Bagaimana kita bisa mengerti mengapa orang kadang-kadang menarik diri dari teman-teman yang sakit parah? Bagaimana kita bisa memahami hubungan intim tanpa wawasan takut kehilangan? Bahkan anak bungsu menyadari pemisahan dan ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka. Anak-anak Anak-anak kadang-kadang mengungkapkan wawasan spontan ke dalam finalitas kematian, seperti ketika ditemui hewan yang mati atau tanaman layu (Encyclopedia of Psychology, 2000). Nagy (1948) melaporkan tiga tahap perkembangan kognisi kematian terkait pada anak-anak. Tahap satu ini sampai usia lima, memiliki apresiasi kematian sebagai penghentian akhir dan lengkap. Pemisahan adalah tema yang paling jelas dipahami oleh anak-anak muda. Tahap dua anak berpikir mengenai kematian sebagai akhir tetapi tidak terelakkan. Suatu kecenderungan yang kuat untuk mewujudkan dicatat dalam tahap ini. Tahap ketiga dimulai pada usia sembilan atau sepuluh ditandai dengan pemahaman kematian baik sebagai final dan tak terelakkan. Prospek kematian pribadi tampaknya diterima. Laporan anekdotal menunjukkan bahwa penemuan anak kematian dimulai jauh lebih awal daripada teori yang paling kognitif tampaknya siap menerima. Perkembangan afektif dan kognitif anak-anak warna pemahaman mereka tentang kematian dan ketakutan berikutnya mereka tentang kematian. Pada tahap, prasekolah praoperasional perkembangan kognitif, kematian dipandang sebagai absen sementara, lengkap dan reversibel, seperti keberangkatan atau tidur. Pemisahan dari pengasuh utama adalah ketakutan utama anak prasekolah. Ketakutan ini permukaan sebagai peningkatan mimpi buruk, bermain lebih agresif, atau kekhawatiran tentang kematian orang lain daripada dalam wacana langsung. Regresi untuk perilaku kekanak-kanakan yang lebih sinyal meningkatkan ketergantungan pada orang tua. Sekarat anak-anak prasekolah perlu diyakinkan dari orang tua mereka bahwa mereka dicintai, bahwa mereka telah melakukan kesalahan apa pun, bahwa mereka tidak bertanggung jawab untuk penyakit mereka, dan bahwa mereka tidak akan ditinggalkan. Sekolah-anak usia memanifestasikan beton operasional pemikiran dan mengakui kematian sebagai sebuah realitas akhir. Namun, mereka melihat kematian sebagai sesuatu yang terjadi pada orang tua, bukan untuk mereka. Antara usia 6 dan 12 tahun anak-anak memiliki kehidupan fantasi yang aktif kekerasan dan agresi, sering didominasi oleh tema-tema kematian dan pembunuhan. Kematian dapat dipersonifikasikan sebagai kerangka atau hantu yang membawa orang menjauh. Sekarat usia sekolah anak bertanya tentang penyakit mereka jika didorong untuk melakukannya, namun, jika mereka menerima isyarat bahwa subjek tabu, mereka dapat menarik dan kurang berpartisipasi penuh dalam perawatan mereka sendiri. Banyak dari kita ragu untuk berbicara tentang kematian, terutama dengan anak-anak. Tapi kematian adalah suatu kenyataan yang tak terhindarkan dari kehidupan yang kita harus berurusan dengan, sehingga anak-anak kita harus. Dengan berbicara kepada mereka tentang kematian, kita bisa menemukan apa yang mereka tahu dan tidak tahu, jika mereka memiliki kesalahpahaman, ketakutan, atau kekhawatiran. Kita kemudian dapat membantu mereka dengan menyediakan informasi, kenyamanan, dan pemahaman. Jauh sebelum kita menyadarinya, anak-anak menjadi sadar akan kematian. Mereka melihat burung mati, serangga, dan hewan berbohong dengan jalan. Mereka mungkin melihat kematian setidaknya sekali sehari di televisi. Mereka mendengar tentang hal itu dalam cerita dongeng dan bertindak keluar dalam permainan mereka. Kematian adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, dan anak-anak, pada tingkat tertentu, sadar akan hal itu. Pesan campuran yang membingungkan, dan dapat memperdalam kekhawatiran dan kesalahpahaman dan mungkin meninggalkan anak-anak bingung. Anak-anak melihat ke dewasa untuk isyarat tentang bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. Hal ini biasanya lebih mudah untuk berbicara tentang kematian ketika kita kurang terlibat secara emosional. Mengambil kesempatan untuk berbicara dengan anak-anak tentang bunga mati, pohon, serangga, atau burung mungkin bermanfaat. Beberapa anak-anak menunjukkan rasa ingin tahunya tentang serangga dan hewan yang mati. Mereka mungkin ingin memeriksa mereka dengan ketat, atau mengajukan pertanyaan rinci tentang apa yang terjadi secara fisik untuk hal-hal mati. Meskipun bunga ini mungkin tampak menjijikkan atau morbid kepada kami, itu adalah cara belajar tentang kematian. Anak-anak tidak boleh dibuat merasa bersalah atau malu tentang keingintahuan mereka. Minat mereka dapat memberikan kesempatan untuk menjelaskan, untuk pertama kalinya, bahwa semua makhluk hidup mati dan membuat ruang bagi makhluk hidup baru. Jika kematian adalah kekerasan, pembunuhan atau pembunuhan, itu mungkin ide yang baik untuk mengatakan sesuatu untuk meyakinkan anak-anak tentang keselamatan mereka. Jadilah terbuka untuk pertanyaan-pertanyaan mereka. Jawaban mereka jujur dan selengkap mungkin, mengingat usia anak. Jika Anda tidak tahu jawabannya, katakan saja begitu. Jika mereka ingin menghadiri pemakaman, biarkan mereka. Jika mereka ingin melihat tubuh dengan seluruh keluarga, tidak mencegah mereka jika mereka cukup dewasa untuk memahami keniscayaan dan tidak berbaliknya kematian. Hindari eufemisme. Perhatikan terminologi Anda. Jangan menyamakan kematian dengan perjalanan atau tidur atau anak mungkin takut untuk pergi ke tempat tidur. Jangan mengatakan orang itu "dengan Yesus" tanpa penjelasan lebih lanjut. Anak mungkin membenci Yesus untuk mengambil / nya orang-orang tercinta menjauh dari mereka. Pastikan anak memahami perbedaan antara penyakit ringan dan penyakit fatal. Anak mungkin berpikir mereka akan mati waktu berikutnya mereka mendapatkan dingin (NIH, 1995). Remaja Mampu operasi kognitif formal, remaja memahami bahwa kematian tidak bisa dihindari dan final. Kekhawatiran utama mereka paralel mereka dari semua remaja: hilangnya kontrol, yang tidak sempurna, dan menjadi berbeda. Kekhawatiran tentang citra tubuh, rambut rontok, atau kehilangan kontrol tubuh dapat menghasilkan resistensi besar untuk melanjutkan pengobatan. Bolak emosi putus asa, marah, kesedihan, kepahitan, mati rasa, teror, dan sukacita yang umum. Kapasitas kognitif remaja untuk memahami kematian tidak dapat diterjemahkan ke dalam pemahaman bahwa kematian pribadi mereka sendiri adalah mungkin. Potensi penarikan atau isolasi besar karena remaja dapat menyamakan dukungan orangtua dengan hilangnya kemerdekaan atau mungkin menolak ketakutan mereka ditinggalkan dengan benar-benar menjijikkan gerakan ramah. Remaja harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan seputar kematian mereka. Banyak mampu keberanian yang besar, rahmat, dan martabat dalam menghadapi kematian. Dewasa Tidak seperti anak-anak dan remaja, orang dewasa yang lebih tua sering mudah menerima bahwa waktu mereka telah datang. Meskipun mereka mungkin tidak senang mati, mereka dapat didamaikan dengan itu. Menurut Erikson, tahap kedelapan dan terakhir dalam siklus hidup membawa baik rasa integritas atau putus asa. Sebagai orang dewasa lanjut usia memasuki fase terakhir dari kehidupan mereka, mereka merefleksikan waktu mereka dan bagaimana ia telah hidup. Integritas diri memungkinkan seseorang menerima penyakit yang tak terelakkan dan kematian tanpa takut mengalah tak berdaya. Namun, jika seseorang melihat kembali pada kehidupan sebagai serangkaian kesempatan yang hilang atau diisi dengan kemalangan pribadi, rasa adalah keputusasaan pahit, keasyikan dengan apa yang mungkin telah jika hanya ini atau yang telah terjadi, kemudian mati dilihat dengan rasa takut karena melambangkan kekosongan dan kegagalan (Zisook, & Downs, 2000). KEMATIAN KECEMASAN dan menghubungkannya PERUSAHAAN Ketakutan dan kecemasan adalah salah satu kata yang paling sering digunakan untuk mengkarakterisasi orientasi terhadap kematian di seluruh rentang hidup. Investigasi biasanya berasumsi bahwa kematian universal memunculkan kecemasan. Dimana ketakutan manifes tidak hadir, penyangkalan defensif disimpulkan (Goldings et al, 1966;.. Jeffres et al, 1961). Sadar takut kematian diperkirakan terjadi hanya ketika ada gangguan yang serius dari pertahanan individu, seperti dalam ekstrim psikopatologi (Kastenbaum dan Costa, 1977). Janet Belsky (1999) mendefinisikan "kecemasan kematian" sebagai "pikiran, ketakutan, dan emosi tentang peristiwa akhir dari hidup yang kita alami dalam kondisi normal lebih hidup". Dengan kata lain, sebagai orang-orang menjalani kehidupan mereka sehari-hari, mereka menderita derajat yang berbeda dari kecemasan tentang kematian. Berbagai faktor psikolog telah mempelajari dalam upaya untuk mengukur kecemasan kematian meliputi: usia, lingkungan, keyakinan agama dan integritas ego, atau rasa pribadi pemenuhan dan / atau harga diri. Sebuah aspek rumit dari belajar kecemasan kematian yang benar-benar "mengukur" kecemasan yang berkaitan dengan variabel-variabel telah sulit. Penelitian yang digunakan dalam memeriksa kecemasan kematian tidak eksperimental memanipulasi variabel, sehingga membatasi kesimpulan untuk korelasi (Forner & Neimeyer, 1999). Sebuah faktor pengganggu tambahan adalah perbedaan antara "kematian" dan "mati." Dengan kata lain, adalah sumber yang lebih besar dari kecemasan yang berhubungan dengan kematian, itu sendiri, atau proses kematian. Meskipun tantangan ini, sejumlah peneliti telah melaporkan temuan konklusif berkaitan dengan dampak dari variabel-variabel yang disebutkan di atas pada kecemasan kematian. Fortner & Neimeyer (1999) diringkas 49 diterbitkan dan studi penelitian yang tidak dipublikasikan mengenai hubungan antara kecemasan kematian dan usia, ego integritas, jenis kelamin, pelembagaan, masalah fisik dan psikologis, dan religiusitas pada orang dewasa yang lebih tua dan melaporkan bahwa lebih rendah ego integritas, lebih banyak masalah fisik, dan lebih masalah psikologis merupakan prediksi tingkat yang lebih tinggi dari kecemasan kematian pada orang lanjut usia. Tang et al (2002) meneliti kecemasan kematian di antara mahasiswa Cina dan melaporkan bahwa lebih muda dibandingkan dengan siswa yang lebih tua dan perempuan dibandingkan dengan laki-laki cenderung lebih kematian cemas. Mereka yang memiliki tingkat rendah dari orientasi kesehatan self-efficacy dan eksternal kontrol yang lebih mungkin untuk melaporkan tingkat kecemasan tinggi kematian. Wu et al, (2002), yang mempelajari reaksi emosional orang tua Cina terhadap kematian, juga melaporkan tingkat tinggi korelasi negatif antara kecemasan kematian dan usia. Di sisi lain, Rasmussen & Brems (1996) advokat peran kematangan psikososial sebagai prediktor yang lebih baik dari kecemasan kematian dari usia dan kedewasaan bahwa sebagai psikososial dan peningkatan usia, kecemasan kematian menurun. Suhail & Akram (2002) juga telah menyimpulkan bahwa perempuan dan orang-orang kurang religius dilaporkan mengalami kecemasan yang lebih besar. Gender dan Kecemasan Kematian Wanita melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari kecemasan kematian dan mereka lebih responsif dan peka terhadap kebutuhan orang dengan kondisi mengancam kehidupan. Hal ini bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa, ekspresi perasaan, terutama mereka dari kerentanan, didorong pada anak perempuan, tetapi dianjurkan pada anak laki-laki. Usia dan Kecemasan Kematian Data yang tersedia tidak mendukung hipotesis bahwa kita menjadi lebih cemas tentang kematian dengan usia lanjut, karena jarak menurun dari kematian. Dua alasan utama telah diusulkan: pertama, penerimaan bertahap kematian dengan usia lanjut dan kedewasaan, kedua, untuk beberapa orang tua takut hidup dapat lebih besar dari ketakutan akan kematian. Banyak orang tua mengalami isolasi sosial, kepedulian keuangan, dan masalah fisik terkait usia yang meningkatkan ketidakpuasan mereka dengan kehidupan. Peran Kepercayaan Agama Secara umum, tidak ada pola yang jelas dari asosiasi telah ditemukan antara keyakinan agama dan kecemasan kematian. Berinteraksi dengan berbagai faktor: agama tertentu, sejarah budaya, sejarah individu dan konteks situasional. Keyakinan agama, iman dan kepercayaan setelah kehidupan tampaknya untuk membantu banyak orang menghadapi prospek kematian, namun mereka masih rentan terhadap kekhawatiran tentang pengalaman terminal dan efek kematian mereka pada orang lain. Banyak orang merasa aman ketika mereka yakin bahwa ritual keagamaan yang tepat akan dilakukan setelah kematian mereka. Denial of Death Kita dapat menemukan banyak contoh Denial Kematian dan tabu dalam masyarakat kita. Pada langsung laporan diri langkah-langkah, kebanyakan orang dewasa melaporkan rendahnya tingkat kecemasan kematian, tetapi pada tindakan tidak langsung, tanda-tanda fisik dari stres telah ditemukan, saat terkena kematian yang berhubungan dengan pijat. Beberapa penulis telah mempertanyakan tentang kekhususan untuk rangsangan kematian terkait. Arndt et al. (2001) telah menunjukkan bahwa paparan kematian subliminal, tetapi tidak priming nyeri subliminal dikaitkan dengan perubahan wajah elektromiografi. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketakutan akan kematian adalah baik karena proses atau konsekuensi dari kematian (Abdel-khalek dan Ahmed, 2002). Logikanya, tidak ada yang bisa membayangkan tentang kepunahan sendiri, dan fantasi kematian diproyeksikan fantasi kehidupan. Dengan demikian, masalah dalam menerima kematian datang bukan dari kematian per se, tetapi cara yang telah menjalani hidupnya. TEORI KECEMASAN KEMATIAN Seperti disebutkan di atas, studi fenomena kematian dan kematian terkait selalu terpesona peneliti yang telah mengakibatkan berkembang kepentingan ilmiah populer di thanatology. Dalam upaya mereka untuk menjelaskan kecemasan kematian dan fenomena terkait, berbagai peneliti telah dikemukakan beberapa teori. Beberapa teori penting dan model yang sedang dibahas. Freud Konsep Instinct Kematian Freud telah disandingkan naluri hidup dengan naluri kematian, dan keduanya disebut sebagai Eros dan Thanatos di Beyond the Pleasure Principle. Meskipun Freud tidak bisa memberikan data klinis yang secara langsung diverifikasi insting kematian, ia pikir itu bisa disimpulkan dengan mengamati paksaan pengulangan, kecenderungan orang untuk mengulangi perilaku traumatik di masa lalu. Freud merasa bahwa kekuatan yang dominan dalam organisme biologis harus menjadi insting kematian. Dia dipandang sebagai kecenderungan dari semua organisme dan diri komponen mereka untuk kembali ke negara mati. Gagasan Freud insting kematian jelas terkait dengan prinsip keteguhan dan juga dikaitkan dengan apa yang disebut prinsip Nirvana, yang mendalilkan bahwa organisme berusaha untuk melepaskan ketegangan internal dan mencari keadaan istirahat (Gabbard, 2000). Teror Manajemen Teori Teror teori manajemen (TMT) adalah teori yang didasarkan pada eksistensialisme yang menjelaskan bagaimana takut mendasari kematian banyak dari apa yang kita lakukan. Ini berfokus pada mekanisme psikologis yang kita gunakan untuk buffer kecemasan terangsang oleh kesadaran kematian. Hal ini diusulkan oleh Jeff Greenberg et al (Greenberg et al, 1986;.. Salomo et al, 1991). TMT mengasumsikan bahwa kematian yang berhubungan dengan kecemasan adalah sumber kita yang paling mendasar dari kecemasan. Seperti spesies lainnya, manusia memiliki drive pertahanan diri dasar. Menggabungkan drive ini dengan kesadaran bahwa kita akan mati dalam diri kita menciptakan teror yang melumpuhkan kematian. Dalam rangka untuk menangkal kecemasan ini, menurut teori manajemen teror, kami menciptakan dan berpartisipasi dalam budaya. Dengan berpartisipasi dalam budaya, kami dapat memberikan hidup kita dengan pesanan, struktur, makna, dan bahkan permanen. Greenberg et al (2000) menunjukkan bahwa orang-orang menggunakan dua jenis strategi pertahanan terhadap pikiran tentang kematian: pertahanan proksimal dan distal pertahanan. Mereka memanfaatkan dua strategi pertahanan dalam situasi yang berbeda, dan dalam urutan waktu yang berbeda. Ketika kematian mereka dibuat menonjol dan ini kematian yang relevan pikiran tetap dalam kesadaran langsung sadar mereka, orang berusaha untuk menolak kerentanan mereka sampai mati, sehingga menekan atau menghalangi kematian yang berhubungan dengan pikiran. Ini penolakan kerentanan dioperasikan sebagai pertahanan proksimal. Orang-orang yang kematian telah dibuat menonjol tetapi untuk siapa kematian-pikiran yang relevan tidak dalam kesadaran langsung digunakan pertahanan distal. Pertahanan distal terdiri dari menegaskan pandangan dunia budaya. Karena kematian menyangkal fungsi pandangan dunia budaya, pertemuan dengan pandangan dunia yang berbeda dapat menimbulkan ancaman terhadap validitas keyakinan kami dan pertahanan dari kesadaran kematian yang mereka berikan. Akibatnya, seseorang dapat termotivasi untuk menolak pandangan mengancam dan membela keyakinan seseorang (Florian et al., 2001). Manajemen defensif teror kematian tampaknya dicapai oleh dua mekanisme psikologis. Mekanisme pertama terdiri dari upaya kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk memvalidasi pandangan dunia budaya seseorang. Mekanisme kedua terdiri dari upaya kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk meningkatkan harga diri dengan hidup sampai standar selang nilai yang ditentukan oleh budaya (Taubman-Ben-Ari et al., 2002). Baru-baru ini, Mikulincer dan Florian (2000) dan Florian et al. (2002) menyatakan bahwa hubungan dekat mungkin juga buffer teror kematian. Di sini menjadi relevan untuk menyebutkan bahwa (1969) teori attachment Bowlby juga mengklaim bahwa pemeliharaan kedekatan dengan orang lain adalah perangkat psychoevolutionary yang membantu individu mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh peristiwa stres (Taubman-Ben-Ari et al., 2002). Arti Manajemen Model Bagaimana kita memandang kematian dan bagaimana kita mengatasi kecemasan kematian dapat sangat mempengaruhi setiap aspek kehidupan mereka - baik secara positif maupun negatif. Model (Wong, 2002) mengusulkan bahwa manajemen berarti lebih adaptif dibandingkan manajemen teror dalam menghadapi kecemasan kematian. Kematian adalah kepastian hanya dalam hidup. Semua organisme hidup mati, ada tidak terkecuali. Namun, manusia sendiri dibebani dengan kapasitas kognitif untuk menyadari kematian sendiri tak terelakkan dan takut apa yang mungkin datang sesudahnya. Selain itu, kapasitas mereka untuk merenungkan makna kehidupan dan kematian menciptakan kecemasan eksistensial tambahan. Menurut Goodman (1981), "Ketakutan eksistensial dari kematian, takut tidak ada, adalah yang paling sulit untuk menaklukkan. Struktur Kebanyakan defensif, seperti penolakan realitas, rasionalisasi, isolasi didirikan untuk menangkal agama AC pemisahan-ketakutan ditinggalkan , tidak meminjamkan diri siap sebagai pelindung terhadap rasa takut eksistensial kematian ". Untuk mengatasi ketakutan non-being, orang resor untuk berbagai macam keabadian simbolis dengan mengasumsikan bahwa seseorang dapat hidup selamanya melalui keturunan (Biologi), percaya pada kehidupan setelah kematian dan bahwa jiwa tidak pernah mati (Agama dan spiritual), hidup melalui karya-karya seseorang (Kreatif ), melalui kelangsungan hidup alam itu sendiri (Natural) dan melalui identifikasi dengan lembaga atau tradisi (Budaya). Penerimaan kematian melibatkan kesediaan untuk melepaskan dan melepaskan diri dari peristiwa dan hal-hal mana yang digunakan untuk nilai. Model manajemen berarti menekankan bahwa manusia dilahirkan dengan kebutuhan bawaan untuk makna, tapi mungkin tertidur karena keasyikan kami dengan bisnis hidup dan kematian dan penderitaan terbangun dalam diri kita kebutuhan mendesak untuk mencari arti dan tujuan hidup dan kematian. Kita dapat menemukan dan menciptakan makna dalam setiap situasi, bahkan dalam menghadapi kematian. Manajemen Arti membantu memperdalam iman seseorang dan spiritualitas dan juga memungkinkan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang makna dan tujuan hidup. Ini membantu membangun sebuah model psikologis dan spiritual yang berguna yang menawarkan perlindungan terbaik terhadap rasa takut akan kematian dan sekarat. Ini memotivasi kita untuk merangkul hidup - untuk terlibat dalam bisnis hidup, terlepas dari kondisi fisik dan keadaan sekarang; Hal ini tidak hanya rasionalisasi atau reframing kognitif, tetapi rekonstruksi dan transformasi nilai-nilai, keyakinan dan sistem makna. Ini menekankan bahwa cara kita hidup pertanda cara kita mati. Dengan menerima kematian dan memahami makna penuh, kita memperoleh kebijaksanaan. Dengan menerima kematian melalui iman, kita menemukan keberanian dan harapan abadi. Evaluasi Teori Kecemasan Kematian Teori psikoanalitik telah melayani panduan yang berguna untuk observasi dan refleksi. Kelemahan dasar dari teori ini adalah unverifiability. Teori eksistensial mengusulkan bahwa penerimaan kematian merupakan tanda kedewasaan, tapi ini adalah proposisi filosofis yang menarik, bukan merupakan fakta yang mapan. Proposisi manajemen teror dan teori makna manajemen tampaknya menarik, memiliki hubungan interpersonal yang aman dan rasa tujuan dalam hidup kita melindungi kita dari kecemasan kematian, namun sebelum penerimaan, validasi empiris yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung teori-teori baru tersebut. Sekian terimakasih

0 Komentar: