Normalnya anak usia 3-4 tahun sudah mulai tertarik
dengan aktivitas bersosialisasi, bermain bersama teman sebayanya. Namun,
di kota-kota besar salah satunya Jakarta, dengan tingkat sosial ekonomi
yang semakin tinggi dan kedua orangtua yang bekerja, banyak orangtua
yang tak ingin anaknya bermain keluar rumah, dengan alasan keamanan.
Tanpa menyadari, banyak orangtua justru seperti mengarahkan anaknya
untuk diam di rumah saja dengan pengasuhnya. Jika pun tidak dengan
pengasuhnya, di rumah disediakan sedemikian rupa alat bermain, salah
satunya video game/ PS. Karenanya video game menjadi mainan yang paling
memberi daya tarik bagi si anak. Ketertarikan anak pada tv game bisa
karena faktor pergaulan juga. Seperti teman-teman sekolahnya bercerita
bahwa mereka telah memainkannya, atau karena ia pernah diajak bermain.
Karenanya tak heran saat mereka punya sendiri dan menemukan keasyikan
memainkannya dibanding dengan mainan lain, maka tv game ini jadi pilihan
yang paling ditunggu anak setiap hari.
Kalau sudah begini tak heran jika anak mulai keranjingan. Biasanya,
orangtua terlambat menyadari bahwa anaknya sudah begitu “keranjingan”
konsol game ini. Orangtua pun tidak sejak awal menetapkan aturan bermain
konsol ini. Umumnya cukup banyak juga orangtua yang mengalah karena
rengekan anak yang memaksa bermain. Di sisi lain, ada orangtua yang
merasa ‘aman’ membiarkan anaknya bermain konsol permainan itu karena
melihat mereka asyik dan anteng saat sedang memainkannya.
Dapat Mempengaruhi Aspek Afeksi
Apakah anak yang ‘kecanduan’ game tak bisa bersosialisasi dengan anak
lain? Anak yang ‘kecanduan’ game tetap bersosialisasi, karena kadang
ada yang kerap bermain bersama temannya. Tapi tetap saja fokus
perhatiannya pada konten games yang ada di konsol. Bukan pada interaksi
dengan temannya.
Terkait aspek sosial, bermain konsol game tentu mengurangi kesempatan
anak mengembangkan keterampilan sosialnya. Begitu juga dengan aspek
kognisi. Konsol game ini tidak sepenuhnya signifikan melatih sisi
kognisi anak. Hanya ketika anak mulai terfiksasi (tertarik sangat kuat)
dengan satu konten yang sama seperti peperangan atau perkelahian
misalnya, maka hal-hal yang terkait dengan konten itulah yang akan
menjadi perhatiannya. Efek konsol game lebih terkait erat dengan aspek
afeksi anak. Jika konten game lebih banyak memuat agresivitas, tanpa
disadari oleh orangtua, anak-anak sebenarnya sedang belajar bagaimana
mengadopsi agresivitas itu menjadi bagian dari perilakunya.
Hal ini umumnya ditemukan pada anak-anak yang mulai melawan
orangtuanya ketika dilarang bermain konsol. Meski orangtua menganggap
perlawanan anak sebagai respon yang wajar, orangtua harus lebih jeli
membedakan mana respon yang wajar atau bukan.
Antisipasi
Jika sudah lebih jeli, orangtua bisa mengubahnya dengan melakukan
langkah-langkah yang tepat. Di rentang usia 3-5 tahun, anak sebenarnya
memiliki keingintahuan dan ketertarikan yang besar terhadap
lingkungannya. Oleh karena itu, orangtua harus mulai memerhatikan berapa
banyak waktu yang digunakan anak setiap harinya dalam bermain konsol
game.
Jika dirasa telah melewati toleransi waktu yang diberikan, orangtua
harus mulai memberlakukan aturan konsisten untuk penggunaannya.
Toleransinya, tidak dimainkan setiap hari dan sepanjang waktu (dari pagi
sampai siang/ siang sampai sore). Jangka waktu yang baik untuk menonton
televisi saja adalah 2 jam sehari. Apalagi bermain konsol game. Pada
dasarnya anak – anak usia 3-5 tahun sudah mulai bisa diajarkan tentang
aturan dan disiplin, meski kontrolnya masih harus dari pihak eksternal,
misalnya, dari Ayah, Ibu, atau orang dewasa lainnya yang ada di rumah.
Jika orangtua ingin menghentikan kebiasaan bermain konsol game, ada
baiknya untuk penghentian drastis dibanding dengan penghentian bertahap.
Antisipasi ini memiliki keuntungan dan kerugian. Penghentian bertahap
memberi peluang lebih besar untuk memperlama ikatan anak dengan konsol
game dan memberi waktu bagi mereka untuk mencari alasan dan strategi
agar bisa tetap diizinkan bermain. Sedangkan untuk penghentian secara
drastis memang akan menghasilkan perlawanan luar biasa dari anak.
Sebelum melakukannya, sampaikan pada anak tentang rencana penarikan
konsolnya. Katakan, misalnya,” Nak, mamah sedih lihat kamu terlambat
makan/ tidur terlalu malam karena asyik main itu. Mamah juga sedih
karena kamu tidak mendengar kata-kata Mamah selagi kamu asyik main”.
Lakukan pembicaraan seperti itu di waktu santai, saat dia sedang tak
bermain PS. Lalu lihat bagaimana reaksinya.
Jika anak menyanggupi dan ‘berjanji’ mengurangi tapi tetap minta izin
bermain, beri kesempatan ia untuk membuktikan janjinya. Jangan lupa
tekankan padanya, jika janjinya dilanggar konsekuensinya adalah
penarikan konsol. Pastikan bahwa konsekuensi ini dilakukan secara tegas
dan konsisten. Sebagai alternatif penggantinya, carikan kegiatan atau
permainan yang lebih memiliki nilai edukatif. Masukkan anak ke kursus
bakat dan minat, atau fisik, seperti klub sepakbola atau beladiri, dan
lainnya.
Sabtu, 05 Mei 2012
SKIZOFRENIA DISORGANISASI
I.
Definisi dan Ciri-ciri
Skizofrenia adalah
gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utamadalam pikiran, emosi dan
perilaku-pikiran yang yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar
atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang bizarre. Pasien skizofrenia menarik
diri dari orang lain dan kenyataan, seringkali masuk kedalam kehidupan fantasi
yang penuh delusi dan halusinasi
Skizofrenia merupakan salah satu dari berbagai psikopatologi
paling berat. Prevalensi sepanjang hidupnya kurang dari satu persen terjadi
pada laki-laki dan perempuan kurang lebih jumlahnya sama banyaknya. Meskipun
berawal dari anak-anak, gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja
atau dewasa awal, agak lebih awal pada kaum laki-laki daripada akum perempuan.
Usia timbulnya gangguan tampaknya semakin muda dalam beberapa dekade terakhir
(DiMaggio dkk., 2001). Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya mengalami
beberapa episode, mereka sering mengalami simptom-simptom yangtidak terlalu
parah, namun tetap sangat menganggu keberfungsian mereka. Komordibitas dengan
penyalahgunaan zat merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia,
terjadi pada sekitar 50 persennya (Kosten & Ziedonis, 1997).
Simptom-simptom
yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal
penting-pikiran, persepsi, da perhatian, perilaku motorik, afek atau emosi, dan
keberlangsungan hidup. Ada banyak gejala-gejala
skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskanoleh berbagai sumber. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala khas
skizofrenia berupa adanya:
1. Waham
atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksiyang tidak sesuai
dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat
umum)
2. Halusinasi
(persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar)
3. Pembicaraan
kacau
4. Perilaku
kacau
5. Gejala
negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikanemosi, kehilangan
minat, penarikan diri dari pergaulan sosial)
Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita
skizofrenia sangat luas meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami
hanya beberapa dari masalah tersebut. Para pasien skizofrenia dapat berbeda antara
satu dengan yang lainnya dibanding para pasien gangguan lainnya. Heterogenitas
skizofrenia menunjukkan bahwa pengelompokan para pasien kedalam berbagai tipe
yang mencerminkan konstelasi beberapa tipe yang telah diakui. Symptom yang akan
dibahas pada disini adalah disorganisasi.
II. Simptom Disorganisasi
Bentuk
Hebefrenik skizofren yang dikemukakan kraeplin disebut skizofrenia
disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Skizofrenia tipe
disorganisasi mulai dikenal
sekitar 150 tahun yang lalu. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan
sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat berbicara secara tidak runut,
menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan menciptakan kata-kata
baru. Seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar
atau terus menerus mengalami perubahan emosi, yang dapat meledak menjadi tawa
atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku pasien secara umum tidak
terorganisasi, aneh (bizzare) dan
tidak bertujuan. Pasien dengan tipe ini, gejala-gejalanya psikotiknya sering
terlihat nyata dibandingkan dengan pasien skizofrenia yang lainnya contohnya;
pasien melilitkan pita ke ibu jari atau bergerak tanpa henti, menunjuk ke
berbagai objek tanpa alas an yang jelas. Pasien kadang kala mengalami
kemunduran sampai ke titik yang tidak pantas, buang air besar dimana saja dan
kapan saja.
Disorganisasi
pembicaraan juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, disorganisasi
pembicaraan merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan
dalam berbicara, sehingga pendengar dapat memahaminya. Pada tipe ini, pasien
akan mengalami inkoherensi yang terjadi ketika pasien melakukan percakapan
dengan orang lain, beberapa citra dan potongan pikiran tidak saling
berhubungan, sulit untuk mamahami dengan pasti apa yang ingin disampaikan. Contoh
mengenai disorganisasi pembicaraan:
Pewawancara : apakah anda merasa gugup atau tegang
dalam beberapa waktu terakhir ini?
Pasien :
tidak, saya memiliki kepala selada
Pewawancara :
anda memiliki kepala selada? Saya tidak mengerti
Pasien :
yah itu hanya kepala selada
Pewawancara :
ceritakan kepada saya tentang selada. Apa maksud anda?
Pasien
: yah..selada merupakan transformasi seekor puma mati yang kambuh
dicakar singa. Dan ia menelan singa itu kemudian terjadi sesuatu.
Bicara
juga terganggu karena satu hal yang disebut asosiasi longgar atau keluar jalur
(derailment ), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi
dengan seorang pendengar tetapi mengalami kesulitan untuk tetap pada satu
topic. Ia tampak seolah terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran
yang berasal dari suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan deskripsi
atas kondisi tersebut.
“pikiran
saya kacau. Saya mulai berpikir atau berbicara tentang sesuatu, namun saya
tidak pernah bias menyampaikannya. Bahkan, saya berputar-putar kearah yang
salah dan berhadapan dengan hal-hal yang ingin saya sampaikan, namun dengan
cara yang tidak bisa saya jelaskan. Orang-orang yang mendengarkan pembicaraan
saya lebih tidak mengerti dibanding saya sendiri. Masalahnya terlalu banyak yang
saya pikirkan. Anda dapat berpikir tentang sesuatu, misalnya asbak itu dan
hanya berpikir, o ya, itu tempat untuk meletakkan rokok saya, namun saya akan
berpikir tentang itu dan kemudian saya akan berpikir tentang selusin hal lain
yang berhubungan dengannya dalam waktu bersamaan (McGhie & Chapman, 1961,
hlm. 108) ”.
Gangguan
dalam pembicaraan pernah dianggap sebagai symptom klinis utama skizofrenia, dan
tetap merupakan salah satu criteria diagnosis. Namun, bukti mengindikasikan
cara bicara banyak pasien skizofrenia tidak mengalami disorganisasi, dan
terjadinya disorganisasi bicara tidak membedakan dengan baik antara skizofrenia
dengan psikosis lain.
Perilaku aneh
terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau
konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak
biasa, berperilaku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol, menyimpan
makanan. Mengumpulkan sampah atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas
seperti melakukan masturbasi didepan umum. Mereka tampak kehilangan kemampuan
untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan berbagai standar
masyarakat. Mereka juga mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas sehari-hari
dalam hidup.
Perilaku yang
disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim.Untuk mendiagnosa seseorang
skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif,
atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan.Tanda
awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut
perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan
proses belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali
berimajinasi tentang peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut
bukanlah sebuah gangguan. Indikator
premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain:
1. Ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi (wajah
dingin, jarang tersenyum, tak acuh)
2. Penyimpangan komunikasi (anak sulit melakukan
pembicaraan terarah)
3. Gangguan atensi (anak
tidak mampu memfokuskan, mempertahankan,serta memindahkan atensi). Adapun gejala awal yang terlihat
pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan adalah sebagai berikut:
·
Pada anak
perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak
bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas
·
Pada anak
laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu.
III.
Etiologi
·
Perspektif
kognitif dan tingkah laku
Aaron Beck, penemu dari terapi kognitif, dan Neil
Rector baru-baru ini telah memformulasikan model kognitif dari skizofrenia
(Beck & Rector, 2005). Mereka mengatakan bahwa keabnormalan neurological
dari orang yang menderita skizofren mengakibatkan kesulitan yang fundamental
dalam perhatian dan ketaatan pada peraturan dari komunikasi , yang
mengakibatkan orang yang mengidap skizofrenia mencoba untuk menghemat sumber
kognitif mereka yang terbatas. Satu cara yang mereka lakukan adalah dengan
menggunakan, hingga tingkat yang paling maksimal, prasangka atau skema tertentu
untuk memahami informasi berlebih yang diterima oleh otak. Delusi berkembang
meningkat ketika orang yang mengidap skizofren mencoba untuk menjelaskan
pengalaman persepsi aneh yang mereka alami. Halusinasi merupakan akibat dari
hipersensitifitas pada input perceptual, yang dipasangkan dengan kecenderungan
untuk menghubungkan pengalaman yang dialami dengan sumber eksternal. Contohnya;
daripada berpikir “saya mendengar sesuatu”, orang yang mengidap skizofren
cenderung untuk berpikir “seseorang mencoba untuk berbicara kepada saya”.
Symptom negative dari skizofrenia bangkit dari karakteristik kepribadian yang
dilebih-lebihkan, harapan bahwa interaksi social akan tidak menyenangkan, dan
kebutuhan untuk menarik dan menghemat sumber kognisi yang langka
Konseptualisasi kognitif ini, telah mengarahkan pada
strategi kognitif untuk menangani orang yang mengidap skizofren. Strategi ini
membantu pasien untuk mengidentifikasi keadaan yang membuat stress yang diasosiasikan
dengan pertumbuhan dan pemburukan dari symptom dan belajar untuk mengulang cara
yang lebih baik dalam mengatasi stress tersebut. Mereka juga mengajarkan pasien
cara untuk menghilangkan keyakinan delusional mereka dan pengalaman halusinasi.
Symptom negative ditangani dengan membantu pasien mengembangkan ekspektasi yang
lebih aktif dan interaksi leih banyak dengan orang lain akan memberikan
keuntungan yang positif. Penelitian yang menguji interfensi kognitif ini
memperlihatkan bahwa cara ini lebih efektif dalam mengurangi symptom daripada
hanya memberikan dukungan kepada pasien (Beck & Rector, 2005).
Beberapa penganut behavior telah mencoba untuk
menjelaskan symptom skizofrenik yang berkembang melalui operant conditioning
(See Belcher, 1988). Mereka menyarankan bahwa kebanyakan orang mempelajari
stimulus apa yang muncul dilingkungan social, seperti wajah orang lain atau apa
yang dikatakan orang lain, melalui pengalaman dimana mereka merasakan stimuli
ini dan diberi reward karena melakukannya. Orang dengan skizofren tidak
menerima pelatihan dasar mengenai stimulus social apa yang harus dihadapi dan
bagaimana cara meresponnnya, karena pola asuh yang tidak adekuat atau keadaan
yang tidak biasa yang ekstream. Akibatnya mereka menerima stimulus yang tidak relevan
dilingkungan dan tidak tau respon yang secara social diterima oleh orang lain.
Teori behavioral mengenai bagaimana skizofren tumbuh
belum diuji dengan baik atau diterima, tapi sangatlah jelas bahwa teknik
behavioral bisa membantu orang dengan skizofren mempelajari cara yang lebih
diterimasecara social adalah berinteraksi dengan orang lain (Belcher, 198:
Braginsky, Braginsky, & Ring, 1996), sebagai contoh jika anggota keluarga
memulai untuk menolak komentar aneh-aneh & perilaku dari apa yang mengidap skizofren,
yang mengidap skizofren secara bertahap akan mengurangi perilaku aneh dan
meningkatkan perilaku yang diterima secara social.
·
Cross-Cultural
Perspectives
Budaya sangat bervariasi mengenai penjelasan
skizofrenia (Anders, 2003: Karno & Jenkins, 2003). Kebanyakan budaya
memiliki penjelasan biologis untuk sebuah penyakit, termasuk ide umum bahwa hal
ini menurun dikeluarga. Bercampur dengan penjelasan biologis adalah teori-teori
yang mengaitkan penyakit dengan stress, kurangnya kesalehan spiritual dan
dinamika keluarga.
·
Biokimia
Factor-faktor
biokimia perlu ditelitikarena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah
factor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Penelitian saat ini mengkaji
beberpa neurotransmitter yang berbeda, seperti norepinefrin dan serotonin.
Salah satu factor yang diteliti paling baik adalah dopamine. Teori bahwa
skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter dopamine,
terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk
menangan skizofrenia menurunkan aktivitas dopamine. Kelebihan atau terlalu
sensitifnya reseptor dopamine, bukan kadar dopamine yang tinggi, merupakan
factor-faktor dalam skizofrenia. Penelitian mengenai cara kerja obat-obatan
antipsikotik menunjukkan bahwa reseptor dopamine lebih mungkin merupakan pusat
gangguan tersebut daripada kadar dopamine itu sendiri. Beberapa studi terhadap
otak pasien skizofren pascakematian serta hasil pemindahan PET para pasien
skizofrenia, mengungkap bahwa reseptor dopamine lebih besar jumlahnya atau
hipersensitif pada beberapa orang penderita skizofrenia. Memiliki terlalu
banyak reseptor secara fungsional akan sama dengan memiliki terlalu banyak
dopamine itu sendiri. Penyebabnya adalah bila dopamine (atau neurotransmitter apapun)
dilepaskan kedalam sinaps, hanya beberapa diantaranya, yang secara actual
berinteraksi dengan reseptor memberikan kesempatan yang lebih besar dari
dopamine yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.
Kelebihan
aktivitas dopamine yang diduga paling relevan dengan skizofrenia terdapat
dijalur mesolimbik (jalur mesokortikal berawal di bagian ventral tegmental dan
menjulur ke korteks prefrontalis. Jalur mesolimbik jga berawal dibagian ventral
tegmental, namun menjulur ke hipotalamus, amigdala, hipkampus, dan nucleus
akumbens) dan efek teurapetik obat-obat antipsikotik terhadap symptom-simptom
positif terjadi dengan cara menghambat berbagai reseptor dopamine dalam system
saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitas.
Jalur
mesokortikal merupakan system dopamine lainnya. Berawal dari daerah otak yang
sama dengan jalur mesolimbik, namun menjulr ke korteks prefontalis. Korteks
prefrontalis juga menjulur kedaerah limbic vang dipenuhi neuron dopamine.
Neuron dopamine dalam kotretks prefrontalis dapat menjadi kurang aktif sehingga
gagal melakukan control untuk menghambat neuron dopamine dalam daerah limbic,
dan mengakibatkan aktivitas yang berlebihan didalam system dopamine mesolimbik.
Karena korteks prefrontalis diduga sangat relevan dengan symptom-simptom negative
skizofrenia, rendahnya aktivitas dopamine dalam daerah otak tersebut juga dapat
menjadi penyebab symptom-simptom negative skizofren. Teori ini memiliki
keuntungan yaitu memungkinkan terjadinya symptom-simptom negative dan positive
secara simultan terhadap pada pasien skizofrenia. Lebih jauh lagi karena
obat-obat antipsikotik tidak berpengaruh besar pada neuron dopamine didalam
korteks prefrontalis.
Obat-obatan
terbaru yang digunakan untuk menangai skizofrenia mengimplikasi
neurotransmitter lain seperti serotonin. Neuron dopamine secara umum mengubah system
saraf lain. Glutamat, suatu transmitter yana tersebar luas dalam otak manusia
juga dapat memegang peranan (Carlsson dkk., 1999). Kadar glutamate yang rendah
ditemukan dalam cairan serebrospinal para pasien skizofrenia (Faustman dkk,
1999), dan studi pascakematian mengungkap rendahnya kadar enzim yang diperlukan
untuk menghasilkan glutamate. Penurunan pemasukan glutamate dari korteks
prefrontalis atau hipokampus ke korpus striatum dapat mengakibatkan peningkatan
aktivitas dopamine. Skizofrenia merupakan gangguan dengan symptom-simptom yang
luas mencakup persepsi, kognisi, aktivitas motorik, dan perilaku social. Tidak
mungkin bila satu neurotransmitter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu.
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofren
merupakan salah satu sumber bukti. Adanya abnormalitas pada daerah otak pasien
skizofren yaitu peebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa
sel otak, adanya abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbic,
seperti hpokampus dan basal ganglia dan pada korteks prefrontalis dan temporal
(Dwork, 1997;Heckers, 1997). Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam
perilaku berbicara, pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan, yang
semuanya mengalami gangguan pada skizofrenia. Berbagai studi menunjukkan
berkurangnya daerah abu-abu dalam korteks prefrontalis (Buchanan dkk., 1998)
tetapi jumlah neuron didalam daerah-daerah tersebut tidak berkurang, sesuatu
yang hilang pada daerah tersebut adalah spinal dendritik yaitu batang kecil
pada batang dendrite dimana impuls-impuls saraf diterima dari neuron lain.
Hilangnya spinal-spinal tersebut berarti kominikasi antara neuron-neuron akan
terganggu mengakibatka kondisi yang diistilahkan oleh beberapa oranh sebagai
“sindrom diskoneksi”. Salah satu kemingkinan akibat kegagalan berbagai system
neural untuk saling berkomunikasi dapat berupa disorganisasi pembicaraan dan
behavioral yang terjadi pada skizofrenia.
·
Perspektif
genetic
Diduga
faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnyaskizofrenia. Walaupun
demikian, terbukti dari penelitian bahwaskizofrenia tidak diturunkan secara
hukum Mendeell (jika orang tuaskizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia
juga). Dari penelitiandidapatkan prevalensi sebagai berikut:
· populasi
umum 1%
· Saudara
Kandung 8%-10%
· Anak
dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
· Kembar
2 telur (dizigot) 12%-15%
· Anak
dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40
· Kembar
monozigot 47%-50%
Sampai
saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebabskizopfrenia. Namun
demikian peneliti-peneliti meyakini bahwainteraksi antara genetika dan
lingkungan yang menyebabkanskizofrenia. Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari
genetika yangdapat menyebabkan skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif,
2006)mengakui bahwa skizofrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika
lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yangterbuka maka
sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan
mendukung seseorang bersikap asosial maka penyakit skizofrenia menemukan lahan
suburnya.
Predisposisi Genetika. Meskipun genetika merupakan
faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang
diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus
pada kromosom 6,13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini
ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, keduaorang tua
terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandungterjangkit resiko 8%-10%,
kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang
terkena resiko 47%- 50%. Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan,
1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan
derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan
skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman,
bibi, kakek /nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum.
Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar
dizigotik 12%. Anak dan kedua orangtua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu
orang tua 12 %.
·
Sosial
perspektif
Hubungan antara kelas social
dan sizofrenia tidak menunjukan tingkat kejadian
skizofrenia yang semakin
tinggi seiring semakin rendahnya kelas social. Namun, terdapat perbedaan yang
sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas social
terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas social lain.
Korelasi antara skizofrenia dan kelas social rendah
adalah teori seleksi-sosial , yang membalikan arah kausalitas antara kelas
social dan skizofrenia. Orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret
kedalam wilayah koya yang miskin. Berbagai masaalah kognitif dan motivasional
yang sangat berkembang yang membebani pada individu tersebut dapat sangat
melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan sehingga mereka tidak
mampu tinggal diwilayah lain, atau mereka memilih untuk pindah kewilayah dimana
mereka hanya menghadapi sedikit tekanan social dan dimana mereka dapat
melarikan diri dari hubngan social yang mendalam.
IV.
Penanganan
Obat-obatan antipsikotk, terutama fenothiazin, telah
digunakan secara luas untuk menangani skizofrenia sejak tahun 1950-an. Berbagai
obat terbaru seperti klozapin dan respiredon juga efektif dan menimbulkan efek
samping yang lebih sedikit. Meskipun demikian, pemberian obat-obatan saja bukan
merupakan penanganan yang sepenuhnya efektif karena para pasien yang menderita
skizofrenia perlu diajari ulang berbagai cara untuk menghadapi tantangan
hidupnya sehari-hari.
Ada beberapa terapi dan penananganan yang digunakan
dalam skizofrenia, diantaranya:
1.
Terapi keluarga
dan mengurangi ekspresi emosi.
Terapi ini memiliki tujuan untuk meredakan
segala sesuatu bagi pasien dengan cara meredakan segala sesuatu bagi keluarga.
Edukasi tentang skizofrenia, terutama kerentanan biologis yang meredisposisi
terhadap penyakit tersebu, berbagai masalah kognitif yang melekat dengan
skizofrenia, symptom-simptomnya dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan antipsikoti.
Menghindari saling menyalahkan—terutama, mendorong keluarga untuk tidak
menyalahkan diri sendiri maupun pasien atsa penyakit tersebut dan atas semua kesulitan
yang dialami seluruh keluarga dalam menghadapi penyakit tersebut. Memperbaiki
kounikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
2.
Terapi personal
Terapi ini merupakan suatu pendekatan
kognitif behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang
dialami paa pasien sizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi
individualistic ini dilakukan secara satuper satu maupun dalam kelompok kecil.
Satu elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam enelitian EE
bahwa penurunan reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat
kekambuhan setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana
afek yang tidak sesuai. Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda
kekambuhan meskipun kecil seperti penarikan diri dari kehidupan social
intimidasi yang tidak pantas kepada orang lain. Terapi ini mencakup terapi
perilau social emotif untuk membantu pasien mencegah berbagai frustrasi dan
tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu bencana dan
dengan demikian membantu mereka menurunkan kadar stress.
3.
Pelatihan
keterampilan social
Pelatihan
keterampilan social dirancang untuk mengajari penderita skizofrenia bagaimana
dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang sangat beragam—antara
lain membahas mengenai pengobatan mereka dengan psikiater, belajar melakukan
wawancara kerja, memesan makanan di restoran, mengatakan tidak pada tawaran
membeli obat dipinggir jalan, dll. Pada terapi ini, terapis mendorong pasien
untuk memberikan respon, member komentar yang membantu upaya mereka, jika
perlu, terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas sehigga pasien dapat
mengamati kemudian mencoba menirunya.
V.
Kasus
Anik adalah
seorang perempuan jawa yang berumur 29 tahun yang lahir didaerah terbelakang
namun telah tinggal dikota Yogyakarta selama 4 tahun terakhir, dia telah
menikah selama 1 ½ tahun, tetapi pernikahannya tidak bahagia, ia
merasa suaminya kurang terbuka. Anik mempunyai anak perempuan yang berumur 8
bulan,tetapi tidak dapat mengurusnya selama beberapa bulan terakhir sehingga
anaknya tinggal di Jakarta bersama bibi Anik. Ketika penyakitnya mulai muncul
Anik pada awalnya menarik diridan tidak tidur ataupun makan , dia menumbuhkan
halusinasi mengenai suara-suara yang mengkritik suaminya, keluarganya dan ibu kosnya. Anik juga
menderita kecemburuan delusional bahwa suaminya berselingkuh dan diapun dibawa
kerumah sakit. Symptom yang terjadi pada Anik yaitu mondar mandir atau
berkeliling tanpa tujuan, mengamuk, mudah tersinggung, curigaan, berbicara pada
dirinya sendiri, menangis, insomnia melamun dan mudah berubah emosinya. Saudara
iparnya melaporkan bahwa ia seringmerasa ketakutan dan tersinggung untuk
beberapa waktu, ia sering membanting pintu, berteriak dan ketika diajak
berbicara tidak sesuai dengan arah pembicaraan, perilakunya aneh. Anik
memmpunyai penjelasan terhadap perilakunya, satu dan yang palin penting dia
percaya bahwa ini karena pernikahannya yang buruk dan stress karena hal
tersebut adalah factor yang berkontribusi. Sesaat sebeum simptomnya mulai, ibu
kosannya berkata sesuatu yang kasar kepadanya dan Anik percaya bahwa reaksinya
terhadap goncangan tersebut membuatnya sakit hati. Sebagai tambahan ibu Anik
mengalami periode ketika masa kanak-kanaknya dimana Anik menjadi lepas kendali,
menjadi berisik, kasar dan Anik percaya bahwa ia menurunkan tendensi tersebut
dari ibunya. Anik berinisiatif untuk mengurangi simptomnya dengan meningkatkan
frekuensi bersembahyangnya dan meminta untuk dibawa ke pesantren. Suautu ketika
dia dibawa ke rumah sakit dan ia setuju untuk meminum obat atau psikotik yang
membantu mengurangi simptomnya. Hal ini berlanjut hingga tahun-tahun
berikutnya.
Dari ilustrasi pengalaman Anik tersebut, ia menjalin
kepercayaan tradisional dan mengaplikasikan konsep orang dengan skizofrenia dan
terapi biologi modern. Meskipun ia menyetujui untuk menggunakan obat psikotik,
ia percaya keluarga dan simptomnya bukan salah satu dasar biological tapi akar
dari kecemasannya tentang stress dan beberapa hal yang ditahan olehnya dan
agamanya.
Sumber :
·
Abnormal
Psychology fourth edition, Mc GRAW HILL international edition, Susan Nolen
Hoeksema
·
Abnormal
Psychology nine edition,Gerald C Davvison, John M Neale, ANN M.Kring
·
DSM IV
Contoh Kasus Skizofrenia
Pengertian
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, e
mosi,
dan perilaku-perilaku yang terganggu dimana berbagai pemikiran tidak
saling berhubungan secara logis persepsi dan perhatian yang keliru afek
yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik
yang bizarre (Davidson, 2006).
Studi perkembangan skizofrenia
Pada tahun 1960-an, Albee dan lame serta para kolega mereka secara berulang menemukan bahwa anak-anak yang dikemudian hari menderita skiofrenia memiliki IQ yang lebih rendah dibanding para anggota berbagai kelompok kontrol, yang biasanya terdiri dari para saudara kandung dan teman-teman seusia dilingkungan tempat tinggal mereka. Berbagai penelitian mengenai perilaku sosial para pasien praskiofrenik juga menghasilkan beberapa temuan menarik (Davidson, 2006).
Sejarah konsep skiofrenia
Konsep skizofrenia pertamakali diformulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilahnya awal untuk skiofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal, penyakit manik depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep diagnostik, dimensia paraanoid, kattonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu.
Konsep yang diperluas di Amerika Serikat
Bleuer memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Di New York State Psychiatri insitute, contohnya, sekitar 20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut meningkat disepanjang tahun 1940-an dan pada tahun 1952 memuncah hingga mencapai angka 80 persen. Secara kontraks skizofrenia yang umum di Eropa tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiaagnosis sebagai skizofrenik di Rumah Sakit Maudsley di London, contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurung waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, dan Gurland 1974). Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep skizofrenia bleuler yang pada dasarnya sudah luas (Davidson, 2006).
B. ETIOLOGI SKIZOFRENIA
Aspek-aspek penyebab gangguan (Davidson, 2006), antara lain :
- Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu predisposisi bagi skiofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar dan adopsi digunakan dalam penelitian ini seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian perilaku genetiki lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa suatu predisposisi terhadap skiofrenia diturunkan secara genetik.
- Faktor Biokimia
Peran faktor-faktor genetik dalam skiofrenia menunjukkan bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh.
Aktivitas dopamin, teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk menangani skiofrenia menurunkan akbtivitas dopamin. Para peneliti mencatat bahwa obat-obatan antipsikotik, selain bermanfaat untuk menangani beberapa simtom skizofrenia, menimbulkan efek samping yang mirip dengan simtom-simtom penyakit parkinson. Penyakit parkinson diketahui sebagian disebabkan oleh kadar dopamin yang rendah dalam bagian saraf otak tersebut. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena strukturnnya sama dengan molekul dopamin, molekul-molekul obat-obatan antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai reseptor dopamin pascasinaptik. Resepotor-reseptor dopamin yang dihambat oleh obat-obat antipsikotik disebut reseptor D2.
- Otak dan Psikofrenia
Penelitian mengenai abnormalitas otak yang menyebabkan skiofrenia telah dimulai sejak sindrom ini teridentifikasi, namun berbagai studi tidak menghasilkan temuan yang sama. Beberapa pasien skizofrenia telah diketahui memiliki patologi otak yang dapat diamati.
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secara konsisten mengungkapnya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia, meskipun abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Beberapa temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia dan pada korteks prefrontalis dan temporal (dwok, 1997: heckers 1997)
- Stres psikologis dan skizofrenia
Dua stresor yang telah mengambil bagian penting dalam penelitian di bidang ini adalah kelas sosial dan keluarga.
Kelas sosial dan skiofrenia, hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skiofrenia yang semakin tinggi seiring semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skiofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skiofrenia padsa berbagai kelas sosial lain. Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kasual. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas soaial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenetik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial rendah dapat bersifat biologis.
Keluarga dan skizofrenia, para teori pendahulu menganggap hubungan keluarga, terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya skiofrenia. Pasa satu saat pandangan tersebut sangat banyak dianut sehingga istilah ibu skiofrenogenik diciptakan bagi ibu yang tampak dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, yang dianggap menyebabkan skizofrenia pada anaknya (fromm-reichmann, 1948). Para ibu tersebut memiliki karakter menolak, terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang lain, kaku dan moralistik terhadap seks, dan takut terhadap keintiman.
C. KLASIFIKASI DIAGNOSA
Simtom-simtom utama skizofrenia dibagi atas tiga, yaitu positif, negatif, dan disorganisasi. Ada juga beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan ke dalam ketiga kategori tersebut (Davidson, 2006).
Simtom Positif
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi,seperti halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
Distrosi persepsi yang paling dramatis adalah halusinasi, yaitu suatu pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkungan. Yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditori, bukan visual; 74 persen dari suatu sampel menuturkan mengalami halusinasi auditori (Sartorius dkk.,1974;Davison dkk.,2006.
Beberapa halusinasi dianggap sangat penting secara diagnostik karena lebih sering terjadi pada para pasien skizofrenia dibanding pada para pasien psikotik lainnya.
Tipe-tipe halusinasi tersebut antara lain:
Simtom-simtom negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostik; bayaknya simtom negatif merupakan predictor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan bekerja, hanya memiiki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat di rumah sakit (Ho dkk.,1998; Davison, 2006).
Berikut adalah penjelasan mengenai simtom-simtom negatif di atas(Davidson, 2006).
Simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh.
Meskipun pasien berulang kali merujuk pada beberapa pemikiran atau tema sentral, berbagai citra dan potongan pikiran tidak saling berhubungan; sulit untuk memahami denagn pasti apa yang ingin disampaikan pasien kepada pewawancara.
Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal ynag disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi dengan seorang pendengar namun mengalami kesulitan untuk tetap pada suatu topik.
Simtom Lain
Beberapa simtom lain skizofrenia tidak cukup tepat untuk digolongkan ke dalam ketiga kategori yang telah disampaikan. Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah katatonia dan afek yang tidak sesuai (Davidson, 2006).
Dalam film A Beautifull Mind, di ceritakan kisah seorang pria yang bernama John Nash, seorang jenius dari Virginia yang merupakan salah satu penerima beasiswa Carnegie. Sosok John Nash merupakan pribadi yang sadar akan ketidakmampuannya dalam bersosialisasi dan dia pun merasa orang lain juga tak menyukainya, namun dia menyukai keadaan tersebut. John Nash memiliki teman sekamar bernama Charles Herman yang cukup dekat dengannya saat kuliah dan kembali bertemu setelah bekerja, namun terakhir diketahui bahwa ternyata keberadaan Charles Herman hanyalah sesosok Khayalan yang dibuatnya.
Awal permasalahan mulai muncul ketika John Nash berpikir bahwa dirinya di sewa oleh pemerintah melalui Wiliam Parcher untuk suatu pekerjaan rahasia karena kejeniusannya, dia melakukan pekerjaan layaknya seorang agen rahasia hingga dia mengalami suatu kejadian yang membuatnya ingin berhenti dari pekerjaannya tersebut, namun Wiliam Parcher justru melarangnya. Sehingga John Nash merasa tertekan dan merasa selalu di ikuti, dia merasa dirinya dianggap penting sehingga tidak segera dibunuh. Dan terakhir pun diketahui bahwa William Parcher dan misi rahasia itu semua hanyalah khayalan yang dibuatnya sendiri.
Istrinya, Alicia large yang merasakan kejanggalan perilaku suaminya yang menghubungi seorang psikiater yang bernama Dr. Rozen untuk mengobati suaminya. Pengobatan medis selama 10 minggu cukup mengembalikan kesehatan jiwanya, namun tidak lama penyakitnya tersebut kembali dan disinilah John Nash dibantu istrinya Alicia Large berjuang untuk melawan dan “mengabaikan” sosok khayalan yang terus berusaha mengusiknya. Meskipun sempat istrinya stress namun tetap bertahan demi sosok lelaki yang dinikahinya dan terus mendukung suaminya, Sehingga akhirnya dia mampu membedakan yang mana nyata dan yang mana delusi. Dan pada akhir cerita, dia mendapatkan nobel atas penelitiannya yang selama ini dia lakukan.
2. Diagnosa
Somptom +
a. Delusi (waham)
- Waham kebesaran (grandiose); subjek (john nash) memiliki keyakinan bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan orang terkenal. Dalam kasus ini john menganggap bahwa dirinya penting dan sangat berpengetahuan, karena ia mampu memecahkan kode sandi alami. Dalam kasus ini, john diminta untuk bekerja sama dengan pihak sipil untuk membantu mencari kode sandi rahasia dalam peledakan bom yang akan dilakukan di negara Amerika. Jika ia berhasil menemukan kode sandi tersebut, maka pengeboman yang direncanakan terhadap negara Amerika akan batal. Dalam artian bahwa pengeboman di wilayah Amerika tidak akan terjadi.
- Waham kejar; subjek merasa bahwa ia selalu diikuti oleh pihak sipil. Ia merasa bahwa setiap gerak geriknya diawasi oleh pihak sipil. Ia merasa bahwa ia dimata-matai oleh pihak negara yang akan melakukan pengeboman terhadap Amerika. Ia merasa keberadaanya tidak aman, sehingga ia bermaksud untuk menolak kerja sama terhadap pihak sipil dalam upaya penyelamatan negara agar dirinya dapat selamat dari incaran teroris karena telah berusaha mencegah rencana pengeboman.
b. Halusinasi
John nash selalu melihat dan mendengar suara-suara orang yang mengawasi setiap perilakunya. Orang-orang tersebut adalah tokoh yang dimunculkan dalam khayalannya, yaitu:
Simtom disorganisasi
Dalam hal ini subjek memiliki perilaku aneh (bizarre), ia selalu menuliskan ide-idenya di kaca jendela, dan ia selalu mengoleksi berbagai media massa seperti koran, majallah dan mengguntingnya. Ia menganggap bahwa kesemuanya itu adalah sumber informasi baginya untuk memecahkan kode. Bahkan ia selalu mengirim surat rahasia kepada pemerintah mengenai rencana pengeboman tersebut, yang sebenarnya hanyalalah khayalannya.
Diagnosis
Diagnosis skizofrenia pada subjek adalah adanya waham/delusi. Dalam hal ini subjek mengalami waham kejar dan waham kebesaran. Kriteria skizofrenia dalam DSM-TR-IV
Diagnosa banding
Simtom positif yang terdapat pada pasien skizofrenia seperti waham. Meskipun waham terjadi pada lebih dari separuh orang penderita skizofrenia namun juga terdapat pada pasien diagnosis lain seperti mania, depresi delusional, dan gangguan waham.
3. Pembahasan
Pendekatan psikologi yang digunakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan Psikososial. Sullivan dalam Kaplan dan Sadock (2003) mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan perjalanan-perjalanan klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya skizofrenia. Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses penyembuhan skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia merupakan hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya dengan lingkungan selama masa perkembangan individu (Akbar, 2008).
Titik berat penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan gangguan psikotik terutama skizofrenia adalah pada efek yang menghapuskan hubungan traumatik sendiri seperti pernyataan emosi, rasa kebersamaan yang semu, mencari kambing hitam dan keterikatan ganda. Aspek-aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari empat aspek yaitu aspek informatif, aspek emosional dan aspek penilaian atau penghargaan serta aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House dan Kahn (1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan kerja sosial, misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan sebelumnya (Akbar,2008).
Sama halnya dalam film A Beautifull Mind, dukungan sang istri dalam kesembuhan John Nash sangat besar dalam proses penyembuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga terhadap penderita berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia. Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama tingkat kesembuhan skizofrenia. Demikian juga halnya dengan kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya dukungan sosial keluarga.
Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi obat-obatan tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan meskipun dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui penekanan gejala-gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya mungkin didapat penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45% penderita skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70% kambuh (Akbar, 2008).
Sumber :
Davidson, G.C. 2010. psikologi abnormal. jakarta : PT Rajagrafindo permai.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, e

Studi perkembangan skizofrenia
Pada tahun 1960-an, Albee dan lame serta para kolega mereka secara berulang menemukan bahwa anak-anak yang dikemudian hari menderita skiofrenia memiliki IQ yang lebih rendah dibanding para anggota berbagai kelompok kontrol, yang biasanya terdiri dari para saudara kandung dan teman-teman seusia dilingkungan tempat tinggal mereka. Berbagai penelitian mengenai perilaku sosial para pasien praskiofrenik juga menghasilkan beberapa temuan menarik (Davidson, 2006).
Sejarah konsep skiofrenia
Konsep skizofrenia pertamakali diformulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilahnya awal untuk skiofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal, penyakit manik depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep diagnostik, dimensia paraanoid, kattonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu.
Konsep yang diperluas di Amerika Serikat
Bleuer memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Di New York State Psychiatri insitute, contohnya, sekitar 20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut meningkat disepanjang tahun 1940-an dan pada tahun 1952 memuncah hingga mencapai angka 80 persen. Secara kontraks skizofrenia yang umum di Eropa tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiaagnosis sebagai skizofrenik di Rumah Sakit Maudsley di London, contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurung waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, dan Gurland 1974). Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep skizofrenia bleuler yang pada dasarnya sudah luas (Davidson, 2006).
B. ETIOLOGI SKIZOFRENIA
Aspek-aspek penyebab gangguan (Davidson, 2006), antara lain :
- Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu predisposisi bagi skiofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar dan adopsi digunakan dalam penelitian ini seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian perilaku genetiki lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa suatu predisposisi terhadap skiofrenia diturunkan secara genetik.
- Faktor Biokimia
Peran faktor-faktor genetik dalam skiofrenia menunjukkan bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh.
Aktivitas dopamin, teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk menangani skiofrenia menurunkan akbtivitas dopamin. Para peneliti mencatat bahwa obat-obatan antipsikotik, selain bermanfaat untuk menangani beberapa simtom skizofrenia, menimbulkan efek samping yang mirip dengan simtom-simtom penyakit parkinson. Penyakit parkinson diketahui sebagian disebabkan oleh kadar dopamin yang rendah dalam bagian saraf otak tersebut. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena strukturnnya sama dengan molekul dopamin, molekul-molekul obat-obatan antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai reseptor dopamin pascasinaptik. Resepotor-reseptor dopamin yang dihambat oleh obat-obat antipsikotik disebut reseptor D2.
- Otak dan Psikofrenia
Penelitian mengenai abnormalitas otak yang menyebabkan skiofrenia telah dimulai sejak sindrom ini teridentifikasi, namun berbagai studi tidak menghasilkan temuan yang sama. Beberapa pasien skizofrenia telah diketahui memiliki patologi otak yang dapat diamati.
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secara konsisten mengungkapnya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia, meskipun abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Beberapa temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia dan pada korteks prefrontalis dan temporal (dwok, 1997: heckers 1997)
- Stres psikologis dan skizofrenia
Dua stresor yang telah mengambil bagian penting dalam penelitian di bidang ini adalah kelas sosial dan keluarga.
Kelas sosial dan skiofrenia, hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skiofrenia yang semakin tinggi seiring semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skiofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skiofrenia padsa berbagai kelas sosial lain. Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kasual. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas soaial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenetik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial rendah dapat bersifat biologis.
Keluarga dan skizofrenia, para teori pendahulu menganggap hubungan keluarga, terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya skiofrenia. Pasa satu saat pandangan tersebut sangat banyak dianut sehingga istilah ibu skiofrenogenik diciptakan bagi ibu yang tampak dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, yang dianggap menyebabkan skizofrenia pada anaknya (fromm-reichmann, 1948). Para ibu tersebut memiliki karakter menolak, terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang lain, kaku dan moralistik terhadap seks, dan takut terhadap keintiman.
C. KLASIFIKASI DIAGNOSA
Simtom-simtom utama skizofrenia dibagi atas tiga, yaitu positif, negatif, dan disorganisasi. Ada juga beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan ke dalam ketiga kategori tersebut (Davidson, 2006).
Simtom Positif
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi,seperti halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
- Delusi (atau dikenal juga dengan istilah waham)
- Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber eksternal.
- Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka pikirkan.
- Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tiba-tiba dan tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal.
- Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan eksternal.
- Halusinasi dan gangguan persepsi lain
Distrosi persepsi yang paling dramatis adalah halusinasi, yaitu suatu pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkungan. Yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditori, bukan visual; 74 persen dari suatu sampel menuturkan mengalami halusinasi auditori (Sartorius dkk.,1974;Davison dkk.,2006.
Beberapa halusinasi dianggap sangat penting secara diagnostik karena lebih sering terjadi pada para pasien skizofrenia dibanding pada para pasien psikotik lainnya.
Tipe-tipe halusinasi tersebut antara lain:
- Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengar pikiran mereka diucapkan oleh suara lain.
- Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-suara yang saling berdebat.
- Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka.
Simtom-simtom negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostik; bayaknya simtom negatif merupakan predictor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan bekerja, hanya memiiki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat di rumah sakit (Ho dkk.,1998; Davison, 2006).
Berikut adalah penjelasan mengenai simtom-simtom negatif di atas(Davidson, 2006).
- Avolition. Apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energy dan ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin. Pasien dapat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga kebersihan diri, dengan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor, gigi yang tidak disikat, dan pakaian yang berantakan. Mereka mengalami kesulitan untuk tekun melakukan aktivitas sehari-hari dalam pekerjaan, sekolah, dan rumah tangga dan dapat menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan duduk-duduk tanpa melakukan apa pun.
- Alogia Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan sangat jauh berkurang. Dalam miskin isi percakapan, jumlah percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
- Anhedonia merupakan Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan tersebut disebut anhedonia. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan seks. Pasien sadar akan simtom-simtom ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya dianggap aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka.
- Afek Datar. Pada pasien yang memiliki afek data hamper tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respons emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Afek datar terjadi pada 66 persen dari suatu sampel besar pasien skizofrenia (Sartorius dkk., 1974; Davison dkk., 2006).Konsep afek datar hanya merujuk pada ekspresi emosi yang tampak dan tidak pada pengalaman dalam diri pasien, yang bisa saja sama sekali tidak mengalami pemiskinan.
- Asosialitas. Beberapa pasien skizofrenia mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan sosial, yang disebut asosialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk berkumpul bersama orang lain. Memang, seperti yang akan kita lihat nanti, manifestasi skizofrenia ini sering kali merupakan yang pertama kali muncul, berawal pada masa kanak-kanak sebelum timbulnya simtom-simtom yang lebih psikotik.
Simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh.
- Disorganisasi Pembicaraan
Meskipun pasien berulang kali merujuk pada beberapa pemikiran atau tema sentral, berbagai citra dan potongan pikiran tidak saling berhubungan; sulit untuk memahami denagn pasti apa yang ingin disampaikan pasien kepada pewawancara.
Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal ynag disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi dengan seorang pendengar namun mengalami kesulitan untuk tetap pada suatu topik.
- Perilaku Aneh
Simtom Lain
Beberapa simtom lain skizofrenia tidak cukup tepat untuk digolongkan ke dalam ketiga kategori yang telah disampaikan. Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah katatonia dan afek yang tidak sesuai (Davidson, 2006).
- Katatonia. Beberapa abnormalitas motorik menjadi cirri katatonia. Para pasien dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan kadang kompleks atara gerakan jari, tangan, dan lengan, yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu . beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain spektrum ini adalah imobilitas katatonik: pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu yang sangat lama.
- Afek yang Tidak Sesuai. Beberapa penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak sesuai. Respons-respons emosional individu semacam ini berada di luar konteks pasien dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa ibunya baru saja meninggal atau marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana, misalnya apakah baju barunya cocok untuknya. Para pasien tersebut dapat dengan cepat berubah dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas.
- Kriteria Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
- Terdapat dua atau lebih simtom-simtom berikut ini dengan porsi waktu yang signifikan selama sekurang-kurangnya satu bulan: waham, halusinasi, disorganisasi bicara, disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik, simtom-simtom negatif.
- Keberfungsian social dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan.
- Gejala-gejala gangguan terjadi selama sekurang-kurangnya enam bulan; sejurang-kurangnya satu bulan untuk simtom-simtom pada poin pertama dalam bentuk ringan.
- Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
- Skizofrenia Disorganisasi
- Skizofrenia Katatonik
- Skizofrenia Paranoid
Contoh kasus yang digunakan adalah sebuah Film berjudul A BEAUTIFUL MIND.
1. Permasalahan
Dalam film A Beautifull Mind, di ceritakan kisah seorang pria yang bernama John Nash, seorang jenius dari Virginia yang merupakan salah satu penerima beasiswa Carnegie. Sosok John Nash merupakan pribadi yang sadar akan ketidakmampuannya dalam bersosialisasi dan dia pun merasa orang lain juga tak menyukainya, namun dia menyukai keadaan tersebut. John Nash memiliki teman sekamar bernama Charles Herman yang cukup dekat dengannya saat kuliah dan kembali bertemu setelah bekerja, namun terakhir diketahui bahwa ternyata keberadaan Charles Herman hanyalah sesosok Khayalan yang dibuatnya.
Awal permasalahan mulai muncul ketika John Nash berpikir bahwa dirinya di sewa oleh pemerintah melalui Wiliam Parcher untuk suatu pekerjaan rahasia karena kejeniusannya, dia melakukan pekerjaan layaknya seorang agen rahasia hingga dia mengalami suatu kejadian yang membuatnya ingin berhenti dari pekerjaannya tersebut, namun Wiliam Parcher justru melarangnya. Sehingga John Nash merasa tertekan dan merasa selalu di ikuti, dia merasa dirinya dianggap penting sehingga tidak segera dibunuh. Dan terakhir pun diketahui bahwa William Parcher dan misi rahasia itu semua hanyalah khayalan yang dibuatnya sendiri.
Istrinya, Alicia large yang merasakan kejanggalan perilaku suaminya yang menghubungi seorang psikiater yang bernama Dr. Rozen untuk mengobati suaminya. Pengobatan medis selama 10 minggu cukup mengembalikan kesehatan jiwanya, namun tidak lama penyakitnya tersebut kembali dan disinilah John Nash dibantu istrinya Alicia Large berjuang untuk melawan dan “mengabaikan” sosok khayalan yang terus berusaha mengusiknya. Meskipun sempat istrinya stress namun tetap bertahan demi sosok lelaki yang dinikahinya dan terus mendukung suaminya, Sehingga akhirnya dia mampu membedakan yang mana nyata dan yang mana delusi. Dan pada akhir cerita, dia mendapatkan nobel atas penelitiannya yang selama ini dia lakukan.
2. Diagnosa
Somptom +
a. Delusi (waham)
- Waham kebesaran (grandiose); subjek (john nash) memiliki keyakinan bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan orang terkenal. Dalam kasus ini john menganggap bahwa dirinya penting dan sangat berpengetahuan, karena ia mampu memecahkan kode sandi alami. Dalam kasus ini, john diminta untuk bekerja sama dengan pihak sipil untuk membantu mencari kode sandi rahasia dalam peledakan bom yang akan dilakukan di negara Amerika. Jika ia berhasil menemukan kode sandi tersebut, maka pengeboman yang direncanakan terhadap negara Amerika akan batal. Dalam artian bahwa pengeboman di wilayah Amerika tidak akan terjadi.
- Waham kejar; subjek merasa bahwa ia selalu diikuti oleh pihak sipil. Ia merasa bahwa setiap gerak geriknya diawasi oleh pihak sipil. Ia merasa bahwa ia dimata-matai oleh pihak negara yang akan melakukan pengeboman terhadap Amerika. Ia merasa keberadaanya tidak aman, sehingga ia bermaksud untuk menolak kerja sama terhadap pihak sipil dalam upaya penyelamatan negara agar dirinya dapat selamat dari incaran teroris karena telah berusaha mencegah rencana pengeboman.
b. Halusinasi
John nash selalu melihat dan mendengar suara-suara orang yang mengawasi setiap perilakunya. Orang-orang tersebut adalah tokoh yang dimunculkan dalam khayalannya, yaitu:
- Charles Herman teman sekamar saat di asrama
- William Parcher pihak sipil, yang mengajaknya bekerja sama dalam mencegah pngeboman.
- Mercee keponakan dari Charles Herman
- Avolution/apati
- Anhedonia
- Asosialitas
Simtom disorganisasi
Dalam hal ini subjek memiliki perilaku aneh (bizarre), ia selalu menuliskan ide-idenya di kaca jendela, dan ia selalu mengoleksi berbagai media massa seperti koran, majallah dan mengguntingnya. Ia menganggap bahwa kesemuanya itu adalah sumber informasi baginya untuk memecahkan kode. Bahkan ia selalu mengirim surat rahasia kepada pemerintah mengenai rencana pengeboman tersebut, yang sebenarnya hanyalalah khayalannya.
Diagnosis
Diagnosis skizofrenia pada subjek adalah adanya waham/delusi. Dalam hal ini subjek mengalami waham kejar dan waham kebesaran. Kriteria skizofrenia dalam DSM-TR-IV
- Terdapat dua atau lebih simptom-simtom berikut dengan porsi waktu yang signifikan selama sekurang-kurangnya 1 bulan: waham, halusinasi, disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik, somtom-simtom negatif
- Keberfungsian sosial dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan
- Gejala-gejala gangguan terjadi selam sekurang-kurangnya 6 bulan;
sekuranng-kurangnya 1 bulan untuk simtom-simtom pada poin pertama;
selebihnya simtom-simtom negatif atau simtom lain pada poin pertama
dalam bentuk ringan.
- Dalam kasus John Nash dalam film ‘’a beatiful mind’’, subjek mengalami simto-simtom negatif dan positif telah lebih dari 6 bulan. Bahkan telah bertahun-tahun.
Diagnosa banding
Simtom positif yang terdapat pada pasien skizofrenia seperti waham. Meskipun waham terjadi pada lebih dari separuh orang penderita skizofrenia namun juga terdapat pada pasien diagnosis lain seperti mania, depresi delusional, dan gangguan waham.
3. Pembahasan
Pendekatan psikologi yang digunakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan Psikososial. Sullivan dalam Kaplan dan Sadock (2003) mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan perjalanan-perjalanan klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya skizofrenia. Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses penyembuhan skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia merupakan hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya dengan lingkungan selama masa perkembangan individu (Akbar, 2008).
Titik berat penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan gangguan psikotik terutama skizofrenia adalah pada efek yang menghapuskan hubungan traumatik sendiri seperti pernyataan emosi, rasa kebersamaan yang semu, mencari kambing hitam dan keterikatan ganda. Aspek-aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari empat aspek yaitu aspek informatif, aspek emosional dan aspek penilaian atau penghargaan serta aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House dan Kahn (1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan kerja sosial, misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan sebelumnya (Akbar,2008).
Sama halnya dalam film A Beautifull Mind, dukungan sang istri dalam kesembuhan John Nash sangat besar dalam proses penyembuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga terhadap penderita berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia. Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama tingkat kesembuhan skizofrenia. Demikian juga halnya dengan kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya dukungan sosial keluarga.
Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi obat-obatan tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan meskipun dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui penekanan gejala-gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya mungkin didapat penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45% penderita skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70% kambuh (Akbar, 2008).
Sumber :
Davidson, G.C. 2010. psikologi abnormal. jakarta : PT Rajagrafindo permai.
GANGGUAN KEPRIBADIAN OBSESIF KOMPULSIF
Gangguan
kepribadian obsesif kompulsif (OCPD) adalah gangguan
kepribadian yang ditandai
oleh kekakuan psikologis umum, seperti kaku untuk aturan
dan prosedur, perfeksionisme,
kode moral, dan ketertiban berlebihan. Obsessive-compulsive personality
disorder (OCPD) atau gangguan kerpibadian obsesif kompulsif adalah gangguan
kepribadian yang melibatkan suatu obsession (ide menetap yang tidak diinginkan)
tentang kesempurnaan, aturan, dan pengaturan. Orang dengan OCPD akan merasa
cemas ketika mengetahui bahwa sesuatu tidak berjalan dengan baik. Ini
akan membuat kebiasaan dan aturan bagi cara mengerjakan sesuatu, apakah untuk
dirinya sendiri atau keluarganya.
Tanda
dan Gejala
Gejala
utama dari OCPD adalah keasyikan dengan detail, aturan, daftar, perintah,
pengaturan, dan jadwal, menjadi sangat kaku dan tidak luwes dalam keyakinan,
menunjukkan kesempurnaan yang mempengaruhi penyelesaian tugas, perhatian yang
berlebihan pada hasil dengan waktu mereka, menjadi sangat teliti, memiliki
moral, etika, dan nilai yang teguh, penyimpanan hal yang tidak akan lama
memiliki nilai, dan enggan mempercayai tugas atau pekerjaan kepada orang lain
karena takut bahwa standar mereka tidak akan ketemu.
Penyelesaian
tugas atau masalah oleh pribadi OCPD dapat dipengaruhi ketika waktu yang
berlebihan digunakan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap benar. Hubungan
pribadi dan sosial sering dalam ketegangan serius karena pribadi OCPD meminta
dengan tegas tanggungjawab dan satu-satunya orang yang mengetahui apa yang
benar.
Ketidakbersihan
terlihat pada pribadi OCPD sebagai bentuk kurang sempurna, sebagai
ketidakrapian. Mereka biasa menghabiskan waktu dengan sikap yang tepat, sebagai
contoh menempatkan sesuatu secara tepat di tempat yang tepat dengan sikap yang
tepat. OCPD menderita kecemasan tentang potensi kesalahan pada kehidupan mereka
dan menanggapinya dengan menyimpan uang. Menyimpan uang yang tidak
normal/patologis, terlihat seperti kikir atau pelit terhadap orang lain, akan
terjadi untuk meminimalkan pengeluaran harian.
Terdapat
wilayah moral abu-abu bagi orang yang terkena OCPD. Kegiatan dan keyakinannya
sempurna benar atau pasti salah, dengan pribadi OCPD selalu benar. Seperti yang
diketahui, hubungan antar pribadi sulit karena harapan yang berlebihan pada
teman, patner romantis, dan anak-anak. Suatu saat frustasi dengan orang lain
yang tidak mengerjakan apa yang pribadi OCPD inginkan menumpahkan kemarahan
bahkan kekerasan. Orang dengan OCPD sering memiliki pandangan negatif
kehidupan (pesimis) dengan sedikit bentuk depresi. Ini menjadi saat yang serius
untuk percobaan bunuh diri sebagai resiko yang nya.
Orang
dengan OCPD, ketika cemas atau gembira akan mengalami tic (gerakan berulang,
kompulsif, dan tidak disadari, biasanya mengenai wajah dan bahu), menyeringai
atau membuat kegaduhan atau melakukan sesuatu yang impulsive (penentuan
bertindak yang tiba-tiba dan tak terkendali), dan tindakan yang tidak dapat
diprediksi, termasuk mengambil resiko. Mereka menjaga rumah mereka secara
sempurna aturannya, atau merasa cemas menugaskan pekerjaan kepada orang lain
kecuali akan dikerjakan secara sempurna.
Penyebab
Penelitian
pada keluarga yang cenderung OCPD melalui penelitian DNA. Dua penelitian
menyatakan bahwa orang yang memiliki gen DRD3 akan berkembang menjadi OCPD dan
depresi, terutama jika laki-laki. Secara genetik, akan belum muncul sampai ada
pemicu oleh peristiwa tertentu yang menjadi predisposisi OCPD. Perspektif ini
memiliki implikasi penting. Anak yang lahir dengan predisposisi (respon tubuh
terhadap penyakit yang sifatnya laten dan dapat diaktifkan dalam keadaan
tertentu) genetik tidak pernah berkembang menjadi perangai penuh. Banyak
tergantung pada konteks dimana anak-anak dibesarkan. Jika OCPD muncul pada
konteks dimana anak-anak yang memiliki predisposisi genetik meningkat, OCPD
akan dipicu, dan kemudian berkembang pada anak-anak. Sebagai contoh, jika
anak-anak dibesarkan dalam keluarga yangmenderita OCPD, predisposisi anak akan
tersingkap dengan sendirinya melalui sikap dan tingkah laku. Sebaliknya
juga benar. Pada hipotesa ini, pada tahapan, belum sepenuhnya diteliti.
Perspektif kedua menyatakan bahwa anak-anak yang tidak mewarisi genetis akan
sama mengadopsi bentuk interaksi dan sikap keluarga.
Kriteria Diagnostik (DSM-IV-TR)
The
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fourth edition, DSM IV-TR,
(panduan diagnostic dan statistik gangguan mental edisi ke empat), sebuah
panduan yang digunakan secara luas untuk mendiagnosa gangguan penyakit,
mendefinisikan OCPD (obsessive-compulsive personality disorder) (pada Axis II
Cluster C) sebagai :
Bentuk
yang mudah menyebar dari keasyikan dengan jalur perintah, kesempurnaan, dan
kontrol mental dan antar personal, dengan pengorbanan keluwesan,
keterbukaan, dan efisiensi, dimulai pada awal masa dewasa dan hadir pada
berbagi variasi konteks, dengan indikasi empat atau lebih daftar berikut ini :
1. Keasyikan
dengan detail, daftar, perintah, pengaturan, atau jadwal pada batas dimana
titik utama dari kegiatan menjadi hilang.
2. Mempertontonkan
kesempurnaan yang mempengaruhi penyelesaian tugas (seperti contoh, tidak
dapat menyelesaikan proyek karena standar diri sendiri yang kaku dan
tidak bertemu).
3. Berlebih-lebihan
bekerja dan produksi dengan pengecualian kegiatan waktu senggang dan
persahabatan (tidak dihitung sebagai keperluan yang bernilai ekonomi).
4. Sangat
teliti, kesopanan, dan keteguhan moral, etika, atau nilai (tidak dinilai oleh
identifikasi kultur atau agama).
5. Tidak
dapat membiarkan objek usang atau tidak berguna bahkan ketika mereka tidak
memiliki nilai yang sentimental.
6. Enggan
mendelegasikan tugas atau pekerjaan kepada orang lain jika mereka tidak
mengajukan secara tepat caranya mengerjakan.
7. Mengadopsi
gaya pengeluaran yang kikir baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, uang
dianggap sebagai sesuatu yang harus disimpan untuk masa depan yang kacau.
8. Mempertontonkan
kekakuan dan keras kepala.
Penting
untuk dicatat bahwa sementara seseorang mungkin memperlihatkan salah satu atau
semua karakteristik dari gangguan kepribadian, tidak didiagnosis sebagai
gangguan kecuali orang itu mengalami kesulitan menjalani hidup normal karena
masalah ini.
Perspektif menurut
aliran-aliran
1. Perspektif
psikoanalisis
Menurut pandangan psikoanalisa,
obsesif-kompulsif timbul dari daya-daya instinktif seperti seks dan
agresivitas, yang tidak berada di bawah kontrol individu karena toilet-training yang kasar. Sedangkan
Adler memandang gangguan kepribadian obsesif kompulsif ini sebagai hasil dari
perasaan tidak kompeten.
2. Perspektif
behavioristik
Para ahli tingkah laku mengemukakan
bahwa gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah perilaku yang dipelajari,
dan diperkuat dengan berkurangnya rasa takut (Davison & Neale, 2001). Teori
Behavioral menganggap kompulsi sebagai perilaku yang dipelajari yang dikuatkan
oleh redukasi yang kuat.
3. Perspektif
kognitif
Ide lain yang muncul adalah kompulsi
memeriksa terjadi karena defisit ingatan. Ketidakmampuan untuk mengingat
beberapa tindakan dengan akurat, atau untuk membedakan antara perilaku yang
benar-benar dilakukan dan imajinasi seseorang memeriksa berkali-kali. Sedangkan
pemikiran obsesif muncul karena ketidakmampuan atau kesulitan untuk mengabaikan
stimulus.
4. Teori
belajar (Learning theory)
Gabungan dari teori dan pengalaman dalam
aplikasi terapi perilaku timbul beberapa konsep terjadinya gangguan kepribadian
obsesi kompulsi.
a. Mowre’s
two stage theory
Mowrer
mengajukan teori ini di tahun 1939 dan dikembangkan oleh Dollard dan Miller di
tahun 1950. Gangguan kepribadian obsesi kompulsi ini didapat secara dua tahap.
Tahap pertama adalah adanya rangsangan yang menimbulkan kecemasan. Reaksi yang
timbul adalah menghindari (escape)
atau menolak (avoidance).
Respon-respon ini menimbulkan negative
reinforcement akibat berkurangnya rasa cemas. Tahap berikutnya adalah upaya
menetralisasi kecemasan yang masih ada dengan rangkaian kata-kata,
gagasan-gagasan atau bayangan-bayangan bahkan objek-objek lain. Penyebarluasan
ini mengaburkan asal-usul rangsangan tadi. Kecemasan terhadap suatu objek tadi
sudah meluas menjadi perasaan tidak enak atau tidak menentu. Sebagai
kompensasinya penderita menentukan strategi perilaku yang enak baginya dan
perilaku ini menetap menjadi kompulsif akibat negative reinforcement.
Tahap
kedua, banyak berkurangnya tetapi sedikitnya dapat menerangkan kenapa kompulsi
bertahan sebagai alat mengurangi rasa cemas.
b.
Cognitive
behavior therapy
Oleh
Carr tahun 1971 dan dikembangkan oleh McFall dan Wollensheim tahun 1979. Teori
ini mengatakan bahwa gangguan kepribadian obsesi kompulsif pada orang-orang
tertentu di “kreasi” oleh dirinya sendiri.
Prinsip
yang salah, menimbulkan persepsi yang keliru dan menakutkan, akhirnya
menambahkan kecemasan. Pencetusnya bisa disebabkan oleh kejadaian sehari-hari.
Prevensi Penderita OCPD
Prevensi atau pencegahan bagi penderita OCPD
dapat dilakukan secara personal oleh individu yang bersangkutan yaitu dengan
cara-cara :
1.
Latih
dalam mengatur permasalahan yang muncul dengan lebih simpati di dalam keluarga dan
sesama teman
2.
Relaksasi,
meditasi, olahraga teratur, tidur teratur
3.
Bila
mengalami permasalahan tidur dalam beberapa hari konsultasikan ke dokter
4.
Memiliki
buku diary dapat mengidentifikasi kemunculan stres secara pasti dan mengetahui
perilaku-perilaku kompulsif yang muncul
5.
Jangan
membiasakan diri mengoleksi sesuatu jenis benda yang disimpan atau tidak
berguna
6.
Biasakan
diri untuk berkumpul dengan teman-teman dalam support group
7.
Hindari
minuman alkohol dan kopi.
Jenis prevensi yang termasuk dalam gangguan kepribadian ini adalah
prevensi sekunder dimana prevensi
sekunder, adalah usaha kesehatan mental menemukan kasus dini (early case detection) dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment) terhadap gangguan dan sakit mental.
Usaha ini dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah agar jangan
sampai terjadi cacat pada seseorang atau masyarakat.
Pengobatan
Pengobatan untuk OCPD biasanya melibatkan
psikoterapi dan membantu diri sendiri. Obat umumnya tidak diindikasikan
untuk gangguan kepribadian dalam isolasi, tetapi Fluoxetine telah diresepkan
dengan sukses. Obat anti-kecemasan akan mengurangi rasa takut dan SSRI
dapat mengganti frustrasi kronis dengan rasa ketenangan, serta mengurangi keras
kepala dan ruminasi negatif. Masukkan obat-obatan dapat meningkatkan penyelesaian tugas dengan
meningkatkan fokus mental, yang akan memberikan kesuksesan yang
terlihat dan meningkatkan prospek untuk
pemulihan. Sensitivitas Kafein mungkin merupakan faktor memperburuk.
Terapi
1.
Psikoterapi
Pasien
dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif sering kali tahu mereka sakit,
dan mencari pengobatan atas kemauan sendiri. Cara yang dipakai :
§
Asosiasi bebas dan terapi yang tidak mengarahkan adalah sangat
dihargai oleh pasien gangguan kepribadian obsesif kompulsif yang
bersosialisasi dan berlatih berlebihan
§
Terapi Kelompok dan terapi prilaku.
2. Farmakoterapi
Clonazepam (klonopin) digunakan untuk
menurunkan gejala pasien dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif
parah.Clomipramin dan obat serotonergik tertentu seperti fluoxetine mungkin
berguna bila tanda dan gejala obsesif kompulsif timbul.
3.Dialectical behavioral therapy
DBT menekankan pada saling memberi dan negosiasi antara terapis dan klien; antara rasional dan emosional, penerimaan dan berubah. Target yang ingin dicapai adalah penyesuaian antara pelbagai permasalahan yang sedang dihadapi klien dengan pengambilan keputusan secara tepat. Hal-hal lain yang didapatkan klien dalam terapi ini adalah; pemusatan konsentrasi, hubungan interpersonal (seperti keinginan asertif dan ketrampilan sosial), menghadapi dan adaptasi terhadap distress, identifikasi dan mengatur reaksi emosi secara tepat
DBT menekankan pada saling memberi dan negosiasi antara terapis dan klien; antara rasional dan emosional, penerimaan dan berubah. Target yang ingin dicapai adalah penyesuaian antara pelbagai permasalahan yang sedang dihadapi klien dengan pengambilan keputusan secara tepat. Hal-hal lain yang didapatkan klien dalam terapi ini adalah; pemusatan konsentrasi, hubungan interpersonal (seperti keinginan asertif dan ketrampilan sosial), menghadapi dan adaptasi terhadap distress, identifikasi dan mengatur reaksi emosi secara tepat
4.
Cognitive behavioral
therapy
Cognitive
behavioral therapy (CBT),
secara umum CBT membantu individu mengenal sikap dan perilaku yang tidak sehat,
kepercayaan dan pikiran negatif dan mengembalikannya secara positif. Terapi ini
juga diperkenalkan teknik relaksasi dan meditasi secara tepat.
Contoh Kasus Mengenai
Penderita OCPD
Seorang laki-laki, usia 36 tahun, dibawa oleh petugas kantornya
karena memiliki masalah dalam mengerjakan tugas dengan tepat waktu dansering kali
terlambat untuk pekerjaan yang penting.
Pasien mengakui bahwa tuduhan tersebut
benar,walaupun dia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya. Ia
mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang sangat sempurna dalam pekerjaannya sehingga
dirinya membuat orang lain terlihat buruk. Hal inilah yang menyebabkan dirinya tidak
pernah mendapatkan perhatian dari
sekitar
Pasien mengaku ia telah bekerja selama 4 tahun pada
perusahaannya dan selama waktu itu pula ia menghabiskan waktu 10-12 jam per
hari dikantor. Pasien mengaku bahwa ia sering melewatkan batas waktu yang
diberikan untuk menyelesaikan tugas namun ia beralasan bahwa batas waktu tersebut
tidak sesuai dengan kualitas hasil yang ia berikan.
Ia menyatakan “jika lebih banyak orang seperti saya di
negara ini, maka akan banyak hal yang dapat dicapai, karena pada kenyataannya terlalu
banyak pemalas dan orang yang tidak mengerti aturan”
Ia mengatakan bahwa ruang kerjanya selalu bersih dan
rapi dan ia tahu dimana ia
menghabiskan
setiap dolar uangnya.
Pemeriksaan status mental tidak menemukan adanya
kelainan mood, proses pikir, atau isi pikir.Perilakunya dicatat
sebagai rigiditas dan keraskepala
GEJALA
KLINIS
1.Masalah
dalam mengerjakan tugas tepat waktu dan terlambat dalam mengerjakan tugas.
2.Menghabiskan
10-12 jam perhari di kantor.
3.Seringkali
terlambat dari batas waktu yang ditentukan karena standar kualitasnya tinggi.
4.Menyatakan
bahwa orang lain yang tidak mengikuti standar kualitasnya adalah salah.
5.Menunjukan
rigiditas (kekakuan) dan keras kepala.
Sumber :
Davison, Gerald. C & Neale,
John.M. 2001. Abnormal Psychology 8th
edition. New York: John Wiley & Son
Carson, C. Robert;Butcher, James N.
1992.Abnormal Psychology and Modern Life.9th
edition.Harper-Collin Publisher Inc.New York.
Coleman, James C.1978.Abnormal Psychology and Modern Life.5th
edition.D.B.Taraporevala 1st edition,Private Ltd. Bombay.